Di depan altar kuno yang berlumut dan dikelilingi oleh pepohonan besar, ketiga sahabat itu berdiri berhadapan dengan segel terakhir yang harus mereka perkuat. Setelah melewati banyak rintangan dan menghadapi makhluk kegelapan, mereka tahu bahwa tugas mereka belum sepenuhnya selesai. Hanya dengan menguatkan segel ini, mereka bisa memastikan bahwa kegelapan tidak akan pernah kembali.Arif, Danu, dan Lila saling memandang, menyadari bahwa ini adalah saat penentuan. “Kita sudah sampai di sini,” kata Arif, menatap kedua sahabatnya. “Semua yang kita lakukan akan bergantung pada momen ini. Kita harus bersatu dan memperkuat segel ini.”“Benar,” jawab Lila, mengangguk. “Kita telah berjuang bersama, dan kita akan menyelesaikan ini bersama. Mari kita lakukan dengan hati yang penuh keberanian!”Danu tersenyum, merasakan semangat di antara mereka. “Bersiaplah. Kita sudah melewati banyak hal. Kita tidak boleh gagal sekarang.”Ketiga sahabat itu mengulurkan tangan mereka, menciptakan lingkaran di se
Setelah sekte gelap dihancurkan dan para pengikutnya tercerai-berai, Pendekar Buta kembali ke Lembah Hantu. Suasana di lembah itu lebih sunyi dari biasanya, seolah berduka atas pertempuran besar yang baru saja terjadi. Meski sekte gelap telah dikalahkan, rasa lega tak pernah benar-benar mengisi hati Pendekar Buta. Ada yang masih mengganggunya, bayang-bayang masa lalu yang belum sepenuhnya terungkap.Malam di Lembah Hantu selalu gelap, dikelilingi oleh kabut tebal yang tak terpecahkan. Pendekar Buta berdiri di tepi jurang, merasakan angin lembut yang membawa aroma dedaunan basah. Di bawah sana, arus sungai yang deras terdengar samar-samar, mengingatkannya pada malam ketika ia menemukan gurunya dulu, tersembunyi di kedalaman lembah ini.Sahabat lamanya, Galing, yang terluka parah dalam pertempuran terakhir, masih belum sadarkan diri di salah satu gua persembunyian. Beberapa rekan pendekar yang tersisa sibuk merawat Galing dan menyusun rencana untuk kembali ke dunia luar. Namun, Pendekar
Kabut pagi mulai menipis ketika Pendekar Buta dan Sri Langit meninggalkan Lembah Hantu. Udara masih dingin, tetapi cahaya matahari yang mulai menembus perlahan memberikan kehangatan di punggung mereka. Perjalanan ini bukanlah perjalanan yang mudah. Mereka tak tahu pasti ke mana harus menuju, tetapi informasi yang Pendekar Buta temukan di gulungan gurunya memberikan petunjuk awal—mereka harus mencari tahu lebih banyak tentang kelompok rahasia yang disebut Bayangan Hitam.“Apa kau yakin kita bisa menemukan mereka?” tanya Sri Langit sambil terus berjalan di sampingnya. “Bayangan Hitam bukanlah kelompok yang bisa dilacak begitu saja.”Pendekar Buta tidak segera menjawab. Meskipun dia tidak bisa melihat, langkah kakinya mantap, dan setiap gerakannya terasa seolah dia tahu persis di mana dia berada. Ia telah menghabiskan hidupnya belajar untuk merasakan dunia dengan cara yang tidak bisa dipahami orang lain. Namun kali ini, bahkan dia merasa ragu. Bayangan Hitam adalah ancaman yang berbeda—m
Langit di atas gunung tertutup awan kelabu, seolah memberi pertanda buruk bagi perjalanan Pendekar Buta dan Sri Langit. Angin dingin yang bertiup kencang menambah ketegangan dalam hati mereka. Meski Pendekar Buta tidak bisa melihat, ia bisa merasakan ada sesuatu yang ganjil di udara. Sejak mereka meninggalkan desa kecil itu, firasat buruk semakin menguat dalam dirinya.“Apakah kita benar-benar harus ke kuil itu?” tanya Sri Langit, yang tampak sedikit ragu saat menatap jalan curam di depan mereka.“Kita harus,” jawab Pendekar Buta tegas. “Jika Bayangan Hitam memang ada di sana, ini adalah kesempatan terbaik untuk menemukan mereka. Semakin lama kita menunggu, semakin besar ancaman yang akan datang.”Sri Langit mengangguk, meski raut wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran. Jalan yang mereka tempuh semakin terjal, dipenuhi dengan batu-batu besar dan pepohonan yang akarnya mencuat ke permukaan, seolah mencoba menghalangi langkah mereka. Sesekali mereka harus berhenti untuk mengatur napas,
Suara itu bergema dalam kabut, menggema di seluruh penjuru seolah berasal dari segala arah. Pendekar Buta dan Sri Langit terdiam sesaat, mencoba mencari sumber suara misterius itu. Bayangan Hitam bukan hanya sekelompok pendekar biasa; mereka jelas menguasai kekuatan yang melampaui dunia persilatan yang mereka kenal.“Kita harus keluar dari sini,” bisik Sri Langit dengan nada cemas. Ia bisa merasakan pusaran kabut yang semakin kuat, memerangkap mereka dalam kegelapan yang semakin pekat. Pedangnya terasa berat, tubuhnya perlahan terasa lelah. Energi di sekitarnya seolah diserap oleh kabut hitam ini.Pendekar Buta merasakan hal yang sama. Tenaga mereka semakin terkuras, dan dia tahu bahwa jika mereka tidak bergerak cepat, pertarungan ini akan berakhir sebelum sempat dimulai. “Kita harus memecah pusaran ini,” katanya tegas.Dengan cepat, Pendekar Buta mencoba merasakan setiap getaran di sekitarnya. Dia fokus pada gerakan angin, aliran kabut, dan denyutan energi yang terasa aneh. Matanya m
Pendekar Buta berdiri tegak, meski tubuhnya terasa lelah setelah pertarungan yang panjang. Dia dapat merasakan energi kegelapan dari sosok berkerudung yang masih berdiri di depannya. Sri Langit di sampingnya juga terlihat kelelahan, tapi sorot matanya masih penuh semangat bertarung. Meskipun mereka berhadapan dengan kekuatan yang tidak pernah mereka duga, menyerah bukanlah pilihan.Sosok pemimpin Bayangan Hitam itu tertawa kecil, suaranya bergema menembus kegelapan di sekitar mereka. “Kalian memang tangguh, tapi perlawanan kalian sia-sia. Kalian hanya menunda kehancuran yang tak terelakkan.”Sri Langit mencengkeram gagang pedangnya lebih erat. “Kita tidak akan menyerah!” serunya penuh keyakinan.“Seranganku belum berakhir,” gumam Pendekar Buta pelan, suara hatinya dipenuhi dengan tekad. Meskipun tidak dapat melihat, ia merasakan getaran halus dari energi musuh. Sejak pertarungan dimulai, ia fokus memperhatikan celah kecil yang tersembunyi dalam aliran kekuatan kegelapan itu. Dan kini,
Suasana di sekitar mereka terasa hening setelah pemimpin Bayangan Hitam terjatuh. Kabut yang tadi begitu pekat mulai memudar, dan udara terasa sedikit lebih ringan. Namun, baik Pendekar Buta maupun Sri Langit tidak merasa lega. Mereka tahu, kemenangan ini bukanlah akhir dari ancaman. Sesuatu yang lebih besar sedang mengintai, tersembunyi di balik semua yang baru saja terjadi.Sri Langit menghampiri tubuh pemimpin Bayangan Hitam yang masih tergeletak di tanah. Dia menarik napas dalam-dalam, matanya meneliti setiap detail sosok yang terbungkus jubah hitam. “Siapa dia sebenarnya?” tanyanya pelan, meski ia tak berharap ada jawaban yang mudah.Pendekar Buta tetap diam, tongkatnya terpegang erat di tangannya. Ia tidak bisa melihat, tapi seluruh inderanya tetap terjaga, mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka. “Ada sesuatu yang salah,” gumamnya pelan.Sri Langit menatapnya dengan penuh tanya. “Apa maksudmu?”Pendekar Buta berjalan pelan ke arah pemimpin Bayangan Hitam yang kini tak lagi b
Pertarungan di sekitar mereka semakin mencekam. Sosok bayangan besar itu melayang-layang di atas tanah, sementara udara semakin berat dengan energi kegelapan yang meresap. Pendekar Buta berdiri tegak, mencengkeram tongkatnya erat-erat. Ia tahu ini adalah ujian terberat dalam hidupnya. Di sisinya, Sri Langit, meski gemetar, bersiap dengan pedangnya, sorot matanya menunjukkan bahwa ia siap bertarung hingga akhir.Sosok bayangan besar itu menatap mereka dengan mata merah menyala. “Kalian berani melawan kegelapan abadi? Kalian hanya akan menjadi korban berikutnya,” suaranya menggema di seluruh medan pertarungan. Setiap kata yang diucapkan menggetarkan tanah, membuat batu-batu di sekitar mereka terpecah.Pendekar Buta tidak menanggapi. Sebaliknya, ia fokus mendengarkan suara-suara halus di sekitarnya, merasakan energi yang mengalir dalam bayangan. Di dalam kegelapan, ada pola, dan dalam pola itu, dia bisa menemukan celah. Itulah caranya selama ini menghadapi musuh yang tampaknya tak terkal