PEMBALASAN UNTUK SUAMI TAK TAHU DIRI (2)
''Kamu salah, Wulan ... apa kamu lupa? Satu tahun lalu, kamu sudah menandatangi surat yang pernah aku berikan ke kamu. Rumah ini sudah beralih nama atas namaku sendiri Hilman Hendrawan. Jadi kamu tidak berhak menggugat ataupun mengusirku dari rumahku sendiri.''
Degh!
''Apa?''
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Hilman. Apakah betul yang diucapkannya bahwa aku pernah menandatangi surat pemberian Mas Hilman satu tahun lalu? Tapi, masa iya? Bukankah selama ini, Mas Hilman tidak mengetahui di mana letak aku menyimpan barang berharga itu.
''Kamu bohong, Mas. Setahuku, aku sama sekali belum pernah menandatangani surat apapun yang pernah kamu kasih.''
''Jika kamu nggak percaya, nggak masalah. Yang penting rumah ini sudah menjadi atas namaku dan aku berhak tinggal di rumah ini!'' Tegasnya dan langsung pergi sembari menutup pintu dengan keras.
Aku yakin, suamiku berbohong. Dia nggak akan mungkin berani memindahkan nama kepemilikan rumah ini, apalagi aku sama sekali enggak pernah merasa menandatangani surat apapun. Mungkin ia hanya mengancam supaya aku takut.
Sebagai seorang istri, ingin sekali rasanya dibahagiakan oleh suami. Bukan hanya materi saja, setidaknya jika Mas Hilman menunjukkan rasa sayang dan cintanya dengan cara perhatian aku sangat bersyukur.
Suara deringan ponsel seketika membuyarkan lamunanku, aku langsung mencari di mana letak benda pipih berada. Tak jauh dari tempat aku berdiri, terlihat jelas benda seperti ponsel terselip di balik bantal sofa. Rupanya ini adalah ponsel Mas Hilman. Aku lantas menatap layar dan ternyata kontak itu bertuliskan 'Bidadari'.
'Hah, bidadari? Siapa dia?' gumamku dalam hati.
Tanpa menaruh curiga, aku langsung mengangkat panggilan telepon tersebut.
''Kamu dari mana saja sih, kok baru sekarang ngangkat teleponnya?'' tanya suara wanita yang seakan marah dari seberang telepon.
Siapa dia?
Aku berusaha untuk tidak menjawab pertanyaannya. Aku ingin tahu, apa yang ingin ia ucapkan.
''Kenapa nggak di jawab? Jadi nggak kita ketemu? Aku ingin dinner romantis di restoran seperti kemarin,'' sahutnya lagi.
Diner romantis seperti kemarin? Apa jangan-jangan selama ini Mas Hilman ada main wanita di belakangku?
Pantas saja, selama ini dia selalu acuh dan jarang betah di rumah. Sekarang aku paham, kontak yang bernama 'Bidadari' ini siapa. Aku ingin tahu seberapa cantiknya dia hingga Mas Hilman menamai kontak wanita ini 'Bidadari'.
Aku pun lantas mematikan sambungan telepon secara sepihak. Biarlah, biar wanita itu tahu diri bahwa Mas Hilman sudah memiliki istri dan anak.
Sekarang aku melangkah meninggalkan kamar bermaksud mencari keberadaan Mas Hilman, semoga saja ia belum pergi dari rumah.
''Bagus! Ibu setuju. Seharusnya dari dulu kamu berbuat nekad seperti itu, Wulan pasti nggak akan mungkin curiga.''
Tiba-tiba langkah kakiku terhenti ketika aku mendengar Ibu berbicara. Terlihat, Mas Hilman pun ada dan nampaknya mereka tengah mengobrol tentangku.
''Betul, Bu. Wulan memang sangat polos. Aku pun nggak menyangka bisa semudah itu mendapatkan barang berharga itu,'' ujar Mas Hilman.
Barang berharga? Maksudnya apa? Apa jangan-jangan yang dimaksud adalah sertifikat rumah ini?
''Barang berharga apa yang dimaksud kalian?'' tanyaku sehingga membuat mereka terkejut.
''Wulan ... sejak kapan kamu ada di sini?'' tanya Mas Hilman. Wajahnya terlihat cemas.
''Aku barusan mendengar obrolan kalian. Kenapa kamu menyebut aku polos dan barang berharga apa yang kamu maksud?'' tanyaku lagi.
Mas Hilman bangkit, dia menghampiriku. ''Aku sama sekali nggak mengatakan itu, kamu mungkin salah dengar. Ya, 'kan, Bu?'' ujarnya sambil menatap ke arah Ibu.
''Betul, Wulan. Kamu salah dengar, kami sama sekali nggak membicarakan kamu.'' Timpal Ibu terbata-bata.
''Jangan bohong! Kamu pikir aku bodoh! Asal kamu tahu, Mas. Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi kamu, ya. Bisa nggak sih kamu terbuka. Tolong jujur!''
Aku sama sekali nggak mempercayai ucapan Mas Hilman dan Ibu. Mereka mungkin telah bersekongkol di belakangku.
''Jaga bicaramu, Wulan. Tidak pantas kamu bicara seperti itu! Kamu itu cuma wanita polos yang nggak mengerti apa-apa.'' Dia marah. Padahal seharusnya aku yang harus marah karena dia sudah menjelekan aku di hadapan ibunya.
''Justru kamu yang harus jaga bicara. Sudah selingkuh, ngomongin kejelekan istri pula. Terus tadi kamu bilang aku polos dan sebut barang berharga. Maksudnya apa coba?'' sahutku nggak mau kalah.
''Selingkuh apalagi maksudmu, Wulan? Apa kamu nggak capek setiap hari kita berantem terus. Seharusnya kamu mikir, sudah sempurna belum kamu sebagai seorang istri berbakti pada suami,'' celotehnya lagi.
Aku menggeleng dan tersenyum sinis. ''Gini, sekarang aku tahu sama kamu Hilman Hendrawan. Kamu sudah sempurna belum menjadi seorang suami sekaligus imam yang terbaik untuk istri dan anak-anakmu, sudah pantas belum? Bisanya menasihati tapi kamu sama sekali nggak pernah mengkoreksi diri sendiri.''
''Kur4ng 4jar! Brengsek kau!''
Tiba-tiba, suamiku tak bisa menahan amarahnya. Dia melayangkan dua kali tamparan mengenai kedua pipiku. Tubuhku langsung terjatuh.
''Mama ....''
Tiba-tiba saja, Gadis—anak pertamaku datang. Dia menolong dan membantuku bangkit.
''Papa keterlaluan! Tega sekali sudah mendorong Mama!'' ujar Gadis marah.
Terlihat, tidak ada raut wajah penyesalan pada wajah Mas Hilman. Dia seakan nggak perduli, padahal sudah jelas-jelas dia sudah bertindak kasar terhadapku. Itu sudah dinamakan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
''Mama nggak apa-apa, kan?'' tanya Gadis khawatir.
''Nggak apa-apa, Gadis. Terima kasih, ya.'' Aku tersenyum.
''Papa kok tega mendorong Mama, memangnya ada masalah apa?'' tanya Gadis penasaran.
''Mungkin Papa nggak sengaja, Gadis. Sekarang kamu pergi ke kamar ya ganti baju.'' Gadis mengangguk. Dia pergi ke kamar.
Aku menarik nafas gusar. Ingin sekali rasanya membalas perlakuan Mas Hilman, tapi bagaimana caranya?
Tiba-tiba ponsel berdering. Aku menatap pada layar, ternyata Papa menelepon.
''Kamu di mana sekarang? Jadi ke sini?'' tanya Papa dari seberang telepon.
''Jadi, Pa. Sekarang aku ke sana.'' Panggilan pun langsung berakhir. Aku lantas pergi meninggalkan halaman rumah.
****
''Aku menyesal karena dulu nggak menuruti ucapan Papa, jika dulu aku nurut mungkin aku nggak akan pernah menikah dengan Mas Hilman,'' ucapku pada Papa. Air mataku tak henti menetes di pelukan Papa.
Saat ini, aku tengah berada di rumah kedua orang tuaku.
''Menyesal pun sekarang sudah nggak ada gunanya lagi, Wulan. Semuanya sudah terjadi. Apalagi kamu dan Hilman sudah memiliki anak tiga,'' ujar Papa.
Aku terdiam dan hanya bisa menangis sekarang. Aku mencurahkan semua keluh kesah yang aku rasakan kepada Papa. Selama ini, aku selalu menyembunyikan rasa sakit hatiku. Tapi sekarang, aku mencurahkan apa yang aku pendam kepada Papa.
Papa terlihat sangat marah dan emosi ketika mendengar Mas Hilman sudah bertindak kasar. Padahal, selama ini nggak pernah sekalipun kedua orang tuaku melakukan tindakan kasar seperti apa yang dilakukan oleh Mas Hilman hingga membuatku trauma.
''Oh iya, ada sesuatu hal yang ingin Papa bicarakan tentang kamu mengenai ... Bima. Kemarin dia datang membicarakan kamu, dia bilang hingga detik ini masih menunggumu,'' ujar Papa lagi. Aku resah mendengar nama itu disebutkan kembali, padahal aku sudah lama melupakannya.
Bima, laki-laki yang dulu pernah singgah di hatiku. Namun, hubungan kami harus berakhir dengan cara yang tidak kusangka. Bima mengkonsumsi minuman keras hingga dengan sengaja melakukan tindakan pem3rk0saan terhadap Dinar—sahabatku.
Saat kejadian itu, aku sama sekali nggak menyangka. Laki-laki yang sangat aku cintai tega melakukan hal bejad terhadap Dinar hingga persahabatan kami kandas. Sejak saat itu, aku mulai melupakan tentangnya dan bertemu dengan Mas Hilman—laki-laki yang menjadi suamiku kini.
Tahun demi tahun, tak pernah lagi aku mendengar kabar mengenai Bima dan Dinar. Tapi sekarang, Bima kembali datang dan mengatakan bahwa ia masih menungguku? Hah, ucapan laki-laki buaya darat memang seperti itu!
''Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Wulan. Bukankah kamu tidak bahagia dengan Hilman?''
Bersambung
Jangan lupa untuk subscribe dan follow akun author ya☺️
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (3)Tahun demi tahun, tak pernah lagi aku mendengar kabar mengenai Bima dan Dinar. Tapi sekarang, Bima kembali datang dan mengatakan bahwa ia masih menungguku? Hah, ucapan laki-laki buaya darat memang seperti itu!''Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Wulan. Bukankah kamu tidak bahagia dengan Hilman?'' ujar Papa yang seakan mendukung Bima.''Aku memang nggak bahagia dengan Mas Hilman, belum tentu juga aku mau bersama Bima, Pa. Lagipula apa Papa lupa tentang apa yang sudah Bima perbuat bersama Dinar?''Aku sama sekali nggak setuju dengan tujuan Papa. Bima adalah laki-laki yang dulu pernah menyakitiku, nggak akan mungkin aku mau kembali bersama dia. ''Iya, Papa ingat Wulan, tetapi bukankah itu dulu? Bima sudah menyadari kesalahannya dan sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Papa harap—"''Cukup, Pa! Berhenti mengatakan apapun tentang Bima. Setelah kejadian 11 tahun lalu, aku sudah melupakan tentangnya. Aku nggak mau lagi mengingat laki-laki br
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (4)''... Mulai detik ini, secara sadar aku menjatuhkan talak terhadapmu, Wulan Widya binti Sanusi. Kamu sudah bukan istriku lagi.'' Bagai tertancap pisau di dada, hatiku teramat sakit ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mas Hilman. Dia menceraikanku. ''Hanya masalah sepele kamu menceraikan aku, Mas? Oke, mulai detik ini juga aku sudah bukan lagi menjadi istrimu. Sekarang, keluar dari rumahku!'' Tubuhku bergetar ketika mengatakan hal barusan. Aku tak menyangka, pernikahan yang sudah dilalui selama sepuluh tahun berakhir begitu saja. Terlihat, raut wajah Mas Hilman tersenyum kecut. Dia memandang wajah tak suka. ''Kamu nggak akan bisa mengusirku dari rumah ini, Wulan. Sudah aku katakan kemarin bahwa rumah ini sudah menjadi milikku,'' ucapnya dengan sombong.''Tidak mungkin! Aku sama sekali nggak percaya apa yang kamu ucapkan. Kamu penipu! Pergi dari rumahku sekarang!'' Aku mencekal pergelangan tangan Mas Hilman dan membawanya pergi k
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (5)''Kamu kenapa datang-datang nangis?'' tanyaku heran.''Via, Ma. Barusan kejang-kejang dan sekarang masih ditangani oleh dokter.'' Gadis menjelaskan kedatangannya. ''Apa?''Aku terkejut mendengar anak sulungku yang mengatakan bahwa Via mengalami kejang dan sedang ditangani oleh Dokter. Tanpa fikir panjang, aku bergegas bangkit dan berlari ke arah ruang rawat Via yang tidak jauh dari masjid tempat aku melaksanakan shalat barusan. Sesampainya, aku lantas menatap dinding kaca yang di sana memperlihatkan seorang dokter ditemani dua suster sibuk menyelamatkan nyawa Via. Mereka terlihat panik ketika suara monitor menggema dengan kencang. Dokter berupaya menolong menggunakan alat pacu jantung agar kondisi jantung kembali normal. Aku heran, bukankah sewaktu aku meninggalkan Via shalat keadaanya baik-baik saja? Tapi kenapa sekarang keadaannya semakin parah? Bukankah anakku hanya mengalami benturan di kepala?Lima belas menit kemudian, Dokter keluar
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI Part 6 ''Maafkan aku, Pa. Setelah Mas Hilman mengucap talak kemarin, tanpa belas kasihan dia mengusirku dan anak-anak dari rumah ini. Aku kecewa dengan perlakuannya yang mengakibatkan Via masuk ke rumah sakit,'' jelasku memberitahu yang sebenarnya. ''Apa?'' Raut wajah Papa seketika terkejut. ''Via sekarang berada di rumah sakit, Pa. Sampai sekarang kondisinya belum siuman. Oleh karena itu aku pulang ingin mengambil pakaian Via untuk digunakan selama di sana, tapi ternyata di rumah ini Mas Hilman malah berselingkuh dengan wanita tadi,'' cecarku penuh kesal. ''Hilman memang laki-laki yang tidak tahu diri, sudah bersyukur dia memiliki istri sepertimu, malah tega berselingkuh dan berbuat jahat kepada anaknya. Kita harus lapor polisi agar Hilman mendapatkan balasan yang setimpal.'' Aku mengangguk menyetujui usulan Papa. Semoga saja dengan dipolisikan Mas Hilman segera menyadari kesalahan yang sudah ia perbuat. *** Kondisi Via akhirnya mulai
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI Part 7 Dengan bantuan dua orang tetanggaku, mereka bisa menggeserkan lemari ke samping. Terlihat, keramik putih yang dengan sengaja aku letakkan untuk menutupi brankas tidak lecek sama sekali. Dengan segara aku meraih keramik dan terlihat sebuah brankas terkubur di dalamnya. Secara hati-hati aku membuka brankas itu dengan pasword tanggal kelahiranku. Hingga pada akhirnya kotak itu berhasil terbuka. Akan tetapi, rasa tak percaya merasuk ke dalam jiwa dan ragaku. Seluruh sertifikat rumah beserta barang berharga lainnya telah menghilang. Aku terkejut, kenapa semua barang berharga milikku menghilang? Apa jangan-jangan Mas Hilman yang mengambilnya? Bukankah dia tidak mengetahui di mana aku meletakan sertifikat rumah? Jika memang Mas Hilman yang mengambil, apa mungkin betul yang dikatakannya mengenai tentang kepindahan nama kepemilikan rumah menjadi atas namanya dan dia juga mengatakan bahwa rumah ini sudah digadaikan? Astagfirullah ... kenapa aku
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI Part 8 ''Br3ngs3k! Keterlaluan si Hilman! Dia sangat kurang 4jar sudah berbuat hal itu kepada kamu!'' Papa marah, raut wajahnya kecewa. Aku hanya bisa diam, aku sendiri pun bingung sekarang mau melakukan apa. Terlebih, sertifikat sudah berada di tangan Juragan Amir. Tiba-tiba, Papa merasakan jantungnya sakit. Beliau meringis kesakitan. Tubuhnya pun terlihat lemah. ''Papa kenapa?'' Aku terkejut melihat Papa seperti itu, dengan cepat aku langsung memanggil dokter dan membawa Papa ke ruang perawatan untuk di cek kondisinya. ''Bagaimana kondisi Papa saya, Dok?'' tanyaku sesaat Dokter selesai memeriksa keadaan Papa. ''Jantung Papa anda melemah, sepertinya beliau harus dirawat inap di rumah sakit ini agar kondisinya membaik,'' saran Dokter. ''Lakukan apapun asalkan Papa saya sembuh, Dok.'' Aku memasrahkan Papa untuk dirawat di Rumah sakit ini. Aku tak ingin jika didiamkan keadaan Papa akan semakin memburuk mengingat Papa memiliki penyakit
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRIPart 9''Ada sesuatu hal yang ingin aku tanyakan terhadap kamu, Wulan,'' ucap Bima serius.''Sesuatu apa?'' ''Apa betul yang kamu katakan barusan kamu dan Hilman sudah bercerai? Ada masalah apa?'' tanya Bima penasaran. Aku menyunggingkan senyuman sinis, lalu melepaskan tangannya yang mencekal pergelangan tanganku. Rupanya itu yang ingin ia ucapkan. Hah, aku kira sesuatu yang penting!''Kamu nggak usah tahu mengenai permasalahanku, Bima. Hidupku aku yang menjalani, kamu jangan pernah mencampuri dengan menanyakan soal kandasnya rumah tanggaku,'' sentakku membuat Bima terdiam. Setelah mengatakan hal itu, aku berlalu pergi dari hadapan Bima. Dia hanya diam terpaku memandangku seolah-olah hatinya terasa sakit. Biarlah, biar dia menyadari dari kesalahan yang dulu ia lakukan. Mungkin dengan begitu, Bima nggak akan lagi mengusikku dan meminta aku untuk berhubungan lagi dengannya. Aku sadar, aku wanita lemah yang banyak sekali kekurangannya. Tetapi ak
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (10)Hinggapada akhirnya mobil yang kami tumpangi memasuki halaman rumah dua lantai. Aku tersenyum bahagia, sama halnya dengan ketiga anakku. Akan tetapi, perlahan raut wajahku berubah 180° ketika kedua mataku menangkap dua orang laki-laki dengan tubuh gagah berdiri seakan menunggu kedatangan kami. Siapa mereka?Mobil berhenti, kami bergegas keluar dari kendaraan roda empat ini. Dua orang yang bertubuh gagah itu pun langsung menghampiri kami.''Saya ingin bertemu dengan Pak Sanusi, apakah betul ini rumahnya?'' tanyanya berwajah sangar. ''Betul. Saya sendiri. Kalian siapa?'' tanya Papa.''Kami dari pihak bank diperintahkan untuk menagih cicilan uang yang belum anda bayarkan. Dimohon sekarang anda membayar atau rumah ini akan kami sita,'' ujarnya membuat kami terkejut. Jantungku berdetak lebih cepat tidak seperti sebelumnya. Aku nggak percaya Papa pernah meminjam uang ke bank sehingga debkolektor datang menagih ke rumah. Setahuku Papa sangat ant
Aku melangkah pelan bergegas membuka pintu, dan .....''Mas Tomi?''Aku menatap wajah suamiku dengan sedikit terkejut, rupanya yang mengetuk pintu adalah suamiku sendiri bukan seperti apa yang aku bayangkan.''Kamu kenapa?'' Tanya Mas Tomi heran.''Ah, nggak kenapa-napa kok, Mas,'' ucapku sembari terkekeh.Mas Tomi terdiam, dia melenggang dari hadapanku dan segera mencuci wajahnya.''Aku izin pagi ini mau pergi ya, Sayang,'' ujar Mas Tomi meminta izin.''Memangnya mau kemana sepagi ini, Mas?'' Aku kembali bertanya karena penasaran akan kemana perginya suamiku sepagi ini. Terlebih malam tadi kami tidak melakukan malam pert4ma yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri yang baru saja melewati proses ijab qobul kemarin, dan malah sekarang meminta izin untuk pergi?''Temanku ada yang meninggal,'' jelasnya lagi sambil menatapku dengan wajah serius.''Temanmu yang mana?'' tanyaku sembari menatap dengan pandangan dingin. Entah kenapa firasatku malah tertuju pada Bima.Ya, siapa lag
Hingga pada akhirnya ....Selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku terbuka. Sorot mataku menerawang pada sosok laki-laki yang berdiri sembari melayangkan senyuman tipis di sudut bib1rnya.“Bi—bima ....”Aku terperanjat karena keterkejutan dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Untuk apa Bima berada di kamar ini? Mas Tomi? Dia kemana? Kenapa yang datang bukan suamiku. Ada apa ini sebenarnya? Pertanyaan itu seakan melayang di atas kepalaku. Entah mengapa Bima yang tadi tidak datang ke acara pernikahanku, dia malah terang-terangan datang ke kamar ini. Mau apa dia? “Kenapa kamu bisa masuk ke kamar ini, haa?” tanyaku seraya menaikan nada bicara. Aku tak suka dengan kedatangannya yang main nyolonong masuk tanpa permisi. Apa dia nggak tahu kalau kamar ini akan menjadi saksi m4l4m pert4ma aku bersama Mas Tomi, yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Betul-betul tidak ada rasa malu. “Aku datang ke sini ingin melihat kamu betapa bahagianya menikah bersama laki-laki itu,” jelasnya sam
PoV Wulan“Bagaimana, Wulan, apakah kamu setuju dengan permintaan aku minggu lalu?” tanya seorang laki-laki, dia duduk sembari tersenyum berharap mendapat jawaban yang dia inginkan dari mulutku.Seminggu lalu, dia mencoba melamarku, lalu setelah itu, aku melakukan shalat istikhoroh agar mendapatkan jawaban atas apa yang aku doakan selama seminggu ini. Dan ternyata ....Akan tetapi, hatiku seakan tak mampu membohongi, aku takut menikah lagi dan gagal untuk yang kedua kalinya. Apalagi aku dan dia belum lama saling mengenal, aku tidak tahu karakternya seperti apa dan bagaimana. Aku selalu merasa bimbang menentukan pilihan.“Jawab, Ma, kenapa diam saja. Gadis sama adik-adik setuju kok kalau Mama mau menikah lagi,” pungkas anak pertamaku menimpali.“Iya, Wulan, mungkin sudah saatnya kamu mulai membuka hati dan menata kehidupan yang baru, Mama sangat berharap kamu bahagia, dan Mama pun setuju jika kamu menikah lagi,” ujar Mama menimpali, sama halnya seperti Gadis.Aku menatap ke sekeliling
Seketika itu, raut wajahku berubah, aku tak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat. Ternyata ....“Dinar?” Dinar menatap tajam ke arahku, sorot matanya seakan menahan penuh kebencian.“Aku akan melaporkan ke polisi kalau kamu yang sudah mencelakaiku, Bima,” pungkasnya berucap. Aku tidak tahu sejak kapan Dinar sudah sadarkan diri dari koma, saat sebelum kedatangan polisi bahkan setelah polisi pergi pun aku masih melihat Dinar dengan kedua matanya yang masih tertutup rapat.Apakah dia mendengar ucapanku barusan? Sepertinya iya. Apalagi melihat Dinar yang sengaja menjatuhkan gelas dan berucap bahwa akan melaporkan aku ke pihak kepolisian. Nggak bisa. Dia nggak akan mungkin bisa melapor, untuk bangun saja dia pasti akan sulit, apalagi sampai melapor langsung ke kantor polisi.“Maafkan aku, Dinar, aku nggak sengaja. Ini salah faham. Aku menyesal.” Aku berusaha memohon agar dia memaafkan aku. “Nggak sengaja katamu, hah? Kamu hampir akan membunuh aku, Bima, demi Tuhan, aku nggak ridh
Benar apa yang aku ucapkan, mungkin jika Mama tidak pamit kepada aku, aku tak akan berbuat senekad itu.“Maksud kamu apa bilang begitu, malah menyalahkan Mama?” tanya Mama seakan nggak terima. “Aku melakukan itu karena aku dapat kabar bahwa Mama diculik oleh seseorang. Aku sangka yang menculik itu adalah Dinar, jadi tanpa segan aku langsung datang ke rumahnya dan langsung menusukkan pisau ke arah perutnya.” Aku menjelaskan kronolongi yang sebenarnya.Sebagai laki-laki, aku tidak sejahat itu, aku masih punya hati nurani, apalagi sampai tega menyakiti orang lain. Namun, atas kesalahpahaman yang sudah terjadi, aku bahkan hampir akan membUnuH orang lain, aku merasa sudah menjadi orang jahat karena shdah hampir menghilangkan nyawa orang lain. Aku berharap Dinar kembali siuman, jika dia semakin drop dan nyawanya melayang, aku akan menjadi tersangka menjadi tahanan polisi. Apalagi tadi saat aku kembali ke rumah Dinar beberapa para tetangga hadir menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi. Mun
“Ada apa, Pak?” tanyaku pada Pak Anton dengan wajah yang sangat lusuh.“Nyonya, Pak Bos. Ternyata Nyonya sudah pulang ke rumah barusan,” ujar Pak Anton membuatku terkejut.Apa? Mama pulang? Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah dengan ngos-ngosan. Terlihat, Mama tengah duduk di ruang keluarga sembari menikmati cemilan yang berada di genggaman tangannya. Dengan perasaan heran yang menggebu di dalam hati aku langsung menghampiri dan duduk di samping ibu yang telah melahirkanku.“Mama dari kemarin kemana, kok nggak pulang?” tanyaku langsung mengintograsi. Mama pun langsung menatap ke arahku sejenak.“Mama itu kemarin habis liburan ke luar kota bareng temen Mama, nah sekarang baru pulang,” jelas Mama membuat dadaku seketika berhenti berdetak.Lalu apa tadi saat ada seseorang yang mengirimkan foto-foto Mama tengah disekap dan semua anggota tubuh nampak terlihat banyak lebam. Wajahnya sama persis seperti Mama. Dan, setelah mendapat pesan itu a
Tiba-tiba, terdengar nada pesan masuk ke aplikasi Whatsap milikku, aku menatap dengan heran pada pemilik nomer telepon yang begitu tak kukenali siapa karena tidak tersimpan di kontak telepon. Aku pun dengan heran lantas segera membuka dan melihat pesan yang dia kirim. Tiba-tiba dadaku seakan berhenti berdetak, kedua mataku melotot seperti ingin keluar dari kelopaknya. Tubuhku pun ikut meregang kaku ketika menatap beberapa foto Mama yang dikirim oleh dia. Terlihat Mama tengah berkurai lemas, wajahnya lebam ungu mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya yang seperti dihantam dan dipukuli oleh seseorang orang. Namun, ada seseorang yang begitu sangat kukenali di samping Mama, dia tersenyum kecut menghadap ke arah camera. Ternyata dia—“Astagfirullah. Mama?!”Br3ngsEk! Jadi dia orangnya! Bener-bener keterlalu4n. B14d4b. Dia ternyata sudah gil4, bisa-bisanya dia mencul1k dan meny3k4p mama kandungku sampai-sampai terluka seperti itu. Aku harus menemuinya sekarang juga sebelum nyawa Mama
POV BIMA“Akhirnya kamu sudah sadar, Mas, aku senang melihat kamu bisa siuman lagi,” ucap suara perempuan yang terdengar begitu sangat familiar. Dari suaranya dia terdengar begitu sangat bahagia.Secara perlahan, aku mulai membuka kedua mata dan langsung menatap perempuan yang berada di sampingku. Saat itu juga, bola mataku seakan hampir akan keluar dari kelopaknya, aku benar-benar terkejut saat tahu bahwa perempuan itu ternyata ....Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang sudah terjadi? Dan, apa yang akan dia lakukan terhadapku? Seketika pertanyaan itu mulai menggema di kepala. Aku takut dia akan melakukan sesuatu hal cara sehingga membuatku menderita. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku memandangnya penuh ketidaksukaan.“Aku di sini karena ingin terus menjaga kamu, Mas. Pasca kecelakaan minggu lalu sampai sekarang aku berada di sini menunggu kamu sadar dari masa kritis,” ujarnya menjawab.Aku menggeleng tak percaya, mana mungkin dia mau menunggu aku di sini selama itu, sementara se
“Jadi aku apa, Wulan, ayo teruskan?” ucap Tomi seakan penasaran ingin menantikan jawaban.“Aku insyaAllah siap ....”Tiba-tiba saja mulutku malah berucap seperti itu, nyatanya aku bimbang antara siap menerima pinangannya atau siap mengalami penderitaan seperti yang selalu kualami di pernikahan sebelumnya. Rasa trauma seakan membuatku diambang ketakutan, aku tak mampu lagi membayangkan bagaimana jadinya jika Tomi sama seperti Mas Hilman yang selalu membuatku menderita.“Kamu menerima lamaranku, Wulan?” Dia tersenyum girang. “Alhamdulillah ... akhirnyaa ...”Aku hanya terdiam memandangnya yang terlihat begitu senang padahal aku belum mengakatakan siap menjadi istrinya, tapi Tomi sudah merasa bahagia.Apa ini akhir dari perjuanganku setelah pasca perpisahanku dengan mantan suamiku?“Sebelum itu, aku ingin meminta untuk shalat istikhoroh terlebih dahulu, dengan begitu, semoga saja niat baik ini diberikan kelancaran, apakah kamu setuju?” ujarku padanya. Dengan sigap, Tomi langsung mengan