“Oh, saya pikir tadi Pak Freza mau mencari barang. Maaf kalau saya salah paham.” Rere segera merespon kalimat Freza.Mulut Freza sudah terbuka akan berbicara, saat Sesil tiba-tiba mendahuluinya.“Oh ya, Mbak Rere ditunggu kak Kevin di bawah. Dia di restauran bersama om dan tante. Karena sekalian antar aku ke sini, jadi dia jemput Mbak Rere saja sekalian. Mbak sudah siap?”“Su-sudah sih Non. Cuma … mmm ….” Rere melirik ke Freza lalu memandang ke Sesil lagi bergantian.“Yasudah, ayo! Cepetan! Hari ini kak Kevin ada rapat penting.” Sesil segera menarik tangan Rere untuk keluar kamar.Dalam pikirannya, dia juga ingin segera berduaan dengan Freza di sana. Jadi, jika Rere pergi, maka tidak ada yang mengganggu mereka.Bingung harus berbuat apa, ditambah Freza yang hanya terdiam, akhirnya Rere pasrah saat ditarik ke luar kamar.Sesil dengan penuh keceriaan memberi semangat bagi Rere untuk pekerjaannya hari ini. Dan dia pun berpesan agar bisa baik-baik dengan kakaknya.“Dia jomblo loh …. He he
Mendengar suara yang begitu dekat dengan mereka, sontak saja Freza dan Rere mengalihkan pandangan ke arah suara.“Kenapa dengan wajah kalian? Seperti melihat hantu saja. Aku hanya penasaran dengan kalimatmu tadi, Fre. Coba jawab, siapa kamu baginya?” Kevin berjalan mendekati keduanya yang masih terpaku di posisi mereka masing-masing.Lelaki itu harus mengulang pertanyaannya lagi untuk ketiga kalinya untuk membuat Freza dan Rere akhirnya tersadar. Dengan segera, Freza melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Rere.Begitu pula Rere, merapikan kembali bajunya yang sedikit berantakan.“Aku tidak punya jawabannya. Makanya aku tanya ke Rere. Itu saja,” jawab Freza sedikit ketus untuk menyembunyikan rasa gugupnya.Sama halnya dengan Rere. Wanita itu berkeringat dingin. Sangat kelu mulutnya untuk mengeluarkan jawaban.Dengan keras dia memutar otaknya untuk mencari kalimat yang mampu meredakan ketegangan saat ini. Tanpa menyebabkan masalah baru lainnya, tentunya.Kedua lelaki kini terdiam
"Kamu tahu? Pak Rumma bahkan akhirnya melepaskan proyek bernilai fantastis saat itu demi memperbaiki hubungannya dengan istrinya. Bu Silvia juga sampai rela merelakan sebuah karir mentereng di sebuah perusahaan saat itu, demi mendampingi suaminya. Luar biasa bukan? Itulah makna berkeluarga yang sesungguhnya. Bukan lagi tentang tujuanku atau tujuanmu, tapi tujuan bersama. Dan nyatanya, mereka bahkan lebih sukses sekarang." Kala itu, Hartini berbicara sambil terus memandangi kedua majikannya yang juga sedang bersantap di meja berbeda. Sedangkan Rere, hanya terdiam mencerna semua cerita Hartini yang membuat hatinya begitu tersentuh. Apakah dirinya dan Freza bisa dikatakan sebagai keluarga? Bagaimana mungkin mereka mengikat janji atas nama Tuhan hanya untuk mengarungi kehidupan yang tidak jelas seperti ini? Malam semakin larut, dan Rere tertidur di atas sofa setelah mengingat banyak nasihat Hartini saat makan malam tadi.*** Pagi-pagi sekali setelah solat subuh, Rere sudah bersiap-sia
Lutut Rere gemetar, dan dadanya sesak. Takdir selalu menempatkannya di posisi sulit akhir-akhir ini. Terutama yang berkaitan dengan suaminya.Tidak perlu waktu lama, Freza sudah memutar wajahnya untuk memandang Rere. Wajahnya terpaku saat melihat dandanan istrinya yang tidak biasa. Sungguh anggun dan cantik, walau belum menaburkan make-up di wajah.Merasa tidak dihiraukan, Rowena menarik pipi Freza untuk kembali memandangnya. Belum sempat sang nenek mengeluarkan suara, wajah Freza kembali memandang Rere secara otomatis.“Freza! Kenapa kamu tidak menghiraukan eyang?” Kini kedua lengan Rowena dilipat di depan dadanya.“Ah, eyang. Maaf maaf. Aku seperti tersihir barusan.” Freza memalingkan wajahnya sambil tertawa dan kini memandangi sang nenek.“Mbak Rere cantik sekali. Gaunnya juga indah,” puji Sesil.“Sudah-sudah, tidak perlu hiraukan dia. Kalian ke sini mau mengobrol dengan eyang, kan?” Lagi-lagi Rowena merajuk. Dengan otomatis Freza dan Sesil kembali berfokus pada sang nenek.Melihat
Rowena beberapa kali mendengkus karena Rere tidak kunjung datang. Wanita tua itu menanti kedatangan Rere, tidak seperti biasanya.Semakin sering dia ditinggal Rere untuk pekerjaan lain, semakin dia merindukan perawatnya itu.“Ternyata semakin Rere sering tidak ada, semakin terasa bahwa dia yang paling bisa merawatku.” Mata Rowena memandang keluar jendela sembari tubuhnya duduk di atas kursi roda.Nenek Freza sudah terlihat segar setelah tidur sebentar tadi, setelah acara penyambutan tamu asing. Lalu seorang perawat lain membantunya untuk bebenah diri setelah terbangun.Sejak terakhir acara tadi, dia belum melihat Rere. “Mungkin dia masih menegerjakan persiapan untuk makan malam nanti. Yasudah lah.”Bahkan hingga bersiap-siap untuk makan malam pun, Rowena dibantu oleh seorang penata gaya, dari rambut hingga pakaian.Rere belum terlihat masuk ke dalam kamar, padahal dia pun seharusnya sudah mulai bersiap.***Pintu terbuka dari luar, saat seorang wanita memasuki kamar hotel. Wajahnya be
“Sepertinya tamu asing itu belum datang?” tanya Ivo kepada Freza yang duduk di sebelahnya.“Menunggu tamu asing itu sepertinya.”Ivo menoleh ke kiri dan kanan seakan mencari seseorang. “Aku juga belum melihat orang tuamu.”“Mungkin mereka belum selesai bersiap.” Freza mengambil gelasnya dengan santai, lau meminumnya.Acara malam ini tidak dipadati banyak tamu, tetapi terasa begitu indah dan dipersiapkan dengan sangat baik. Banyak bunga segar tersebar di dalam ruangan.Beberapa orang berdiri di dekat meja kudapan untuk memakan makanan-makanan kecil sambil menunggu acara utama dimulai.“Kamu tahu, saat kita memenangkan proyek kemarin itu, terlihat Kevin sangat tidak senang.” Ivo tertawa sambil menatap Freza.“Aku tahu.”“Aku penasaran. Bagaimana bisa proposal bisnis kita sedikit berbeda dari yang terakhir kita sepakati di rapat?” tanya Ivo lebih serius kali ini.“Ah, itu. Saat malam aku memgeceknya lagi, terasa ada yang kurang. Jadi aku meminta Gina untuk menambahkan atau menghapus yang
Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan
“Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb