"Tidak perlu tahu siapa orangnya, yang penting Mbak Tania sembuh. Setelah ini saya akan memberikan beberapa doa dan amalan yang harus Mbak Tania lakukan agar terjauh dari hal-hal buruk," sahut Pak Isa dengan suara yang terdengar menyejukkan.
Aku menyimak dengan baik petuah dari lelaki berpeci hitam tersebut. Setelah menatapku sejenak, lelaki berpenampilan sederhana itu tersenyum dan kembali berucap, "nanti aku kirim beberapa doa dan sholawat yang harus Mbak Tania baca. Ikuti saja apa yang nanti tertulis di pesan," imbuhnya.Setelah itu Pak Isa dan Paman ngobrol, samar kudengar kedua lelaki baya itu membahas tentang pagar gaib rumahku. Kesempatan itu digunakan Adam untuk mendekatiku.Adam, aku hampir lupa untuk memperkenalkannya. Adam adalah teman sepermainanku. Bukan teman sekolah, karena walaupun satu kampung, dia tidak pernah satu sekolah dengan kami teman rumahnya. Orang tua Adam lebih senang menyekolahkannya di tempat yang berbeda. Entah apa alasannyaBibik dan Paman kembali datang setelah sholat magrib, pengganti orang tuaku itu belum tega membiarkanku sendirian di rumah. Kami menunggu waktu isya' datang dengan mengobrol ringan di teras. Saat sedang bercengkrama, kami bertiga serentak terdiam. Tiba-tiba perut terasa mual, saat indera penciuman mencium aroma busuk bercampur anyir. Sepertinya paman dan bibik juga merasakan hal yang sama. Kami saling menatap, tanpa ada yang bersuara."Masuk ke rumah, sambil baca dzikir dan sholawat," titah paman. Aku dan bibik menjerit, ketikan terdengar ledakan di atap rumah. Ya Allah, bahkan hari masih sore dan kejadian kemarin kembali terulang.Aku, paman dan bibik duduk di ruang tengah sambil berdzikir, setelah kami menyempatkan diri untuk mengambil wudhu.Hawa panas mulai memenuhi ruangan, mengalahkan kipas yang sedari tadi berputar. Keringat dingin mulai bercucuran sejalan dengan dzikir yang kulantunkan.Aku
"Siapa sebenarnya mereka?" tanya Mbak Yuni setelah sampai di rumah. Dahiku mengernyit. "Mereka?""Keluarga mantan suamimu?" sahutnya semakin membuatku tak mengerti ke arah mana pembicaraannya. Melihatku kebingungan, Mbak Yuni meneruskan ucapannya, "mereka mengirim sesuatu padaku. Jika tidak karena keprofesionalan, aku memilih nyerah menangani kasus ini. Anakku kena, Tania." Mendengar penuturan mataku membola, sementara kedua tangannya menutup mulut yang terbuka."Innalilahi," gumamku setelah meredam keterkejutan. "Untung suamiku ada di rumah. Sedikit banyak dia paham dengan hal seperti itu," imbuhnya dengan tatapan menerawang."Kamu yakin keluarga Mas Haris pelakunya?""Siapa lagi? Saat ini aku hanya megang kasusmu. Intinya, mereka ingin menggagalkan sidang yang akan berlangsung."Apa yang diucapkan Mbak Yuni hampir sama dengan apa yang diucapkan Pak Isa. Pelakunya ingin aku sakit aga
Setelah membaca pesannya, aku dan Mbak Yuni bergegas ke tempat yang sudah kami janjikan. Diantar oleh Adam yang sengaja menunggu kami.Hanya butuh waktu lima belas menit perjalanan kami sudah sampai. [Meja di pojok kanan] pesan itu masuk saat aku hendak turun dari mobil. Lalu sebuah foto menyusul pesan tadi. Mbak Yuni menautkan kedua alisnya saat aku menunjukkan foto yang barusan masuk."Ayo," ajaknya setelah sepersekian detik kami larut dalam pikiran masing-masing. Sementara Adam langsung pergi karena ada urusan, sebelumnya dia berpesan nanti dia akan kembali.Wanita yang postur tubuhnya mirip denganku itu duduk membelakangi arah masuk, jadi aku tidak tahu siapa dia.[Dia adalah bukti yang diminta Haris. Bawa dia ke rumahmu. Lindungi dia. Karena keselamatannya terancam. Bukan Haris dan keluarganya yang harus kamu waspadai, tapi istri barunya. Dia wanita yang cukup nekad, karena akan melakukan segala ca
Sengaja menghindar dari Tania agar dia tidak semakin terpojok dengan kedekatan kami. Semua ini sangat berat, bagaimanapun juga, kebersamaan yang terjadi diantara kami sudah memberi rasa yang berbeda di hati. Salah? Mungkin, aku tak akan mencari pembenaran atas apa yang kurasakan. Aku memang salah, mencintai wanita lain, ketika sudah terikat.Tania bukan wanita yang suka menggoda. Dia juga wanita yang tahu batasan. Kedekatan kami dulu, benar-benar karena terbiasa akibat terpaksa. Sinta, dia adalah orang yang membuatku mengagumi Tania. Istriku sendiri yang mengirimkan wanita padaku. Ini kedengarannya memang cukup gi la. Namun, itulah kenyataannya. Perlahan aku mulai menyukai pribadi Tania, diam-diam mengagumi sikapnya yang begitu menyayangi Haris, bahkan acap kali membuatku iri. Padahal hanya beberapa kali aku menemaninya dengan terpaksa. Hingga, prahara itu muncul akibat ulah Sinta. Gi lanya, lagi-lagi Sinta memaksaku untuk menghibur Tania, ternyata itu h
"Tolonglah, Mur. Siapa lagi yang mau menolong kami?" Ibunya Haris terdengar memohon."Masalahnya kami juga gak ada, Mbak. Rumah dan bengkelnya Wisnu sudah kami gadaikan untuk membayar dendanya Sinta. Memang benar-benar kurang ajar itu si Tania," geram ibu mertua. "Betul katamu, Mur. Bagaimana kalau kita matiin dia saja," usul ibunya Haris. Membuatku mengepalkan tangan karena menahan marah. "Kamu gila, Mbak! Sinta, Haris sudah di penjara. Kamu juga mau ikut masuk juga?" bantah ibu mertua. Rupanya pikirannya masih waras juga."Kamu beneran bodoh, apa pura-pura? Ya kita main cantik lah. Pergi ke Mbah Surip. Sakit hati, dukun bertindak," kelakar ibunya Haris."Ya ya ya, kenapa gak kepikiran ya," sahut ibu mertua. Setelah itu kakak beradik itu tertawa terbahak-bahak. Sejak saat itu, diam-diam aku selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Kemudian memberi informasi pada Tania. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia akan menganggap semua ini
Aku yakin dia adalah Mas Wisnu. Mata elangnya tak bisa membohongi. Bagaimana bisa jantungku seakan berhenti berdetak ketika tatapan kami beradu. Entah keyakinan dari mana, yang jelas aku benar-benar percaya jika dia adalah Mas Wisnu. Aku harus menelan kekecewaan setelah lelaki itu bergegas keluar, jika benar dia Mas Wisnu, itu artinya dia memang ingin menghindariku. Seolah tersadar dari khayalan, aku pun kembali meluapkan kegembiraan dengan memeluk Mbak Yuni, Ratna yang sengaja datang untuk memberi dukungan, juga Mbak Dina. Wanita yang telah membantuku itu dinyatakan tidak bersalah karena dia juga termasuk korban. Setelah pulang dari pengadilan, aku menyempatkan diri ke makan bapak dan ibu. Menceritakan semua yang terjadi, berkeluh kesah seolah mereka bisa mendengar dan akan membelai rambutku, sebagai tanda sayang seperti waktu kecil hingga remaja dulu.Dering ponsel menghentikan curahan hatiku. Gegas meraih benda pintar yang ada dalam tas selempang yang kubawa.Nama paman seolah me
"Ya Allah, ada yang bilang kalau sebenarnya yang ingin ditabrak itu Nyia. Ya Allah, siapa yang tega melakukan semua ini?""Maafkan aku, Bik," ucapku terbata diantara isak tangis. "Maafkan, aku, Bik." Tubuhku melorot, hingga bersimpuh di kaki wanita yang sudah menganggapku seperti anaknya sendiri itu."Bangunlah, Nyia. Kamu tidak bersalah, Nak. Semua ini sudah takdir," sahut bibik dengan suara bergetar, dan itu semakin membuatku merasa bersalah. "Bangunlah, semua ini sudah takdir." Lagi, bibik mencoba menghibur. Aku akan bertahan, aku pasti kuat dan aku akan menerima semua yang menimpaku dengan ikhlas, tapi aku benar-benar tidak bisa menerima jika semua itu menimpa keluargaku.Andai, andai aku tak mempermasalahkan rumah itu, mungkin semua ini takkan terjadi. Benar kata bapak, seharusnya aku menyerahkan semua pada hukum alam, membiarkan karma yang menjalankan perannya. Aku meringkuk di sofa, menyalakan diri atas semua yang menimpa keluarga. Jangan-
Satu hal yang akan kulakukan setelah bebas adalah menghancurkan Tania, membalas semua yang sudah dia lakukan padaku, bagaimanapun caranya. Wanita itu harus menanggung semua perbuatannya.Hanya wajah masam Mas Wisnu yang menyambut kebebasanku. Padahal aku berharap jika Mas Haris yang datang. Lelaki ini memang lain daripada yang lain, cintanya yang luar biasa pada ibunya, membuatnya tak bisa berkutik di depanku. Entahlah, aku memang tak mencintainya, tapi aku juga tak ingin melepasnya. "Sendirian?" tanyaku setelah duduk di sampingnya, membuatnya melirik sekilas."Seperti yang kamu lihat," sahutnya datar, membuatku kesal. Aku paling tidak suka diacuhkan. Namun, untuk mencapai apa yang aku inginkan, mau tak mau aku harus bersikap manis padanya. Agar dia beranggapan kalau aku sudah berubah."Aku berharap ibu dan ayah juga ikut, Mas. Aku merindukan mereka. Apa ibu baik-baik saja?" Pertanyaanku cukup masuk akal, karena selama di lapas orang tuaku tak pernah membesuk. Kecewa? Tentu saja. Bag
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik