Raden Anom mengantarnya untuk duduk kembali ke kursinya semula.
“Dik Purwati dan Galih adalah sahabat baik adinda di Kota Watu Galuh, Raka Prabu. Adinda menemaninya untuk menyelesaikan permasalahan mereka, lalu saya pergi begitu saja tanpa pamit terlebih dahulu,”cerita Raden Anom setelah duduk kembali ke kursinya.
“Ampun Gusti Prabu, terlebih dahulu hamba menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Angger Anom. Selama ini hamba hanya berhadap bisa bertemu dengan beliau. Rupanya Dewata Agung mengabulkan permohonan hamba. Dan hamba sama sekali tak menduga justru bertemunya di pertemuan agung ini. Hamba benar-benar merasa amat tersanjung, karena ternyata pemuda yang pernah membantu kehidupan putri dan putra hamba serta membantu menyelesaikan permasalahan hamba adalah
Siang hari, saat Raden Anom sedang mengajar para muridnya di padepokan istana, seorang prajurit kerajaan datang menghadap, memberitahukan bahwa Gusti Prabu mengharapkannya untuk menghadap di Balai Paseban. “Baiklah, silakan duluan. Saya akan segera menyusul,” sahut Raden Anom. “Baik, Gusti Anom.” Prajurit kawal istana itu langsung kembali ke tempat tugasnya di depan pintu istana. Tetapi betapa kagetnya ia, ketika ia kembali berdiri di sisi pintu istana, ternyata Raden Anom sedang berbicara dengan Baginda Prabu di balai paseban. Namun ia tak berani berkata apa-apa kepada prajurit lain yang berdiri di samping kiri kanannya. Namun hatinya berkata, bahwa Raden Anom
Sesungguhnya, Raden Anom tidak bermaksud untuk memamerkan kedigdayaannya di hadapan sang raja dan sang mahapatihnya, tetapi biar apa yang akan mereka saksikan kelak menjadi bukti, bahwa Kerajaan Palingga memiliki pasukan yang sangat tangguh, dan tak boleh ada pemberontak atau pun kerajaan mana pun yang boleh mengganggu mereka. “Saya sangat setuju dengan semua usulan yang disampaikan oleh Panglima Muda Anom. Saya serahkan sepenuhnya kelanjutan kerajaan saya kepada Panglima Muda Anom dari serbuan para pemberontak itu,”sabda Raka Hastanta. “Terima kasih, Gusti Prabu,” sahut Raden Anom. “Karena itu, saya meminta kepada Ki Mahapatih agar menarik seluruh pasukan ke kota raja. Pastikan para pemberontak itu memasuki ladang kematian mereka, yaitu alun-alun kota.”
Pada malam purnama lima hari kemudian, semua sudah bersiap-siap di posisi yang sudah diatur sedemikian rupa. Kota raja telah lengang sejak malam menggantikan senja hari. Segenap rakyat di seantero kota telah diberitahu oleh para pemimpin mereka di tiap wilayah agar malam itu semua tidak ada yang keluar dari rumah. Kemarin malam Pendekar Cambuk Halilintar telah mengadakan kontak gaib dengan eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Kepada sang eyang gurunya itu Raden Anom meminta bantuan agar di malam bulan empat belas sang eyang dapat menolongnya untuk mengaburkan seluruh mata pemberontak dengan Mantra Panglimunan Jagat agar mereka tidak dapat melihat istana Raja Hastanta serta mengubah kota raja terlihat sebagai sebuah rimba belantara. “Baiklah, cucuku, Eyang akan membantumu demi kebaikan rakyat Kerajaan Astanegara.
Saat keadaan kota raja dikembalikan dalam keadaan aslinya, seluruh warga kota berbondong-bodong datang ke alun-alun. Mereka menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Mungkin karena mayat-mayat itu adalah mayat-mayatnya pemberontak dan penghianat kerajaan, para warga itu pun sama sekali tak merasakan adanya rasa berbela sungkawa sedikit pun. Malah yang ada adalah perasaan geram. Atas permintaan Mahapatih Suradarma, segenap prajurit kerajaan dan dibantu oleh segenap warga kota yang laki-laki menguburkan seluruh mayat itu di sebelah barat alun-alun. Seluruhnya ditimbun dalam sebuah lobang raksasa dan dalam. Sementara para dedengkotnya pemberontak, yaitu Ki Bratasena, Ki Cakra Wisa, da
“Kira-kira dari kerajaan manakah yang melakukan penyerbuan tadi, Kangmas, Bopo, Biung?” bertanya Ratu Gayatri. “Kalau dilihat dari seragam pasukannya, mereka adalah pasukan dari Kerajaan Wurawari dan Kerajaan Sriwijaya,” sahut Ki Jagadita tanpa menoleh kepada kedua muridnya maupun istrinya, DIajeng Sekar Laras. “Kerajaan Wurawuri? Bukankah Kerajaan Wurawari adalah kerajaan kecil yang berada di bawah naungan Kerajaan Medang Kamulan, Bopo? Lalu mengapa pula kerajaan Sriwijaya jauh-jauh datang menyerbu Kerajaan Medang?”ucap Ratu Gayatri. “Kerajaan Sriwijaya pernah diserbu oleh Kerajaan Medang. Bopo kira, mereka melakukan tindakan balasan di saat Kerajaan Medang Kamulan. Me
“Ceritakan semuanya kepadaku, Angger, apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap orang tua dari bocah itu?” tanya Baginda Nara kepada Raden Anom saat duduk sembari menyaksikan Galih yang sedang berlatih di halaman padepokan. “Nasibnya mirip-mirip nasib ananda, Bopo Gedhe. Dia kehilangan ayahnya oleh sebuah keserakah nafsu. Hanya bedanya, Bopo dibantai oleh para begal, sementara bopo dan ayundanya Galih ikut terbunuh oleh pemberontak yang menyerbu Kerajaan Medang Kamulan. Ia terbunuh bersama Raja Dharmawansah Teguh sekeluarga serta segenap undang pernikahan agung itu. Para pembesar kerajaan juga ikut terbunuh. Putri sang raja juga terbunuh, tetapi Pangeran Airlangga, sang menantu, ananda dengar ia berhasil meloloskan diri.” “Ya Tuhan..., sebuah kerajaan
“Anak kami...telah gugur pada peristiwa maha pralaya dua tahun yang lalu, Angger Anom. Dia seorang anggota bhayangkara Kerajaan Medang Kamulan.” Agak kaget dan terdiam Raden Anom mendengar cerita dari Ki Prana itu.“Saya ikut berbela sungkawa, Ki Prana. Mendiang adalah pahlawan bagi negerinya.” “Terima kasih, Angger Anom,”ucap Ki Prana dengan wajah tertunduk. “Sebenarnya, Angger Anom ini berasal dari negeri manakah gerangan? Maaf, sa-saya lihat, dari penampilan Angger Anom ini bukanlah pemuda biasa.” Raden Anom tertawa pendek, dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Seorang laki-laki dengan suara lantang terdengar di luar rumah.
Perasaan Raden Anom seperti teriris mendengar cerita Ki Prana itu. “Sebelum peristiwa maha pralaya itu, desa ini merupakan salah satu desa yang makmur di Kerajaan Medang Kamulan. Tetapi setelah peristiwa itu semuanya berubah. Kekacauan dan perampokan terjadi di mana-mana. Sebenarnya, oleh Ki Lurah terdahulu, Lurah Sabrang Ageng, masih mampu mengatasi keadaan itu dengan kebijakannya yang luar biasa bagus. Keamanan desa tetap terjaga dengan memberdayakan segenap laki-laki di desa ini untuk tetap menjadi penjaga desa ini. Tetapi setahun lebih yang lalu, beliau mati secara mendadak dengan tubuh membiru. Kemungkinan mendiang diracun. Menurut desas desus, itu dilakukan oleh Juragan Ki Srandak. Sejak dahulu Ki Sradak sangat berkeinginan untuk menjadi lurah. Tetapi setiap pemilihan lurah, dia selalu kalah oleh Ki Lurah Sabrang Ageng.”&