"Enak di kamu kalau begitu! Lelaki macam apa kamu yang akan membuang begitu saja wanita yang sudah menemanimu?! Aku memang bukan orang baik, Nu! Tapi, sebagai lelaki aku menjunjung tinggi kesetiaan!" sahut bapak penuh emosi.
"Ingat, Nu! Semua tingkah laku Sinta itu karena kamu tak becus mendidiknya sebagai istri!" imbuh bapak. Mendengarnya membuatku meringis. Bapak memang lelaki setia walaupun kata orang bapak kurang baik. Mungkin, jika ada di tokoh pewayangan bapak seperti Duryudana."Sinta! Kita pulang!" Mas Wisnu dengan kasar menarik tanganku. Membuatku menahan jerit, karena merasa sakit."Nu—!" Kali ini ibu yang hendak beraksi."Diam kalian semua! Seperti yang bapak katakan tadi. Aku akan mendidik Sinta, agar dia menjadi istri dan wanita yang baik!" sungut Mas Wisnu. Saat ini aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Mengapa semua menjadi kacau seperti ini?!"Nggak mau! Aku nggak mau pulang dalam keadaan seperti i"Mau ke mana kamu, Wisnu!" Bapak mertua bertanya dengan nada keras setelah aku hendak beranjak.Terpaksa aku menghentikan langkah dan menoleh padanya. "Aku sudah tak berhak di sini, Pak.""Enak saja main pergi. Kalau terjadi apa-apa dengan Sinta, kamu yang akan menanggung akibatnya!" ancam bapak mertua ketika kami berada di rumah sakit."Talak sudah terucap. Bapak tahu artinya itu bukan?" sahutku dengan malas. Keberadaanku di tak lebih demi rasa kemanusiaan."Kamu baru mengucapkan satu kali, masih bisa rujuk, bahkan tanpa akad nikah lagi," sahut bapak tanpa menurunkan nada suaranya."Keputusanku sudah bulat, Pak. Aku akan tetap—""Kamu benar-benar seperti kacang yang lupa kualitnya, Nu. Bapak gak nyangka, kupikir kamu berbeda dengan laki-laki lain, ternyata sama saja. Mungkin, benar dugaan Sinta, kalau selama ini kamu punya wanita lain. Atau jangan-jangan berita dulu itu benar, kalau kamu ada main dengan Tania!"Aku urung membalas ucapan bapaknya Sinta, saat seorang perawat keluar dar
Setelah berucap, ibunya Sinta itu langsung bangkit dan beranjak pergi. Aku pun melakukan hal yang sama, meninggalkan Sinta sendirian. Tekadku sudah bulat, takkan termakan oleh sandiwaranya Sinta dan keluarganya. Mana mungkin ada orang tua yang tega meninggalkan anaknya hanya karena dicerai. Keluarga mereka memang terlihat aneh, lain dari pada yang lainnya."Mas, maafkan aku," ucap Sinta saat kami berada di kamar dan hanya itu yang diucapkannya. Aku hanya diam tak begitu menanggapi. Masih sibuk mengambil beberapa pakaian yang hendak kubawa. Rumah ini memang hasil patungan kami, tapi akan menjadi milik Sinta jika aku menceraikannya."Kamu pasti benci banget sama aku," ucapnya lagi. Kali ini suara bergetar, sayang hatiku sudah kebal."Ya, aku benci dengan sifatmu. Setelah mendapatkan hukuman, kukira kamu akan berubah hingga aku tetap menunggu. Namun, sayang, sepertinya kamu memang tidak ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik."Sinta terisak.
"Hallo, Mas. Apa kabar?" Aku berusaha bersikap normal, walaupun dadaku berdegup cukup kencang. Ini adalah pertama kalinya aku kembali menghubungi Mas Wisnu, setelah setahun lebih tak berkomunikasi. Ada yang berdesir di dalam hati setelah dia langsung menyebut namaku, itu artinya selama ini dia tak menghapus kontakku. Perasaan memang tidak bisa berbohong, aku telah lama memendam rasa pada Mas Wisnu. Mungkin benar kata pepatah Jawa, wiwiten tresno jalaran songko kulino. Ya, rasa cinta ini tumbuh karena kebersamaan yang dulu pernah terjalin, dan walaupun sudah ratusan hari tidak bersua, rasa itu tetap ada."Alhamdulillah aku baik, Nyia. Kamu apa kabar?" sahutnya diujung telepon. Di sini, aku tersenyum bayang wajahnya yang sedang berbicara seolah nampak di depan mata."Sama, aku juga baik, Mas." Ah, sebuah basa-basi yang umum dilakukan oleh teman yang sudah lama tidak bersua. Ingin rasanya kutanyakan, apa dia rindu? Namun, kurasa itu cukup lancang."Mas, kalau ada waktu, aku ingin bertem
"Apa yang kamu katakan, Nyia? Selama ini Sinta berada di rumah. Sepertinya dia sudah berubah setelah aku hendak menceraikannya." Mas Wisnu terlihat panik, entah apa yang membuatnya khawatir. Mendengar keburukan istrinya atau melihatku yang tengah mati-matian menahan tangis."Manusia seperti Sinta, takkan berubah sebelum mendapat hidayah, Mas. Atau bisa jadi, semua akan berakhir setelah maut menjemputnya." Suaraku masih terdengar parau, sementara air mataku tak henti menetes."Pikiran dulu, Nyia. Kamu tak harus mengorbankan kebahagiaanmu demi membalas dendam pada Sinta," ucap Mas Wisnu dengan suara yang juga bergetar. Aku tak bisa menebak apa yang ada di pikiran lelaki bermata setajam elang itu."Apa itu artinya Mas Wisnu menolak?" tanyaku dengan suara lirih. "Tak apa? Kalau memang kamu sangat mencintai Sinta, berusahalah untuk mengubah dia menjadi pribadi yang lebih baik," imbuhku kemudian. Aku putus asa, aku menunduk untuk menyembunyikan kekecewaan.
"Aku akan mengatakan pada Sinta tentang pernikahan kita, Nyia."Saat ini kami tengah duduk di teras belakang rumah Tania. Menikmati keindahan langit malam setelah tadi berhasil melewati saat-saat yang mendebarkan. "Jangan sekarang, Mas," sahut Tania, tatapannya lurus kedepan, sementara tangan kami saling bertaut. "Nanti, kalau waktunya udah tepat, aku yang akan datang menemuinya," ucapnya lagi. Setelah itu suasana kembali hening. "Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Nyia, kalau boleh jujur, aku ingin hanya mempunyai kamu sebagai istriku. Perasaanku pada Sinta sudah terkikis." Kukecup punggung tangan Tania ketika aku mengatakannya. Bisa kulihat pipinya bersemu. Ah, sungguh menggemaskan."Sudah malam, sebaiknya kamu pulang," imbuhnya membuat bunga yang sedari tadi bermekaran langsung layu. Ingin sekali aku protes, namun semua itu tercekat di tenggorokan. Apa Tania tidak mengerti, jika aku ingin menghabiskan malam bersamanya, seperti pengantin baru pada umumnya."Aku masih ingin di
"Bu, Mas. Tumben ngumpul di sini? Lagi nungguin aku? Besok-besok kalau aku pergi nggak usah ditunggui kayak gini. Aku pasti pulang kok," ujarnya. Setelah itu dia langsung masuk ke rumah."Ayo, Bu.""Nasehati istrimu itu, Nu. Dosanya dosamu juga. Maaf, selama ini ibu salah menilai Sinta. Ibu tak membencinya, Nu, tapi sikapnya dan sifatnya itu yang membuat ibu agak takut. Kalau dia tidak mau berusaha untuk menjadi lebih baik, lebih baik kamu ceraikan dia. Ibu takut kamu kena dosa yang lebih besar lagi."Ucapan ibu membuatku menghentikan langkah, setelah itu menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya secara perlahan. "Ibu tahu kan bagaimana Sinta, jadi ibu tidak perlu terlalu memikirkannya. Nanti ibu sendiri yang stres. Ayo masuk."Kuraih tangan keriput ibu, kemudian menariknya masuk. Ibu melanjutkan langkahnya ke dalam, sementara aku masuk ke kamar."Dari mana jam segini baru pulang?" Sinta yang mendengar ucapanku langsung membuka matan
Aku terbangun setelah merasakan ingin ke belakang. Bergegas aku melangkah hingga tanpa sadar bertabrakan dengan ibu mertua. "Kalau jalan itu pakai mata, Bu! Gak tahu orang lagi buru-buru! Minggir!" bentakku sambil mendorong tubuhnya ke samping. Aku tak peduli dengannya yang mengadu kesakitan, aku bergegas ke kamar mandi."Kapan rumah ini ada kamar mandinya di dalam kamar?" gerutuku setelah keluar dari kamar mandi. Hampir lima tahun menjadi bagian rumah ini tak ada perubahan yang sama sekali. Padahal aku sudah sering mengadu pada Mas Wisnu.Langkahku berhenti setelah sampai di meja makan. Aroma nasi goreng sungguh menggugah selera. Gegas kubuka tudung saji yang melindungi sepiring nasi goreng plus telur ceplok dari lalat. Dahiku mengernyit karena nasi goreng itu masih mengepulkan asap. Terbayang sudah kelezatannya jika disantap sekarang. Tanpa menunggu aku langsung duduk dan mulai memakannya.Sampai aku selesai makan, wanita tua itu tak juga
"Aku dari tadi manggil-manggil loh!" Aku semakin muak melihat sikap Mas Wisnu itu."Bicara yang sopan sama ibuku, Sin!" tegur Mas Wisnu, tapi aku tak peduli."Lalu kenapa ibu tak manyahut saat kupanggil? Sementara dia ada di kamar! Tahu nggak sih, kalian semua breng sek!" Aku sudah tak tahan lagi, gegas masuk ke kamar sembil membating daun pintu. Di ruangan ini aku menangis sejadi-jadinya. Apa salahku, hingga semua orang membenciku. Hanya Mas Haris yang bisa mengerti dan menghargaiku.Ponsel kudekatkan ke telinga setelah panggilanku terhubung. Di saat seperti ini, aku sangat membutuhkan Mas Haris."Gak usah telpon-telpon suamiku! Dia sudah tak butuh dirimu! Dasar lon te!" Panggilan terputus saat aku hendak memakinya. Rindu benar-benar kurang ajar!Aku berteriak sekencang mungkin untuk meluapkan emosi, bahkan ponselku juga sudah hancur tak berbentuk, setelah menghantam tembok.**
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik