Kitab Dewa Galap sejatinya adalah kitab wasiat yang berasal dari alam jin, karena diturunkan oleh seorang baureksa sakti di kalangan bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Galap Ngampar kepada muridnya yang bernama Pendekar Galap Ngampar. Pendekar Galap Ngampar mewariskan kitab tersebut kepada muridnya yang berjuluk Pendekar Galap Ngampar. Selanjutnya Pendekar Galap Ngampar merupakan kitab tersebut kepada muridnya yang bergelar Dewa Cambuk Halilintar, yang tak lain adalah Ki Jagadita.
Ki Baureksa Galap Ngampar adalah putra dari Ki Baureksa Jagat. Kepada muridnya Ki Baureksa Jagat menurunkan sebuah cambuk sakti yang bernama Cambuk Halilintar. Artinya, kedua benda wasit itu memiliki keterikatan satu sama lain, dan berasal dari sumber yang sama, yaitu ayah dari Ki Baureksa Galap Ngampar yang bernama Ki Baureksa Halilintar Jagat, yang merupakan kakek dari Ki Baureksa jagat.
Ada pun Cambuk Halilintar tidak tersimpan dalam gua itu, tetapi tersimpan dalam tubuh Ki Jagat sendiri. Dan cambuk sakti itu akan langsung berada di tangan sang pemilik atau pewarisnya pada saat akan dipergunakan untuk menghancurkan musuh.
Karena Kitab Dewa Galap sudah berpindah ke pewarisnya dari bangsa manusia, maka selamanya kitab tersebut menjadi sebuah kitab yang bisa pegang dan dipelajari oleh siapa pun manusia. Karena itu, keberadaan kitab tersebut sangat dirahasiakan dan disimpan ditempat yang paling rahasia. Karena bisa dibayangkan, jika kitab itu jatuh ke tangan yang berwatak jahat dan serakah, tentu akan menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia lain.
Ketika mengadakan semedi dalam gua tersebut, sukma dan batin Ki Jagat dapat menerima wisik gaib dari sahabat-sahabatnya dari kalangan bangsa jin yang memberitahunya akan terjadi sesuatu atau hal-hal yang harus segera ia lakukan. Seperti contohnya, ketika ia mendapat wisikan bahwa akan terjadi penghadangan yang dilakukan oleh Kelompok Bekal Macan Ireng terhadap rombongan seorang pembesar,di mana saat itu ia sedang bersemadi dalam goa itu, sehingga dengan cepat ia langsung bergerak untuk memberikan pertolongan. Walau sayangnya, ia hanya mampu menolong istri dan putra dari sang adipati, yaitu Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom.
***
Kita kembali ke istana Kerajaan Palingga. Suasana hati Ratu Ageng Sekar Arum masih dirundung perasaan duka terutama karena adik dan kemenakannya, Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom, belum juga ditemukan keberadaannya. Jangankan ditemukan, kabar tentang apa dia masih hidup atau telah mati pun belum bisa diketahui secara pasti.
Lalu, atas usulan Ratu Ageng Sekar Arum, Baginda Nararyawardhana (Paduka Nara), telah mengadakan sayembara berhadiah. Siapa pun yang dapat memberitahukan atau mengetahui keberadaan Diajeng Sekar Laras dan Putranya Raden Anom, maka akan diberikan hadiah seribu kepeng emas. Namun belum juga ada laporan dari siapa pun yang telah menemukan keberadaan Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom.
Sebenarnya, demikian banyak orang yang mengadu untung dengan mencari keberadaan sang garwa dari mendiang Adipati Wirajaya itu. Bukan saja dari kalangan rakyat biasa saja, pun para pendekar dari golongan hitan serta kelompok-kelompok penyamun mengambil bagian di dalamnya. Hadiah seribu kepeng emas bukanlah sebuah jumlah yang sedikit, tapi sangat besar. Di kalangan rakyat biasa kala itu, memiliki seribu kepeng emas hanya ada dalam angan saja.
Dan salah satu yang tertarik dan ikut ambil bagian dalam sayembara itu adalah Lurah Desa Sawo Jajar, yaitu Ki Jantaka alias Gentala Seta (nama Gentala Seta hanya dikenal dalam kelompoknya saja, yaitu kelompok begal Macan Ireng). Lurah yang sangat licik dan pandai menyembunyikan kebusukannya ini sangat berambisi untuk mendapatkan hadiah besar itu.
Lurah Jantaka alias Gentala Seta memerintahkan dua puluh orang kepercayaannya untuk mengikuti jejak orang yang telah menyelamatkan istri dan putra dari mendiang Adipati Wirajaya itu. “Aku yakin, tempat tinggal orang yang telah menyelamatkan perempuan itu dan anaknya tak jauh-jauh dari tempat penghadangan mereka dulu,” ucap Ki Jantaka kepada kedua puluh anak buahnya. “Kalian harus susuri setiap jengkal lembah dan gunung di sebelah selatan dari tempat penghadangan itu. Jangan lupa kalian cari seorang pelacak jejak yang sudah berpengalaman.”
“Baiklah, Ketua! Kami mohon diri!”jawab Bajing Wulung, laki-laki yang oleh Ki Jantaka ditunjuk sebagai pimpinan rombongan utusannya itu.
Sore itu, di kala Diajeng Sekar Karas, Raden Anom, Diandra, dan Gayatri sedang berlatih jurus-jurus baru di bawah arahan sang guru mereka, Ki Jagadita, tiba-tiba mereka menghentikan latihannya. Telinga mereka menangkap suara banyak orang, laki-laki, yang sedang bicara satu sama lainnya yang diselingi dengan tawa. Suara itu semakin lama semakin dekat, dan akan menuju ke arah mereka.
Diajeng Sekar Laras segera menarik dan memeluk tubuh Raden Anom, Diandra dan Gayatri berdiri di dekat Ki Jagadita.
“Kalian tak perlu takut, bangsa manusia tak akan bisa melihat tempat ini. Tempat ini sudah dilindungi dengan Ilmu Halimun Jagat,”berkata Ki Jagadita sembari menenangkan hati Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom. Diandra dan Gayatri hanya ikut-ikut kaget karena melihat kepanikan di wajah ibu angkat mereka saja. Ilmu Halimun Jagat adalah jenis ilmu halimun tingkat tinggi yang mampu menghilangkan suatu wilayah dari penglihatan manusia.
Benar saja, laki-laki yang berjumlah dua puluh orang itu sama sekali tak melihat keberadaan mereka saat berjalan di dekat mereka. Bahkan bangunan padepokan pun tak mereka lihat.
“Ke mana manusia siluman itu membawa pergi garwa dan putra dari Adipati Wirajaya itu...?” berkata salah seorang di antara rombongan laki-laki yang rata-rata bertampang kasar itu tanpa ditujukan secara khusus kepada siapa pun, sambil menghentikan langkahnya, tepat di depan Ki Jagadita dan keempat lainnya.
“Iya, ketua, padahal tempat ini merupakan tempat yang paling terpencil dan jauh dari pemukiman terdekat. Atau bisa jadi manusia siluman itu membawanya ke arah lain,”menanggapi yang lainnya.
“Tapi kita harus tetap mencarinya sampai dapat. Jangan sampai keduluan orang lain yang menemukan mereka, sehingga kita tidak mendapatkan hadiah seribu kepeng emas dari Paduka Nara,”ucap Bajing Wulung, ketua rombongan itu. Mereka adalah rombongan suruhannya Gentala Seta.
Mendengar isi percakapan itu, membuat wajah Giajeng Sekar Laras dan Raden Anom kaget dan geram. “Rupanya mereka ini adalah para begundal yang pernah menyerang kami malam itu, Ki Jagad. Kita harus menghabisi mereka!”ucap Diajeng Sekar Laras dengan memperlihatkan wajah amarahnya. Ia bergerak hendak mencabut golok yang terselip di pinggang salah satu dari dua puluh orang itu mau digunakan untuk menyerang.
Tapi dengan sigap Ki Jagadita menahan tubuhnya, “Jangan dulu, Nimas...! Ada waktunya mereka untuk membasmi.”
“Huh...!”dengus Diajeng Sekar Laras penuh emosi dengan wajah geram, tanpa membuang sorot mata geramnya kepada para laki-laki yang sedang mencarinya itu.
Namun tiba-tiba, Raden Anom memukul wajah Bajing Wulung dengan tongkat rotan yang sering dipakainya untuk berlatih.
Plakk...!!
“Hai, kenapa kau memukul aku...!” bentak Bajing Wulung kepada salah satu anak buahnya yang berdiri di sampingnya sembari memegang pelipisnya yang sakit.
“Ah, tidak Ketua! Aku sama sekali tak tahu menahu...!” jawab laki-laki yang dituduh.
Bajing Wulung tetap tak percaya, dan ia langsung mengangkat tangannya untuk memukul, tapi tau-tau...
Plakk...!!
Lehernya lagi yang terpukul. Ia hendak menuduh anak buahnya yang berdiri di belakangnya, tapi anak buahnya pun tiba-tiba mendapat serangan pula. Bahkan ia mendapat pukulan tongkat Raden Anom berkali-kali tanpa mampu ia tangis, selain dari langsung meloncat menjauhi.
Ki Jagadita menarik tangan Diajeng Sekar Laras ke beranda Padepokan. Keduanya menonton saja yang akan dilakukan oleh Raden Anon, Diandra, dan Gayatri. Diandra dan Gayatri terpengaruh untuk melakuakn seperti yang dilakukan oleh Raden Anom. Dengan tongkat latihan ketiganya menyerang rombongan laki-laki bertampang kasar itu satu persatu dengan keras dengan tongkat mereka. Puluhan laki-laki itu langsung kocar-kacir dan hiruk-pikuk.
Karena serangan itu mereka kira merupakan serangan dari para hantu-hantu yang mendiami wilayah itu, seperti dikomando kedua puluh laki-laki itu mengambil langkah seribu, dan ada yang seraya berteriak: “Kita diserang hantuuu....!!”
“Horeee....!” Diandra, Gayatri, dan Raden langsung berseru kegirangan sambil berjoget-joget ketika puluhan laki-laki jahat itu lari kocar-kacir oleh mereka. Ki Jagadita dan Diajeng Sekar Laras hanya tertawa dan menggeleng-geleng melihat perilaku ketiganya. Ki Jagadita bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada Diajeng Sekar Laras, “Berlatihlah Nimas bersama anak-anak...” “Ki Jagad mau ke mana?” “Saya mau lihat ladang. Sudah beberapa hari saya tak ke sana.” “Saya ikut, Ki!” &ld
Tak terasa, dua tahun Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, tinggal bersama Ki Jagadita. Sepanjang waktu itu, keduanya digembleng oleh sang pendekar besar super sakti itu siang dan malam, bersama Diandra dan Gayatri. Untuk ukuran dan pandangan awam, ilmu dan kesaktian mereka sudahlah sangat tinggi. Namun bagi pandangan seorang pendekar besar seperti Ki Jagadita, para muridnya itu baru berada pada taraf menengah untuk ukuran seorang pendekar besar seperti dirinya, walaupun keempat muridnya itu telah menguasai jurus-jurus tingkat rendah, menengah, hingga jurus-jurus pamungkas darinya. Sebab, keempatnya baru menguasai ilmu benteng luar saja, jurus-jurus ilmu kanuragan, tetapi belum digembleng dengan ilmu benteng dalam berupa jurus-jurus ilmu tenaga dalam dan kelinuwihan.
Saat keduanya memasuki ruangan goa yang luas itu, mereka disambut oleh cahaya kerlap-kerlip dari sejenis batu-baru kristal yang menempel di dinding-dinding goa. Cahaya dari batu-batu itu menjadi alat penerang alami bagi ruangan luas yang seharusnya gelap pekat itu. Diajeng Sekar Laras sangat takjub melihat pemandangan dalam gua itu. Sehingga saat masuk dalam ruangan alam itu tak membuat perasaan Diajeng Sekar Laras merasa was-was. Bahkan ia seolah-olah sedang berada di sebuah taman khayalan yang indah. “Mari, Nimas, kita ke ruangan goa yang dalam lagi,”ucap Ki Jagadita langsung melangkah ke ujung ruangan pertama goa lalu melewati sebuah jalan berupa pintu masuk. Diajeng Sekar Laras langat kaget, karena ternyata dalam ruangan kedua itu lebih luas lagi dan sang
Dalam waktu sekejap keduanya pun telah sampai di belakang padepokan. Saat itu Diandra, Gayatri, dan Raden Anom sedang menyiapkan makan malam untuk mereka. Berbagai ikan air tawar bakar dan berkuah terhidangkan di atas tikar pandan sebagai lauknya. Aroma makanan yang disiapkan oleh para juru masak cilik itu langsung membuat perut Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita terasa lapar. “Kalian bertiga benar-benar anak-anak yang pintar,” puji Diajeng Sekar Laras sembari mengambil tempat duduk di atas tikar makan. “Berarti kalian bertiga menangkap ikan di sungai ya tadi?” “Iya, Biung,” jawab Gayatri. “Dan semua ikan-ikan ini hasil tangkapan Dik Anom. Dia sudah selihat kamu untuk mengejar ikan-ikan di dasar lubuk.” “Bag
Ternyata di atas batu besar itu ada empat orang yang sedang duduk dan tiduran sambil ngombrol. “Siapa mereka, Kang Mas..?” desis Diajeng Sekar Laras. “Untuk memastikannya, kita dekati saja mereka untuk mendengarkan perbincangan mereka,” Ki Jagadita melangkah mendekati batu besar itu sambil memegang tangan istrinya. Karena orang-orang itu tak bisa melihat mereka karena wilayah sekitar itu hingga padepokannya sudah dilindungi dengan ilmu Halimun Jagat. “Apakah kauyakin yang membawa lari istri dan anak dari mendiang Adipati Wirajaya itu adalah sosok manusia? Jika dia manusia, lantas di mana ia membawa pergi wanita dan anaknya itu...?” bertanya salah seorang dari keempat laki-laki itu entah kepa
Hanya sepeminum kopi Diajeng Sekar Laras telah memasuki kota raja. Ibu kota Kerajaan Palingga merupakan sebuah kota yang yang sangat ramai dan luas. Denyut kehidupan masyarakat kotanya berlangsung di hampir setiap sudut kota. Sebelum melanjutkan perjalanannya menuju istana raja, Diajeng Sekar Laras akan beristirahat dulu barang sesaat sembari membasahi tenggorokannya dengan minuman yang segar dan mengisi perutnya dengan makanan. Tadi di padepokan ia sampai lupa untuk mengisi perutnya dulu, sebagai imbas dari keresahan hatinya akibat memikirkan kakaknya, Ratu Ageng Sekar Arum, yang sedang sakit keras. Tetapi saat ini, ia benar-benar merasakan sangat haus dan lapar. Maka ia harus menemukan sebuah warung makan dulu. Tetapi sebelum itu ia tak lupa merubah sedikit penampilannya dengan Ilmu Malih Rupo. Tampilan wajah dan perawakannya l
Sesampai di depan pintu gerbang utama Istana Kerajaan Palingga, Diajeng Sekar Laras langsung dihadang oleh prajurit pengawal istana dengan saling menyilangkan tombak satu sama lain di tangan mereka secara berlapis. “Nisanak mau ke mana...!”bertanya salah seorang prajurit pengawal. Lebih tepatnya sebagai sebuah bentakan. “Saya seorang tabib dari negeri seberang, hendak mencoba mengobati sakitnya Sang Permaisuri. Ijinkah saya untuk masuk,” sahut Diajeng Sekar Laras. Sekarang suaranya sudah berubah menjadi suara seorang wanita berusia baya. “Apakah Nisanak bisa memberi kami jaminan mampu menyembuhkan Sang Permaisuri...!?”bertanya prajurit pengawal lain dengan wajah tak kalah tak ramahnya.
Bukan saja permaisuri yang kaget, Prabu Nara dan Patih Wiranata pun kaget dengan pengakuan dari sang tabib misterius itu. “Apa maksud Ninik mengaku-ngaku sebagai Diajeng Sekar Laras...? Adik ipar saya itu masih muda dan cantik, sedangkan Ninik ini, maaf, sudah tua...?!”bertanya Prabu Nara dengan sorot mata heran bercampur curiga. “Benar, Ninik,”Patih Wiratama menimpali. “Saya juga bisa marah jika....” “Diam kau, Dikmas Wiratama...!” potong Diajeng Sekjar Laras. Setelah berkata demikian, Diajeng Sekar Laras memejamkan matanya, mulutnya komat kamit karena sedang merapal sebuah mantra. Tiba-tiba cahaya putih yang disertai asal tipis membungkus tubuhnya. Lalu sesaat kemudian, si ninik-ninik peot lenya
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.