"Ya Allah, ada yang bilang kalau sebenarnya yang ingin ditabrak itu Nyia. Ya Allah, siapa yang tega melakukan semua ini?"
"Maafkan aku, Bik," ucapku terbata diantara isak tangis. "Maafkan, aku, Bik." Tubuhku melorot, hingga bersimpuh di kaki wanita yang sudah menganggapku seperti anaknya sendiri itu."Bangunlah, Nyia. Kamu tidak bersalah, Nak. Semua ini sudah takdir," sahut bibik dengan suara bergetar, dan itu semakin membuatku merasa bersalah."Bangunlah, semua ini sudah takdir." Lagi, bibik mencoba menghibur. Aku akan bertahan, aku pasti kuat dan aku akan menerima semua yang menimpaku dengan ikhlas, tapi aku benar-benar tidak bisa menerima jika semua itu menimpa keluargaku.Andai, andai aku tak mempermasalahkan rumah itu, mungkin semua ini takkan terjadi. Benar kata bapak, seharusnya aku menyerahkan semua pada hukum alam, membiarkan karma yang menjalankan perannya. Aku meringkuk di sofa, menyalakan diri atas semua yang menimpa keluarga. Jangan-Satu hal yang akan kulakukan setelah bebas adalah menghancurkan Tania, membalas semua yang sudah dia lakukan padaku, bagaimanapun caranya. Wanita itu harus menanggung semua perbuatannya.Hanya wajah masam Mas Wisnu yang menyambut kebebasanku. Padahal aku berharap jika Mas Haris yang datang. Lelaki ini memang lain daripada yang lain, cintanya yang luar biasa pada ibunya, membuatnya tak bisa berkutik di depanku. Entahlah, aku memang tak mencintainya, tapi aku juga tak ingin melepasnya. "Sendirian?" tanyaku setelah duduk di sampingnya, membuatnya melirik sekilas."Seperti yang kamu lihat," sahutnya datar, membuatku kesal. Aku paling tidak suka diacuhkan. Namun, untuk mencapai apa yang aku inginkan, mau tak mau aku harus bersikap manis padanya. Agar dia beranggapan kalau aku sudah berubah."Aku berharap ibu dan ayah juga ikut, Mas. Aku merindukan mereka. Apa ibu baik-baik saja?" Pertanyaanku cukup masuk akal, karena selama di lapas orang tuaku tak pernah membesuk. Kecewa? Tentu saja. Bag
"Mau ke mana, Nak?" tanya ibu mertua yang sedang membersihkan rumah. Tangan keriputnya tengah memegang sapu dan lap."Aku mau ke rumah ibu dan ke warung, Bu. Kangen sama mereka. Gak pa-pa kan, Bu? Oh iya, Mas Wisnu ke mana ya?""Ya gak pa-pa toh, Nak. Wisnu paling ke bengkel. Kamu hati-hati ya. Ingat, nggak usah dengerin omongan orang," pesan wanita baya tersebut."Iya, Bu. Aku pergi dulu ya." Sebenarnya aku sudah muak dengan kepura-puraan ini. Namun, demi dapat tenaga gratis di rumah, aku harus melakukannya.Tujuan utamaku adalah rumah orang tuanya Mas Wisnu. Aku ingin sekali mendengar kabar dari mereka.Semua mata tertuju padaku ketika melewati jalanan gang, sengaja mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Akan kutunjukkan pada orang-orang sekitar kalau aku biak-baik saja, karena aku tidak bersalah.Setelah sepuluh menit berkendara, sampai juga di rumah kakak ibuku. Wanita yang garis wajahnya mirip dengan ibu itu menatapku, s
Setelah pulang dari rumah bude, aku langsung pergi ke warung ibu. Jam segini biasanya mereka ada di sana. Dalam perjalanan aku terus saja memikirkan cara untuk melenyapkan Rindu. Hingga tak terasa sudah sampai di tempat tujuan."Mbak Sinta," sapa beberapa pegawai ketika aku masuk. Tatapanku langsung tertuju pada ibu dan bapak yang sibuk menerima dan memberi kembalian pada pelanggan."Sinta!" Ibu nampak histeris. Wanita yang telah melahirkanku itu langsung meletakan uang yang tadi dipegangnya. Kemudian bangkit dan menghampiriku."Kok sudah sampai, ibu dan Bapak rencananya mau ikut jemput kamu, Nak!" ujar ibu sambil memelukku.Sepersekian detik aku hanya diam menerima perlakuannya, sungguh pandai sekali ibuku ini bersandiwara. "Basa-basinya nanti saja. Itu udah ditunggu pelanggan. Kalau gitu aku mau ke warungku saja," ucapku sambil mengurai pelukannya. Sementara bapak, lelaki itu sama sekali tak menoleh, apalagi menyapa. Entah ada apa dengan kedua orang tuaku ini. Aneh."Eh, Sinta. Tung
"Kamu dengar ibu nggak, Sin? Ingat nggak usah mengusik Tania lagi."Setelah berucap, ibu Kembali keluar meninggalkan aku sendiri di ruangan yang cukup luas dan nyaman ini. Pikiranku melayang ke mana-mana memikirkan cara bagaimana memberi pelajaran pada Rindu.Hingga sesuatu terlintas dalam benak, jika aku sangat mencintai Mas Haris dan rela melakukan apa saja demi dia. Mungkin, Rindu akan melakukan apa saja demi anaknya. Ya, aku harus mendekati anaknya, setelah itu perlahan menghancurkan Rindu.Sebaiknya aku harus cepat-cepat melakukan rencanaku, agar semuanya lekas selesai. Kuraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di bantal. Mencari kontak Bude lalu menghubunginya. Setelah mendapat informasi yang kucari, aku segera beranjak."Mau ke mana?" tanya ibu ketika aku melewatinya."Pulang," sahutku asal sambil terus melangkah. Sepanjang perjalanan menuju rumah Rindu, tak henti-hentinya bibir ini bersenandung. Seakan apa yang kurencana
Aku mengendarai motor tak tentu arah tujuannya, karena benar-benar kesal dengan sikap orang-orang yang dulu patuh padaku. Semuanya breng sek! Ingin rasanya aku menyerah dan memilih untuk ma ti. Namun, aku takkan tenang sebelum menyaksikan penderitaan Tania. Semua ini gara-gara wanita sok baik itu. Andai saja dia dulu aku tak mengenalkan Tania pada Mas Haris, tentu saat ini aku dan Mas Haris sudah hidup bahagia. Aku tahu jika hubunganku dengan Mas Haris tidak dibolehkan, tapi dulu kami saling mencintai, bahkan pernah berjanji akan kawin lari, jika orang tua kami tak merestui. Namun, semua hancur ketika Mas Haris mengenal Tania.Marah? Tentu saja aku sangat marah pada keduanya, Mas Haris dan Tania. Namun, aku tak bisa membenci Mas Haris. Selamanya dia akan bertahta di hatiku, apalagi sikapnya tak berubah walaupun dia menjalin hubungan dengan Tania. Aku sedikit tercengang ketika menyadari bahwa motor yang kukendarai bisa tiba di lapas, tempat
"Enak di kamu kalau begitu! Lelaki macam apa kamu yang akan membuang begitu saja wanita yang sudah menemanimu?! Aku memang bukan orang baik, Nu! Tapi, sebagai lelaki aku menjunjung tinggi kesetiaan!" sahut bapak penuh emosi."Ingat, Nu! Semua tingkah laku Sinta itu karena kamu tak becus mendidiknya sebagai istri!" imbuh bapak. Mendengarnya membuatku meringis. Bapak memang lelaki setia walaupun kata orang bapak kurang baik. Mungkin, jika ada di tokoh pewayangan bapak seperti Duryudana. "Sinta! Kita pulang!" Mas Wisnu dengan kasar menarik tanganku. Membuatku menahan jerit, karena merasa sakit."Nu—!" Kali ini ibu yang hendak beraksi."Diam kalian semua! Seperti yang bapak katakan tadi. Aku akan mendidik Sinta, agar dia menjadi istri dan wanita yang baik!" sungut Mas Wisnu. Saat ini aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Mengapa semua menjadi kacau seperti ini?!"Nggak mau! Aku nggak mau pulang dalam keadaan seperti i
"Mau ke mana kamu, Wisnu!" Bapak mertua bertanya dengan nada keras setelah aku hendak beranjak.Terpaksa aku menghentikan langkah dan menoleh padanya. "Aku sudah tak berhak di sini, Pak.""Enak saja main pergi. Kalau terjadi apa-apa dengan Sinta, kamu yang akan menanggung akibatnya!" ancam bapak mertua ketika kami berada di rumah sakit."Talak sudah terucap. Bapak tahu artinya itu bukan?" sahutku dengan malas. Keberadaanku di tak lebih demi rasa kemanusiaan."Kamu baru mengucapkan satu kali, masih bisa rujuk, bahkan tanpa akad nikah lagi," sahut bapak tanpa menurunkan nada suaranya."Keputusanku sudah bulat, Pak. Aku akan tetap—""Kamu benar-benar seperti kacang yang lupa kualitnya, Nu. Bapak gak nyangka, kupikir kamu berbeda dengan laki-laki lain, ternyata sama saja. Mungkin, benar dugaan Sinta, kalau selama ini kamu punya wanita lain. Atau jangan-jangan berita dulu itu benar, kalau kamu ada main dengan Tania!"Aku urung membalas ucapan bapaknya Sinta, saat seorang perawat keluar dar
Setelah berucap, ibunya Sinta itu langsung bangkit dan beranjak pergi. Aku pun melakukan hal yang sama, meninggalkan Sinta sendirian. Tekadku sudah bulat, takkan termakan oleh sandiwaranya Sinta dan keluarganya. Mana mungkin ada orang tua yang tega meninggalkan anaknya hanya karena dicerai. Keluarga mereka memang terlihat aneh, lain dari pada yang lainnya."Mas, maafkan aku," ucap Sinta saat kami berada di kamar dan hanya itu yang diucapkannya. Aku hanya diam tak begitu menanggapi. Masih sibuk mengambil beberapa pakaian yang hendak kubawa. Rumah ini memang hasil patungan kami, tapi akan menjadi milik Sinta jika aku menceraikannya."Kamu pasti benci banget sama aku," ucapnya lagi. Kali ini suara bergetar, sayang hatiku sudah kebal."Ya, aku benci dengan sifatmu. Setelah mendapatkan hukuman, kukira kamu akan berubah hingga aku tetap menunggu. Namun, sayang, sepertinya kamu memang tidak ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik."Sinta terisak.
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik