Sesungguhnya, Raden Anom tidak bermaksud untuk memamerkan kedigdayaannya di hadapan sang raja dan sang mahapatihnya, tetapi biar apa yang akan mereka saksikan kelak menjadi bukti, bahwa Kerajaan Palingga memiliki pasukan yang sangat tangguh, dan tak boleh ada pemberontak atau pun kerajaan mana pun yang boleh mengganggu mereka.
“Saya sangat setuju dengan semua usulan yang disampaikan oleh Panglima Muda Anom. Saya serahkan sepenuhnya kelanjutan kerajaan saya kepada Panglima Muda Anom dari serbuan para pemberontak itu,”sabda Raka Hastanta.
“Terima kasih, Gusti Prabu,” sahut Raden Anom. “Karena itu, saya meminta kepada Ki Mahapatih agar menarik seluruh pasukan ke kota raja. Pastikan para pemberontak itu memasuki ladang kematian mereka, yaitu alun-alun kota.”
Pada malam purnama lima hari kemudian, semua sudah bersiap-siap di posisi yang sudah diatur sedemikian rupa. Kota raja telah lengang sejak malam menggantikan senja hari. Segenap rakyat di seantero kota telah diberitahu oleh para pemimpin mereka di tiap wilayah agar malam itu semua tidak ada yang keluar dari rumah. Kemarin malam Pendekar Cambuk Halilintar telah mengadakan kontak gaib dengan eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Kepada sang eyang gurunya itu Raden Anom meminta bantuan agar di malam bulan empat belas sang eyang dapat menolongnya untuk mengaburkan seluruh mata pemberontak dengan Mantra Panglimunan Jagat agar mereka tidak dapat melihat istana Raja Hastanta serta mengubah kota raja terlihat sebagai sebuah rimba belantara. “Baiklah, cucuku, Eyang akan membantumu demi kebaikan rakyat Kerajaan Astanegara.
Saat keadaan kota raja dikembalikan dalam keadaan aslinya, seluruh warga kota berbondong-bodong datang ke alun-alun. Mereka menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Mungkin karena mayat-mayat itu adalah mayat-mayatnya pemberontak dan penghianat kerajaan, para warga itu pun sama sekali tak merasakan adanya rasa berbela sungkawa sedikit pun. Malah yang ada adalah perasaan geram. Atas permintaan Mahapatih Suradarma, segenap prajurit kerajaan dan dibantu oleh segenap warga kota yang laki-laki menguburkan seluruh mayat itu di sebelah barat alun-alun. Seluruhnya ditimbun dalam sebuah lobang raksasa dan dalam. Sementara para dedengkotnya pemberontak, yaitu Ki Bratasena, Ki Cakra Wisa, da
“Kira-kira dari kerajaan manakah yang melakukan penyerbuan tadi, Kangmas, Bopo, Biung?” bertanya Ratu Gayatri. “Kalau dilihat dari seragam pasukannya, mereka adalah pasukan dari Kerajaan Wurawari dan Kerajaan Sriwijaya,” sahut Ki Jagadita tanpa menoleh kepada kedua muridnya maupun istrinya, DIajeng Sekar Laras. “Kerajaan Wurawuri? Bukankah Kerajaan Wurawari adalah kerajaan kecil yang berada di bawah naungan Kerajaan Medang Kamulan, Bopo? Lalu mengapa pula kerajaan Sriwijaya jauh-jauh datang menyerbu Kerajaan Medang?”ucap Ratu Gayatri. “Kerajaan Sriwijaya pernah diserbu oleh Kerajaan Medang. Bopo kira, mereka melakukan tindakan balasan di saat Kerajaan Medang Kamulan. Me
“Ceritakan semuanya kepadaku, Angger, apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap orang tua dari bocah itu?” tanya Baginda Nara kepada Raden Anom saat duduk sembari menyaksikan Galih yang sedang berlatih di halaman padepokan. “Nasibnya mirip-mirip nasib ananda, Bopo Gedhe. Dia kehilangan ayahnya oleh sebuah keserakah nafsu. Hanya bedanya, Bopo dibantai oleh para begal, sementara bopo dan ayundanya Galih ikut terbunuh oleh pemberontak yang menyerbu Kerajaan Medang Kamulan. Ia terbunuh bersama Raja Dharmawansah Teguh sekeluarga serta segenap undang pernikahan agung itu. Para pembesar kerajaan juga ikut terbunuh. Putri sang raja juga terbunuh, tetapi Pangeran Airlangga, sang menantu, ananda dengar ia berhasil meloloskan diri.” “Ya Tuhan..., sebuah kerajaan
“Anak kami...telah gugur pada peristiwa maha pralaya dua tahun yang lalu, Angger Anom. Dia seorang anggota bhayangkara Kerajaan Medang Kamulan.” Agak kaget dan terdiam Raden Anom mendengar cerita dari Ki Prana itu.“Saya ikut berbela sungkawa, Ki Prana. Mendiang adalah pahlawan bagi negerinya.” “Terima kasih, Angger Anom,”ucap Ki Prana dengan wajah tertunduk. “Sebenarnya, Angger Anom ini berasal dari negeri manakah gerangan? Maaf, sa-saya lihat, dari penampilan Angger Anom ini bukanlah pemuda biasa.” Raden Anom tertawa pendek, dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Seorang laki-laki dengan suara lantang terdengar di luar rumah.
Perasaan Raden Anom seperti teriris mendengar cerita Ki Prana itu. “Sebelum peristiwa maha pralaya itu, desa ini merupakan salah satu desa yang makmur di Kerajaan Medang Kamulan. Tetapi setelah peristiwa itu semuanya berubah. Kekacauan dan perampokan terjadi di mana-mana. Sebenarnya, oleh Ki Lurah terdahulu, Lurah Sabrang Ageng, masih mampu mengatasi keadaan itu dengan kebijakannya yang luar biasa bagus. Keamanan desa tetap terjaga dengan memberdayakan segenap laki-laki di desa ini untuk tetap menjadi penjaga desa ini. Tetapi setahun lebih yang lalu, beliau mati secara mendadak dengan tubuh membiru. Kemungkinan mendiang diracun. Menurut desas desus, itu dilakukan oleh Juragan Ki Srandak. Sejak dahulu Ki Sradak sangat berkeinginan untuk menjadi lurah. Tetapi setiap pemilihan lurah, dia selalu kalah oleh Ki Lurah Sabrang Ageng.”&
Raden Anom berjalan mendekati Ki Prana dan anak-istrinya. “Ki Prana, Ibu, Dik Laksmi pilih-pilihlah dulu apa yang mau dibeli. Mungkin pakaian, jarik, dan lain-lain. Silakan. Nanti saya yang bayar semuanya. Saya mau menemui Juragan Srandak dulu.” “Baiklah, Angger Anom,” sahut Ki Prana. Juragan Srandak tinggal di sebuah rumah yang paling mewah di desa itu. Rumah itu berada di sebelah barat gudang yang bersebelahan dengan kedai jualnya. Melihat kehadiran sang pemuda asing, laki-laki yang bertubuh besar dan gemuk itu menatap curiga. Sebelum ia bertanya, Ki Jalak Ireng sudah memberitahukannya: &ldquo
Di luar ia sudah dijemput oleh Ki Jalak Ireng. “Bagaimana, Kawan Anom, bisa...?” “Jalak Ireng,”Juragan Srandak datang dari arah belakang, “ tolong suruh beberapa anak buahmu untuk memberitahukan kepada seluruh warga desa untuk mengambil beras bagian mereka. Tiap kepala keluarga bagikan satu karung satu karung.” “Oh, baik, Juragan...!” Juragan Srandak beralih kepada Raden Anom dan bertanya, “Apakah ada barang lain yang Angger Anom butuhkan buat warga desa?” “Oh, untuk sementara baru beras dulu, Juragan. Biar mereka sendiri nanti yang akan datang membeli barang-barang kebutuhan mereka di t
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.