Malam itu tampaknya si raja judi sabung ayam itu tengah mengadakan sebuah pesta dengan berbagai pertunjukan tari-tarian. Acara itu bertempat di joglo depannya yang luas. Berbondong-bondong masyarakat setempat datang ke tempat itu, baik laki-laki maupun para wanitanya. Menurut bisik-bisik yang Raden Anom dengar, pesta hiburan malam itu adalah dalam rangka untuk menyambut kehadiran Si Raja Merah. Ayam jago yang ia berikan kemarin sebagai hadiah.
Terlihat Juragan Lewi sedang asyik menikmati pertunjukkan tari-tarian yang dipersembahkan oleh para gadis cantik. Ia didampingi oleh dua orang istrinya dan anak-anaknya, putra dan putri.
Di belakang joglo tempat pertunjukan itu terdapa sebuah rumah joglo lagi yang lebih besar dan mewah yang merupakan tempat kediaman dari sang juragan itu dan keluarganya. Di bagian depan, belakang, serta
Siang itu Purwati membawa pulang ayahnya. Ayahnya menunggang kuda yang tadi dipakai oleh Raden Anom. Ia sangat bahagia karena dapat membawa pulang sang ayah. Namun dalam waktu yang bersamaan, ia merasakan kekosongan lain dalam ruang batinya yang lain. “Mengapa Mas Anom pergi begitu saja dariku?” jerit hatinya, sedih. “Apakah kalian masih tinggal di rumah kita yang dulu, Nduk?” Agak sedikit kaget Purwati mendapat pertanyaan boponya itu. “Ah, tidak Bopo. Rumah itu kan sudah lama disita oleh kepatihan. Tapi sekarang kami tinggal di rumah yang tak kalah bagusnya dari rumah kita yang dulu, Bopo.” “Ohya syukurlah.” Tetapi saat
Saat pintu sedikit terkuak, ia mengintip ke dalam. Ternyata ada dua orang wanita. Dua wanita yang ia lihat duduk di samping Lurah Lewi semalam di joglo depan. Kedua wanita itu tampak sedang tidur siang. Namun agar aksinya berjalan aman, ia pun perlu untuk membuat wanita itu tertidur lebih lelap lagi, ia pun merapalkan Ajian Sirep sembari ditiupkan ke dalam kamar melalui pintu yang sedikit terbuka. Setelah dirasakan aman, ia pun masuk. Pada pojokan kamar di antara pundi-pundi ia melihat ada kantong-kantong dari kulit hewan yang disusun rapi. Dia mengambil dua kantong, lalu dengan gerak cepat ia mengisi kedua kantong itu dengan keping-keping emas dari tiap-tiap guci. Setelah dirasa perlu, ia pun keluar. Semuanya berjalan lancar. Malam itu ia menginap di sebuah penginapan yang terletak di tengah kota Watu Galuh yang tak jauh dari kepatiha
Seperti yang sudah diduga, ternyata Gusti Patih memang membersihkan nama baik Rake Abiseka di hadapan segenap pejabat bawahannya. Rake Abiseka diumumkan terbukti tidak bersalah. Dia difitnah oleh dua orang temannya sendiri, sesama pejabat di lingkungan pura kepatihan. Dalam kesempatan itu pun, Gusti Patih mengumumkan bahwa ia menempatkan kembali Rake Abiseka pada kedudukannya semula, yaitu sebagai penghulu perbendaharaan di puri kepatihan. Mendengar kabar tersebut, Purwati dan Galih sangat gembira. “Benar kata Mas Anom, bahwa semua hal itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sudah diatur oleh Sang Hyang Maha Kuasa. Pasti ada kebaikan di balik sebuah ujian dan musibah,” ucap Purwati. “Benar sekali, Nduk,” sahut Rake Abiseka. “Tapi
Si pemilik warung dan semua orang yang ada dalam warung langsung menoleh pada Raden Anom dengan tatapan keheranan. “Benarkah demikian, Cah Bagus?” “Tentu saja, Nyi. Nyi tenang saja,” sahut Raden Anom sambil tersenyum. “Hei, Anak Muda! Dengan cara apa Anak Muda mengatasi masalah di pasaran ini dari cengkeraman putri sang adipati itu? Anak Muda ini siapa?” Itu yang bertanya adalah laki-laki yang duduk di meja sebelah sampingnya. Raden Anom tersenyum dan menjawab, “Saya orang Palingga juga, Kisanak.” Saat rombongan putri sang adipati berada di depan warung
Begitu turun dari punggung kudanya, laki-laki berusia empat puluhan tahun yang disebut Adipati Tadakara itu langsung menyambup pelukan dari putrinya sembari bertanya, “Apa yang terjadi, Nduk?” Belum lagi putrinya menjawab, Raden Anom muncul di pintu warung makan dan bertanya, “Sampean yang bernama Adipati Tadakara?” Bukan saja sang adipati sendiri yang kaget mendapat pertanyaan yang terkesan tidak bertatakrama itu, namun semua orang pasar yang berkerumun langsung saling berpandangan satu sama lain. Bahkan seorang bintara yang memimpin pengawalan terhadap sang adipati merasa geram. “Heh, Anak Muda! Apakah kautidak tahu kausedang berhadapan dengan siapa!”ucap sang bintara bhayangkara itu dengan membentak.&
Sejak hari itu, hingga beberapa lama ke depan, Raden Anom tinggal di Pura Kadipaten. Ia ingin melakukan pembersihan besar-besar dalam tubuh pemerintahan Kadipaten Mojo Agung. Pejabat-pejabat yang terpapar oleh pengaruh Adipati Tadakara harus dibersihkan, hingga ke tingkat paling bawah. Untuk itu, Raden Anom mengumpulkan pejabat-pejabat tinggi di kadipaten. Ia ingin mendengarkan pendapat, masukan, dan sebagainya dari para pejabat-pejabat itu. “Jika sang adipati berhalangan, sakit, atau sedang ke luar kadipaten dalam waktu yang cukup lama, biasanya siapa yang melaksanakan pemerintahannya?” bertanya Raden Anom. “Hamba, Gusti Raden Anom,” sahut salah seorang pejabat yang duduk di deretan kursi sebelah kanan Raden
Setelah semua urusan di Kadipaten Mojo Agung, Raden Anom langsung melesat menuju kota raja. Di istana kerajaan ia disambut oleh segenap penghuni istana dengan rasa suka cita. Tentu yang paling senang melihat sang pendekar muda itu pulang adalah biungnya, Diajeng Sekar Laras, dan bopo sambung sekaligus gurunya, Ki Jagadita. “Mengembara ke mana saja kau, Ngger?” tanya bopo sambungnya. “Ananda hanya mengembara di kerajaan tetangga, Bopo,” sahut Raden Anom sembari menyalami dan menciumi tangan sang ayah sambung sekaligus gurunya itu. “Bopo dengar Angger mampir dulu di Kadipaten Mojo Agung? Bagaimana keadaan kadipaten itu sekarang?”
Raden Anom mengantarnya untuk duduk kembali ke kursinya semula. “Dik Purwati dan Galih adalah sahabat baik adinda di Kota Watu Galuh, Raka Prabu. Adinda menemaninya untuk menyelesaikan permasalahan mereka, lalu saya pergi begitu saja tanpa pamit terlebih dahulu,”cerita Raden Anom setelah duduk kembali ke kursinya. “Ampun Gusti Prabu, terlebih dahulu hamba menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Angger Anom. Selama ini hamba hanya berhadap bisa bertemu dengan beliau. Rupanya Dewata Agung mengabulkan permohonan hamba. Dan hamba sama sekali tak menduga justru bertemunya di pertemuan agung ini. Hamba benar-benar merasa amat tersanjung, karena ternyata pemuda yang pernah membantu kehidupan putri dan putra hamba serta membantu menyelesaikan permasalahan hamba adalah
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.