MALAM itu bulan purnama menerangi jagat malam. Langit demikian bersih, sehingga bintang-gemintang tampak bertaburan bak jutaan berlian.
Di sebuah jalan raya yang membelah lembah yang bernama Padang Kara, terlihat rombongan tiga pedati berbentuk rumah kecil yang masing-masing ditarik oleh dua elor lembu putih yang besar-besar dan kuat. Ketiga pedati itu dikawal oleh puluhan pengawal berkuda yang berjalan mendahului di depan dan sebagian mengikuti dari belakang. Bisa dipastikan, bahwa para pengawal berkuda itu merupakan para pendekar pilihan. Rata-rata di punggung mereka menyandang sepasang sepadang. Suatu isyarat, bahwa orang-orang yang ada dalam gerobak merupakan orang-orang yang tak sembarangan. Jika bukan keluarga juragan kaya raya, tentulah keluarga kalangan wong agung.
Pedati yang belakang berisi perbekalan, sedangkan pedati yang bagian depan berisi peti-peti dengan tutup yang berbentuk melengkung. Peti-peti itu berisi harta yang berharga milik sang adipati, berupa uang emas dan perak serta permata yang sangat mahal harganya. Yang ditumpangi manusia yang dikawal adalah pedati yang tengah. Yang ada dalam pedati itu ada tiga orang, suami istri, pasangan yang masih relatif muda, mungkin berusia yang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sedangnya istrinya mungkin baru menginjak kepala tiga. Di antara keduanya ada seorang anak laki-laki, putra mereka, yang berusia sekitar tujuh tahun. Mereka adalah Adipati Raden Wirajaya dan garwanya, Diajeng Sekar Laras, serta putra mereka yang bernama Raden Anom. Ketiganya dalam keadaan terlelap dalam tidurnya. Mereka sama sekali tak terusik oleh goncangan demi goncangan dari pedati yang ditumpanginya akibat melewati jalan yang tak selalu mulus. Mungkin perjalanan yang cukup panjang menjadikan tubuh mereka sangat penat.
Tak ada suara apa pun dalam perjalanan itu selain suara ladam-ladam kuda yang berantukan dengan batu-batu jalanan serta bunyi berdenyit ketiga pedati akibat goncangan. Sebuah perjalanan malam yang begitu tenang.
Akan tetapi, baru saja mereka melewati sebuah kecil yang tak terlalu luas namun penuh dengan pohon-pohon yang besar, tiba-tiba mereka mendapat serangan puluhan anak panah yang tak jelas arah datangnya.
Siuutt...!!!
Siuutt...!!!
Siuutt...!!!
“Semua waspadaa...!! Kita sedang diseraang...!!” teriak kepala pengawal yang menunggang kuda paling depan, sembari menghentikan jalan kudanya secara mendadak. Dia bernama Senapati Yuda Wijaya. Kepanikan pun langsung terjadi. Kuda-kuda meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya. Dan beberapa ekor di antaranya langsung rubuh dan melempar penunggangnya akibat terkena anak panah.
“Aaaakhh...!!”
“Aaaakhh...!!”
Dua jeritan menjemput ajal terdengar menyayat malam. Mereka adalah dua pengawal yang berada di barisan belakang. Adipati Wirajaya dan Diajeng Sekar Laras sontak terbangun. “Ada apa, Kangmas?”tanya Diajeng Sekar Laras kepada suaminya.
Namun Adipati Wirajaya justru bertanya kepada sais pedatinya, “Apa yang terjadi, Sais Enda..?!”
“Rombongan kita sedang diserang, Tuan Adipati. Dua jeritan barusan berasal dari dua pengawal yang di belakang,”lapor Sais Enda dengan tubuh merunduk dengan wajah sangat panik.
“Kurang ajar!” geram Adipadi Wirajaya. “Mana Senapati Yuda Wijaya...!”
“Ada di depan, Tuan Adipati. Dia sedang menghalau serangan anak panah yang terus-menerus datang dari segala arah.”
“Hmm, naga-naganya manusia-manusia iblis itu sedang menyasar para pengawal terlebih dahulu!”Adipadi Wirajaya menggeretakkan giginya. “Baiklah, aku akan turun...!”
Namun niatnya tertahan oleh suara jeritan kematian dari salah seorang pengawal di depan yang disusul oleh bunyi gedebug tubuhnya yang jatuh dari punggung kuda tunggangannya.
“Jangan ke mana-mana, Kang Mas...! Diajeng Sekar Laras melarang dengan suara bergetar ketakutan sembari menarik ujung baju suaminya dari belakang. Wajah wanita yang tetap memelihara kecantikan dari masa mudanya itu terlihat sangat panik.
“Jangan khawatir....”
Belum sempat Adipati Wirajaya menyelesaikan ucapannya, mendadak sebuah anak panas menembus dinding pedatinya yang terbuat dari kulit hewan.
Wiitt...!!
“Awas Diajeng...!!”
Adipadi Wirajaya secara spontan menarik punggung istrinya. Anak panah langsung lewat di atas punggung istrinya lalu menembus dinding pedati yang sebelah. Dan...
“Aaaaakh...!!”
Satu jeritan kematian terdengar di sebelah pedati justru mengagetkan mereka. Rupanya anak panah beracun barusan justru menancap tepat di leher salah seorang pengawal yang berada di samping pedati.
Setelah itu terdengar teriakan orang-orang yang keluar dari segala penjuru. Rupanya sebagian dari para begundal itu telah datang melakukan penyerangan langsung. Serbuan mendadak dari segala arah itu membuat pengawal Adipadi Wirajaya hanya mampu memberikan pertahanan dan serangan balasan yang sama sekali tak beraturan. Sehingga dalam waktu yang singkat terdengar jeritan-jeritan kematian dari para pengawal.
“Sais Enda, kamu jaga Tuan Putri dan Tuan Mudamu! Diajeng, lindungi putra kita, dan tetaplah menunduk seperti itu! Aku akan segera kembali! Para bedebah itu harus dilenyapkan!”
Sehabis berkata demikian, Adipati Wirajaya langsung meraih pedangnya yang ada di dekat tubuhnya dan langsung berkelebat turun. “Pada begundal jahannaaam...!” teriaknya penuh amarah.
Pertempuran yang tak seimbang pun berlangsung malam itu. Cahaya bulan purnama yang sangat tenrang membantu para Adipati dan pengawalnya untuk mengenal lawan-lawannya, karena sebagian besar mereka telah turun dari punggung kudanya masing-masing.
Karena Adipati Wirajaya juga adalah seorang yang berilmu tinggi dan sakti mandraguna, langsung melakukan serangan gencar dan amat cepat. Beberapa anggota begundal langsung berjatuhan meregang nyawa dengan leher menganga akibat sabetan-sabetan pedangnya. Daun-daun di sekitar areal pertempuran beguguran oleh kerahan tenaga dalam dari para petarung.
Tetapi kesaktian sang Adipati tidaklah menyurutkan nyali para penyerangnya. Dengan jumlah mereka yang lebih banyak serta pasukan panah yang terus membidik dari segala arah dari tempat-tempat yang tersembunyi, membuat para pengawal terus berguguran, baik yang masih berada di atas punggung kuda mereka maupun yang sudah bertempur saling berhadapan di bawah dengan musuh yang sama sekali tak tahu mereka tahu itu.
Lama-kelamaan pasukan pengawal Adipati Wirajaya pun habis berjatuhan. Yang tertinggal dari mereka hanyalah pimpinannya, yaitu Senapati Yuda Wijaya. Walau seluruh anggotanya sudah berguguran, namun adipati yang memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi dengan pengalaman tarungnya yang sudah banyak, tak sedikit pun surut untuk memberikan perklawanan. Ia begitu gigih menghalau serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh musuh-musuhnya. Lalu pada kesempatan yang tepat ia pun melancarkan balas melakukan serangan-serangan yang sangat cepat dan berbahaya, mendampingi tuannya, Adipati Wirajaya. Entah sudah berapa orang begundal yang berhasil ia tewaskan.
Akan tetapi....
Siittt....!!!
Siittt...!!!
Siittt....!!!
Tiga anak panah tiba-tiba meluncur dengan amat cepat dari arah belakang dan langsung menancap di punggung sang adipati. Laki-laki itu menjerit setinggi langit merasakan kesakitan yang amat sangat. Tubuhnya langsung oleng dan pandangannya berkunang-kunang.
“Senapati Yuda Wijaya...!!” teriak Adipati Wirajaya dan bergerak cepat untuk menahan tubuh Senapatinya.
Akan tetapi, lagi-lagi...
Siittt...!!
Siittt...!!!
Siittt...!!!
Siittt...!!!
Untung tak teraih namun malang tak bisa ditolak, tubuh sang adipati pun terkena hantaman empat anak panah beracun. Keempat anak panah itu menancap di belakang lehernya, di lengannya, serta di bagian dadanya dua anak panah. “Aaaah...! Para begal jahannaam...!!” teriak sang adipati baru Sendang Sewu itu. “Tuan Putri, Tu-tuan Adipati kena...!!” bisik Sais Enda kepada Diajeng Sekar Laras. Mendengar itu, wanita yang belum menginjak usia tiga puluh tahun itu langsung berteriak. Ia menarik tangan putranya, Raden Anom, untuk turun dari pedati. Sais Enda terlambat untuk menceganya. “Kang Mas Wirajaya....!” Tangis Diajeng Sekar Laras pecah. Ia hendak memeluk tubuh s
Di malam pertama itu Diajeng Sekar Laras disuguhi makan malam dengan lauk ikan bakar dan masak kuah. Dan yang menjadi juru masaknya adalah Ki Jagadita sendiri dan dibantu oleh Diandra dan Gayatri. Sebenarnya, Diajeng Sekar Laras Sama sekali tak merasakan lapar. Selera makannya hilang sama sekali, akibat kedukaannya yang mendalam atas kematian suaminya dengan cara yang mengenaskan. Bayangan wajah suaminya di saat-saat terakhir hidupnya, tergambar nyata dalam benaknya dan membuat air matanya terus menetes. “Menangis itu salah satu cara terbaik untuk mengurangi rasa sesak dan duka di hati,”nasihat Ki Jagadita, tanpa melihat ke wajah Diajeng Sekar Laras karena saat itu ia sedang menyeduk ikan masak kuah dalam periuk tanah.“Tetapi Nimas Sekar jangan me
Ternyata di atas batu besar di belakangnya ada dua lembar jarik untuk pengganti dan selembar baju wanita dari bahan sutera yang juga terlimpit rapi. “Ini pasti Ki Jagad yang antarkan,” ucap Diajeng Sekar Laras dalam hati. “Tapi kapan dia mengantarkan ini?” Dan tak mau berpikir panjang, ia pun hanya tersenyum. Ia tak perlu terlalu heran tentang laki-laki berilmu sangat tinggi itu. Namun, ada hal lain yang membuat perasaannya heran, yaitu tentang dua jarik dan selembar baju wanita dari bahan sutera itu sendiri. Tentu pakaian-pakaian itu bukanlah pakaian baru, tapi pernah dipakai oleh pemilik sebelumnya. Apakah ini milik istrinya Ki Jagad? Tapi di mana dia? Pada saat yang sama, jauh di ibukota Kerajaan Palingga suasana terjadi kegemparan akibat terbunuhnya Adipati Wirajaya dan seluruh pengawalnya. Namu
“Ceritakanlah pada saya, Nimas, siapakah sesungguhnya Nimas ini dan mendiang suami Nimas, biar saya sedikit tahu asal-usul orang yang ada bersama saya saat ini. Itu pun jika Nimas Sekar Laras tak keberatan,” pinta Ki Jagadita tanpa menoleh pada Diajeng Sekar Laras, namun pandangan matanya diarahluruskan ke depan, sehingga ia seolah-olah tengah berbicara kepada hamparan tanaman padinya yang terhampar menghijau. “Bagaimana saya bisa keberatan atas permintaan orang yang paling berjasa dalam hidup saya dan anak saya, Ki Jagat?” jawab Diajeng Sekar Laras dengan wajah sedikit menoleh ke samping tapi tak memandang ke wajah Ki Jagadita. “Mendiang suami saya adalah seorang adipati, Ki Jagad. Namanya Adipati Wirajaya. Mendiang adalah adipati baru di sebuah kadipaten yang bernama Sendang Sewu. Semalam itu justru kami sedang dalam perjalanan menuju daerah tugas beliau yang baru itu.
Seiring berjalannya waktu, suasana hati dan pikiran yang dirasakan oleh Diajeng Sekar Laras sudah semakin stabil dan normal kembali. Berkat bimbingan spiritual dari Ki Jagadita, ia pun telah mampu menerima peristiwa yang dialami oleh keluarganya sebagai sebuah takdir dan garis nasib yang sudah ditetapkan oleh Sang Hyang Maha Agung. “Setiap manusia membawa garis nasib di tangannya masing-masing, Nimas,”nasihat Ki Jagadita suatu hari. “Seseorang menjadi pemimpin dan kawula itu juga sudah ada sebelum ketiadaan. Kita hidup dalam keadaan bagaimana, dan menjadi apa, entah menjadi pedagang, petani, nelayan, serta di mana kita akan hidup dan mati, bahkan siapa jodoh kita, itu sudah ditetapkan semuanya. Manusia yang baik adalah, mereka yang mampu menerima setiap ketentuan dan garis nasib itu dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Rasa kecewa dan duka itu, adalah hal yang sangat
Kitab Dewa Galap sejatinya adalah kitab wasiat yang berasal dari alam jin, karena diturunkan oleh seorang baureksa sakti di kalangan bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Galap Ngampar kepada muridnya yang bernama Pendekar Galap Ngampar. Pendekar Galap Ngampar mewariskan kitab tersebut kepada muridnya yang berjuluk Pendekar Galap Ngampar. Selanjutnya Pendekar Galap Ngampar merupakan kitab tersebut kepada muridnya yang bergelar Dewa Cambuk Halilintar, yang tak lain adalah Ki Jagadita. Ki Baureksa Galap Ngampar adalah putra dari Ki Baureksa Jagat. Kepada muridnya Ki Baureksa Jagat menurunkan sebuah cambuk sakti yang bernama Cambuk Halilintar. Artinya, kedua benda wasit itu memiliki keterikatan satu sama lain, dan berasal dari sumber yang sama, yaitu ayah dari Ki Baureksa Galap Ngampar yang bernama Ki Baureksa Halilintar Jagat, yang merupakan kakek dari Ki Baureksa jaga
“Horeee....!” Diandra, Gayatri, dan Raden langsung berseru kegirangan sambil berjoget-joget ketika puluhan laki-laki jahat itu lari kocar-kacir oleh mereka. Ki Jagadita dan Diajeng Sekar Laras hanya tertawa dan menggeleng-geleng melihat perilaku ketiganya. Ki Jagadita bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada Diajeng Sekar Laras, “Berlatihlah Nimas bersama anak-anak...” “Ki Jagad mau ke mana?” “Saya mau lihat ladang. Sudah beberapa hari saya tak ke sana.” “Saya ikut, Ki!” &ld
Tak terasa, dua tahun Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, tinggal bersama Ki Jagadita. Sepanjang waktu itu, keduanya digembleng oleh sang pendekar besar super sakti itu siang dan malam, bersama Diandra dan Gayatri. Untuk ukuran dan pandangan awam, ilmu dan kesaktian mereka sudahlah sangat tinggi. Namun bagi pandangan seorang pendekar besar seperti Ki Jagadita, para muridnya itu baru berada pada taraf menengah untuk ukuran seorang pendekar besar seperti dirinya, walaupun keempat muridnya itu telah menguasai jurus-jurus tingkat rendah, menengah, hingga jurus-jurus pamungkas darinya. Sebab, keempatnya baru menguasai ilmu benteng luar saja, jurus-jurus ilmu kanuragan, tetapi belum digembleng dengan ilmu benteng dalam berupa jurus-jurus ilmu tenaga dalam dan kelinuwihan.
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.