Share

PART 05

Author: Emde Mallaow
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

      “Ceritakanlah pada saya, Nimas, siapakah sesungguhnya Nimas ini dan mendiang suami Nimas, biar saya sedikit tahu asal-usul orang yang ada bersama saya saat ini. Itu pun jika Nimas Sekar Laras tak keberatan,” pinta Ki Jagadita tanpa menoleh pada Diajeng Sekar Laras, namun pandangan matanya diarahluruskan ke depan, sehingga ia seolah-olah tengah berbicara kepada hamparan tanaman padinya yang terhampar menghijau.

      “Bagaimana saya bisa keberatan atas permintaan orang yang paling berjasa dalam hidup saya dan anak saya, Ki Jagat?” jawab Diajeng Sekar Laras dengan wajah sedikit menoleh ke samping tapi tak memandang ke wajah Ki Jagadita. “Mendiang suami saya adalah seorang adipati, Ki Jagad. Namanya Adipati Wirajaya. Mendiang adalah adipati baru di sebuah kadipaten yang bernama Sendang Sewu. Semalam itu justru kami sedang dalam perjalanan menuju daerah tugas beliau yang baru itu. Malang sekali nasib suami saya, Ki Jagad. Huks...” Kesedihannya pun terasa kembali dalam hatinya.

      “Nimas Sekar Laras harus tabah dengan semua yang telah digariskan oleh Sang Hyang Maha Agung. Semua kita akan kembali untuk menghadapNya pada waktunya. Hanya caranya yang beda pada setiap manusia. Yang sama hanya satu hal itu, bahwa kita pasti akan kembali padaNya!” Ki Jagadita mencoba membesarkan hati wanita yang duduk di samping dengan kalimatnya yang bijak.

     “Iya, Ki Jagad. Andaikata tak ada Ki Jagad, tentu nasib saya dan putra saya tak jauh berbeda dengan mendiang suami saya.”

     “Saya hanyalah perantara yang digerakkan oleh Sang Hyang Maha Agung untuk menyelamatkan Nimas dan Angger Anom. Andaikata tak ada saya, tentu saja ada manusia lain yang akan dikirimkan oleh Sang Hyang Maha untuk menyelamatkan Nimas dan putra Nimas. Sang Hyang Maha Agung tentu punya selaksa cara untuk menyelamatkan atau pun mencelakakan hambaNya,” ucap Ki Jagadita lagi dengan tetap bersikap merendah dan santun.

      “Ki Jagad benar-benar orang yang sangat bijak,” Puji Diajeng Sekar Laras sembari menyeka air matanya dengan ujung jarik yang dikenakannya.

   “Kebijakan sejati itu hanyalah milik Sang Hyang Maha Agung, Nimas,” ujar Ki Jagadita sembari menoleh kepada Diajeng Sekar Laras. Satu senyum terlukis di sudut bibirnya. “Sekarang lanjutkan cerita Nimas, mungkin tentang Nimas sendiri.”

    “Sa-saya adalah adik kandung dari Ratu Ageng Sekar Arum, maheswarinya Baginda Nararyawardhana, Raja Kerajaan Palingga,” Diajeng Sekar Laras lanjut bercerita.

        Mendengar itu membuat Ki Jagadita sontak mengangkat wajanya, dan sesaat ia menatap wajah wanita di sampingnya. “Duh  Gusti, saya sangat tersanjung karena telah diutus untuk menolong seorang wanita yang mulia,” ucapnya.

       “Janganlah berlebihan, Ki Jagad. Kita manusia sama saja,” ujar Diajeng Sekar Laras dengan wajah tersipu malu. “Sekarang giliran Ki Jagadi bercerita,” pintanya pula.

      “Tak ada yang istimewa tentang saya yang bisa saya ceritakan, Nimas Sekar Laras,” sahut Ki Jagadita merendah. Atau lebih tepatnya mencoba mengelak.

       “Tapi menurut firasat saya, Ki Jagad bukanlah laki-laki pelosok asli, tetapi memiliki kisah masa lalu yang juga membanggakan,” ucap Diajeng Sekar Laras.  “Ceritakalah, Ki Jagad, biar adil.”

       Ki Jagadita memandangi wajah Diajeng Sekar Laras sambil mengangguk-angguk pelan. “Hm, baiklah, Nimas Sekar Laras,”  ucapnya akhirnya. “Saya adalah keturunan campuran dari dua negeri besar, yaitu Andalas dan Jawa. Rama saya adalah seorang pembesar di Kerajaan Sriwijaya dan Ibu saya wanita bangsawan Jawa dari keraton Kalingga. Ketika saya berusia seperti Angger Anom, kedua orang tua saya berpisah, ibu saya memutuskan untuk kembali ke Kalingga. Saya waktu itu memilih untuk ikut ke Kalingga ketika rama saya memberi saya pilihan.”

      Ki Jagadita menghela nafas panjang, lalu lanjutnya, “Di Kalingga sejak kecil saya giat mendalami ilmu beladiri dan olah kanuragan di bawah gemblengan beberapa orang guru yang merupakan pendekar-pendekar dari Kalingga sendiri maupun berasal dari luar negeri Kalingga. Setelah berusia dua puluh lima tahun saya mengabdi sebagai anggota pasukan Kerajaan Kalingga. Perjalanan nasib saya terlalu mujur. Dalam waktu sepuluh tahun saya berhasil masuk dalam jajaran pembesar dalam  tubuh angkatan perang kerajaan. Saya menikah dengan salah seorang putri kedaton, namanya Ratna Tunggadewi. Dia wanita yang cantik dan baik budi pekertinya.”

       Ada sedikit kedukaan yang tiba-tiba bergelayut di wajah Ki Jagadita. Ia kembali menghela nafas panjang. “Sampai suatu saat, kerajaan diserbu oleh pasukan Kerajaan Sriwijaya. Saat itu saya berada dalam kebingungan yang luar biasa.  Seolah-seolah berada di sebuah persimpangan jalan. Jika saya membela Kalingga, berarti saya harus memerangi kerajaan di mana saya berasal dan ayah saya mengabdikan diri di dalamnya. Jika saya berdiri di pihak barat, itu lebih tak mungkin lagi. Tak mungkin saya memerangi negeri saya sendiri. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan saya. Berdua dengan istri saya, kami memutuskan untuk keluar dari kotaraja, lalu menyingkir jauh ke tempat terpencil ini. Kami sempat menikmati hidup bahagia di tempat ini hampir dua tahun. Saat itu kami hampir memiliki anak. Tetapi saat  kandungan istri saya baru berusia empat bulan, ia mengalami keguguran akibat terpeleset di halaman padepokan, dulu masih pondok, akibat tanah licin setelah hujan sebelumnya. Dia mengalami pendarahan yang banyak.  Saya terlambat memberinya pertolongan karena waktu itu saya sedang berada di sini, membuat pagar lahan ini. Baru beberapa saat saya sampai di pondok, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.”

       Ki Jagadita sesaat terdiam dan mengusap-usap dahinya.

     “Berarti...jarik dan baju yang saya pakai ini adalah pakaiannya mendiang...?”

      “Benar sekali,” potong Ki Jagadita. “ Pakaian itu sejak ia tiada saya menyimpannya dengan baik, dan setelah ada wanita yang membutuhkannya sekarang, saya jadi ingat. Perawakan kalian berdua sama, saya rasa.”

      “Dengan melihat pakaian ini tadi pagi, saya langsung punya firasat bahwa Ki Jagat bukanlah asli laki-laki pelosok seperti ini. Jenis pakaian ini hanya bisa dimiliki oleh wanita-wanita dari kalangan bangsawan tinggi,” ucap Diajeng Sekar Laras.

      “Begitulah,” sahut Ki jagadita. “Setelah dia tiada, perasaan saya begitu sepi dan merana. Lalu saya sempat meninggalkan tempat ini selama beberapa bulan dan membangun sebuah padepokan sederhana.”

       “Lalu Diandra dan Gayatri itu siapa, Ki...?”

       “Keduanya adalah anak dari kemenakan laki-laki saya dari jalur biung saya. Kemenakan tapi usia kami terpaut sedikit. Kedua orang tuanya tewas dalam penyerbuan oleh pasukan dari barat itu. Seperti yang barusan saya cerita, saya sempat meninggalkan tempat ini beberapa bulan dan kembali ke kotaraja. Saya mengunjungi sepupu saya itu, dan ternyata sudah tewas. Keduanya diasuh oleh pelayan di rumah mereka. Saya lalu memutuskan untuk membawa keduanya ke mari. Saat itu Diandra baru berusia dua tahun lebih dan Gayatri berusia satu tahun. Karena mereka adalah anak-anak dari kemenakan saya, maka mereka memanggil saya sebagai kakek.”

       “Ternyata kisah hidup Ki Jagad pun tak kalah menyedihkan ya daripada kisah hidup saya? Kita kehilangan orang yang kita cintai sebagai imbas dari keserakahan dunia. Lalu kita berdua bertemu di tempat ini,” ucap Diajeng Sekar Laras dengan suara seperti mengguman dengan pandangan kosong ke depan.

       “Yaah, semuanya tak lepas dari rencana Sang Hyang Maha Pengatur Kehidupan, Nimas. Kita ikuti saja alur ceritanya seperti  mengalirnya air sungai. Perjalanan hidup kita semua pasti akan sampai pada sebuah muara yang namanya kematian. Karena itu, Nimas, semasih nafas kehidupan kita masih mengalir, maka mengalirlah yang baik seumpama anak sungai tadi, tanpa mengusik bebatuan maupun lelumutan. Karena memang hidup ini tujuannya hanya untuk menjalankan darma dan kewajiban pada sesama manusia, alam, dan Sang pencipta.”

       Diajeng Sekar Laras mendengarkan dengan baik kata-kata bijak dari laki-laki yang duduk di sampingnya, dan meresapinya ke dalam pikirannya. “Iya, benar sekali, Ki...!”ucapnya pelan, lalu sebuah senyuman kecil menghiasi bibir indahnya.

Related chapters

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 06

    Seiring berjalannya waktu, suasana hati dan pikiran yang dirasakan oleh Diajeng Sekar Laras sudah semakin stabil dan normal kembali. Berkat bimbingan spiritual dari Ki Jagadita, ia pun telah mampu menerima peristiwa yang dialami oleh keluarganya sebagai sebuah takdir dan garis nasib yang sudah ditetapkan oleh Sang Hyang Maha Agung. “Setiap manusia membawa garis nasib di tangannya masing-masing, Nimas,”nasihat Ki Jagadita suatu hari. “Seseorang menjadi pemimpin dan kawula itu juga sudah ada sebelum ketiadaan. Kita hidup dalam keadaan bagaimana, dan menjadi apa, entah menjadi pedagang, petani, nelayan, serta di mana kita akan hidup dan mati, bahkan siapa jodoh kita, itu sudah ditetapkan semuanya. Manusia yang baik adalah, mereka yang mampu menerima setiap ketentuan dan garis nasib itu dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Rasa kecewa dan duka itu, adalah hal yang sangat

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 07

    Kitab Dewa Galap sejatinya adalah kitab wasiat yang berasal dari alam jin, karena diturunkan oleh seorang baureksa sakti di kalangan bangsa jin yang bernama Ki Baureksa Galap Ngampar kepada muridnya yang bernama Pendekar Galap Ngampar. Pendekar Galap Ngampar mewariskan kitab tersebut kepada muridnya yang berjuluk Pendekar Galap Ngampar. Selanjutnya Pendekar Galap Ngampar merupakan kitab tersebut kepada muridnya yang bergelar Dewa Cambuk Halilintar, yang tak lain adalah Ki Jagadita. Ki Baureksa Galap Ngampar adalah putra dari Ki Baureksa Jagat. Kepada muridnya Ki Baureksa Jagat menurunkan sebuah cambuk sakti yang bernama Cambuk Halilintar. Artinya, kedua benda wasit itu memiliki keterikatan satu sama lain, dan berasal dari sumber yang sama, yaitu ayah dari Ki Baureksa Galap Ngampar yang bernama Ki Baureksa Halilintar Jagat, yang merupakan kakek dari Ki Baureksa jaga

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 08

    “Horeee....!” Diandra, Gayatri, dan Raden langsung berseru kegirangan sambil berjoget-joget ketika puluhan laki-laki jahat itu lari kocar-kacir oleh mereka. Ki Jagadita dan Diajeng Sekar Laras hanya tertawa dan menggeleng-geleng melihat perilaku ketiganya. Ki Jagadita bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada Diajeng Sekar Laras, “Berlatihlah Nimas bersama anak-anak...” “Ki Jagad mau ke mana?” “Saya mau lihat ladang. Sudah beberapa hari saya tak ke sana.” “Saya ikut, Ki!” &ld

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 09

    Tak terasa, dua tahun Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, tinggal bersama Ki Jagadita. Sepanjang waktu itu, keduanya digembleng oleh sang pendekar besar super sakti itu siang dan malam, bersama Diandra dan Gayatri. Untuk ukuran dan pandangan awam, ilmu dan kesaktian mereka sudahlah sangat tinggi. Namun bagi pandangan seorang pendekar besar seperti Ki Jagadita, para muridnya itu baru berada pada taraf menengah untuk ukuran seorang pendekar besar seperti dirinya, walaupun keempat muridnya itu telah menguasai jurus-jurus tingkat rendah, menengah, hingga jurus-jurus pamungkas darinya. Sebab, keempatnya baru menguasai ilmu benteng luar saja, jurus-jurus ilmu kanuragan, tetapi belum digembleng dengan ilmu benteng dalam berupa jurus-jurus ilmu tenaga dalam dan kelinuwihan.

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 10

    Saat keduanya memasuki ruangan goa yang luas itu, mereka disambut oleh cahaya kerlap-kerlip dari sejenis batu-baru kristal yang menempel di dinding-dinding goa. Cahaya dari batu-batu itu menjadi alat penerang alami bagi ruangan luas yang seharusnya gelap pekat itu. Diajeng Sekar Laras sangat takjub melihat pemandangan dalam gua itu. Sehingga saat masuk dalam ruangan alam itu tak membuat perasaan Diajeng Sekar Laras merasa was-was. Bahkan ia seolah-olah sedang berada di sebuah taman khayalan yang indah. “Mari, Nimas, kita ke ruangan goa yang dalam lagi,”ucap Ki Jagadita langsung melangkah ke ujung ruangan pertama goa lalu melewati sebuah jalan berupa pintu masuk. Diajeng Sekar Laras langat kaget, karena ternyata dalam ruangan kedua itu lebih luas lagi dan sang

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   Part 11

    Dalam waktu sekejap keduanya pun telah sampai di belakang padepokan. Saat itu Diandra, Gayatri, dan Raden Anom sedang menyiapkan makan malam untuk mereka. Berbagai ikan air tawar bakar dan berkuah terhidangkan di atas tikar pandan sebagai lauknya. Aroma makanan yang disiapkan oleh para juru masak cilik itu langsung membuat perut Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita terasa lapar. “Kalian bertiga benar-benar anak-anak yang pintar,” puji Diajeng Sekar Laras sembari mengambil tempat duduk di atas tikar makan. “Berarti kalian bertiga menangkap ikan di sungai ya tadi?” “Iya, Biung,” jawab Gayatri. “Dan semua ikan-ikan ini hasil tangkapan Dik Anom. Dia sudah selihat kamu untuk mengejar ikan-ikan di dasar lubuk.” “Bag

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 12

    Ternyata di atas batu besar itu ada empat orang yang sedang duduk dan tiduran sambil ngombrol. “Siapa mereka, Kang Mas..?” desis Diajeng Sekar Laras. “Untuk memastikannya, kita dekati saja mereka untuk mendengarkan perbincangan mereka,” Ki Jagadita melangkah mendekati batu besar itu sambil memegang tangan istrinya. Karena orang-orang itu tak bisa melihat mereka karena wilayah sekitar itu hingga padepokannya sudah dilindungi dengan ilmu Halimun Jagat. “Apakah kauyakin yang membawa lari istri dan anak dari mendiang Adipati Wirajaya itu adalah sosok manusia? Jika dia manusia, lantas di mana ia membawa pergi wanita dan anaknya itu...?” bertanya salah seorang dari keempat laki-laki itu entah kepa

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 13

    Hanya sepeminum kopi Diajeng Sekar Laras telah memasuki kota raja. Ibu kota Kerajaan Palingga merupakan sebuah kota yang yang sangat ramai dan luas. Denyut kehidupan masyarakat kotanya berlangsung di hampir setiap sudut kota. Sebelum melanjutkan perjalanannya menuju istana raja, Diajeng Sekar Laras akan beristirahat dulu barang sesaat sembari membasahi tenggorokannya dengan minuman yang segar dan mengisi perutnya dengan makanan. Tadi di padepokan ia sampai lupa untuk mengisi perutnya dulu, sebagai imbas dari keresahan hatinya akibat memikirkan kakaknya, Ratu Ageng Sekar Arum, yang sedang sakit keras. Tetapi saat ini, ia benar-benar merasakan sangat haus dan lapar. Maka ia harus menemukan sebuah warung makan dulu. Tetapi sebelum itu ia tak lupa merubah sedikit penampilannya dengan Ilmu Malih Rupo. Tampilan wajah dan perawakannya l

Latest chapter

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 88

    Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 87

    “Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 86

    Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 85

    Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 84

    “Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 83

    Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 82

    Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 81

    Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan

  • PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR   PART 80

    Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.

DMCA.com Protection Status