"Breng sek kamu, Tania!" teriak Sinta, setelah wanita itu mengetahui sebuah kebenaran. Aku tak menyangka reaksinya akan seperti itu.
"Tenang, Sin!" Mas Wisnu berusaha menenangkannya. Lelaki berbadan tegap itu mencekal tangan Sinta yang sangat ingin menghajarku."Lepaskan aku, Mas! Aku harus memberi pelajaran pada wanita perebut suami orang ini!" teriaknya kesetanan. Napasnya tersengal seolah-olah habis berlarian."Tenang, Sinta! Tenang!" Mas Wisnu membentaknya, setelah itu menahan tubuh Sinta dengan memeluknya itu. Sementara wanita yang selalu mengatakan jika dimadu adalah jalan untuk meraih surga itu sudah sangat berantakan. Ini benar-benar lucu, kemana wanita yang dulu sangat mendukung suami sahabatnya untuk menikah lagi?"Kamu memang breng sek, Nyia! La cur! Pe la kor! Lepaskan aku, Mas!" Sinta masih meraung dan berusaha berontak untuk menggapai aku. Sorot matanya tajam seolah hendak memangsa diriku hidup-hidup."Sesakit itu kah, Sin? Itulah yang kurasakan dulu!" sahutku. Nyatanya, sikapnya semakin parah, jika dibandingkan denganku dulu."Nyia, lebih baik kamu pulang. Aku akan memenangkan Sinta," titah Mas Wisnu dengan suara lembut. Lelaki berwajah teduh itu menatap penuh permohonan agar aku mengikuti perintahnya."Baiklah, Mas. Jangan lama-lama di sini ya," sahutku sambil melangkah keluar dari rumahnya.Sementara jeritan Sinta terdengar semakin tak terkendali, mencaci-maki dan menghujat diriku yang telah berbaik hati memberikan jalan surga untuknya. Ah, Sinta, aku hanya berusaha menjadi sahabat yang baik, memberi apa yang selama ini kamu gembar-gemborkan.______Kembali ke lima tahun yang lalu ...."Nyia, aku ada teman. Dia janda satu anak yang masih balita. Suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan." Cerita Sinta ketika kami bantu-bantu di rumah ibu mertua karena akan diadakan arisan keluarga."Innalilahi wa innailaihi rojiun. Siapa, Sin? Kok aku gak denger," sahutku. Gerakan tanganku berhenti kemudian beralih menatapnya."Kamu ndak kenal, Nyia. Dia teman satu majelis taklim dari Bandung," sahutnya tanpa menoleh padaku, tangannya masih bergerak memindai kue dari box ke piring."Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Setelah itu kembali melanjutkan aktivitas."Mas Haris yang tahu. Emang dia ndak pernah cerita?" ucapnya lagi. Gerakanku kembali terjedah, dahiku mengernyit mendengar ucapan Sinta. Kali ini kami beradu tatap, sorot matanya seolah ingin mengatakan sesuatu."Ndak ada? Emangnya kejadiannya kapan sih, Sin?" tanyaku mulai penasaran."Udah lama sih, Nyia. Udah tiga tahunan gitu. Pas suaminya meninggal, temanku itu lagi hamil." Sinta melanjutkan ceritanya."Ya Allah, kasihan sekali anaknya. Sudah menjadi yatim sebelum dilahirkan," gumamku. Akhir-akhir ini aku memang suka sensitif jika membahas tentang buah hati."Kamu mau membantunya, ndak?" Sinta kembali berucap. Sekilas dia menoleh padaku yang memperhatikannya. Sepertinya memang ada yang hendak disampaikannya"Bantu gimana maksudnya?" Aku semakin tak mengerti kemana arah pembicaraannya."Dia mau kok dijadiin istri kedua, dan sepertinya Mas Haris juga mau," balasnya dengan senyum kecil.Aku tertawa mendengar ucapan Sinta. Sungguh, kali ini gurauannya sama sekali tak lucu. "Kenapa ndak Mas Wisnu aja, Sin?" Aku berusaha menimpali candanya."Udah keduluan sama Mas Haris. Suamimu itu memang selalu terdepan kalau masalah bantu membantu," ucapnya ringan tanpa beban."Maksudnya?" Aku semakin tak paham."Iya, Mas Haris yang lebih dulu tahu dan dia ingin membantu wanita itu. Menikahinya," balas Sinta dengan nada rendah. Namun, bagiku itu bagai petir tanpa mendung.Sontak aku menghentikan gerakan, menatap intens pada sahabat sekaligus sepupu suamiku itu. Sepersekian detik kemudian aku bangkit lalu beranjak untuk mencari Mas Haris.**"Jadi Sinta sudah bilang? Anak itu memang tak sabaran," sahut Mas Haris sambil menggeleng, ketika aku menanyakan kebenaran tentang ucapan Sinta. Membuatku semakin melongo mendengarnya. Aku berharap dia akan menyangkal. Namun, jawabannya sungguh diluar dugaan."Maksudnya gimana sih, Mas? Jadi benar kamu mau menikah lagi?" Seperti orang bodoh, aku masih menanyakan hal yang sama."Iya, Nyia. Rencananya nanti sebelum acara arisan dimulai, aku akan memperkenalkannya," sahut lelaki yang sudah menikahiku itu tanpa beban."Kamu ... kamu serius, Mas?!" Aku mulai histeris. Bahkan sudah memukul lengannya. Salah satu bagian tubuhnya yang paling kusukai, karena lengan itulah yang menjadi bantal ketika aku tidur."Tenang, Nyia, tenang." Mas Haris mencoba memelukku. Sontak aku menepis tangannya yang terulur. Aku sakit, bahkan sebelum itu terjadi aku sudah merasa hancur."Aku akan bersikap adil, Nyia," sahutnya dengan suara tenang. Setelah sepersekian detik dalam kebisuan."Aku ndak bisa, Mas! Aku ndak mau berbagi cinta dengan wanita lain. Sekarang pilih aku atau dia?" tantangku. Mas Haris menatapku tajam, tiga tahun berumah tangga baru kali ini dia menatapku seperti itu."Masalah ini gak usah dibahas lagi. Mau gak mau, suka gak suka, keputusan sudah diambil jadi kamu harus menerimanya." Jika lelaki itu sudah mengatakan itu, artinya aku harus menurut."Pilih aku atau dia, Mas! Karena aku ndak akan bisa menjalaninya!" Sengaja aku menantangnya. Untuk hal ini aku takkan diam saja."Belajarlah untuk menerima, Nyia, walaupun itu hal yang tidak kamu sukai!" tegasnya. Setelah itu dia berlalu meninggalkanku sendirian di kamarnya sewaktu masih lajang.Sinta mendatanginku yang masih berdiri termangu di tempat semula. Perlahan dia membawaku duduk di ranjang. Mungkin dia diminta oleh Mas Haris untuk membujuk dan menghiburku. Wanita bertubuh mungil itu mengatakan banyak hal tentang kebaikan dan kemuliaan yang akan kuraih jika menerima pernikahan kedua Mas Haris."Jaminannya Surga, Nyia. Apa—""Jangan bicara tentang Surga, Sin. Masih banyak jalan lainnya untuk menggapainya," sahutku memotong ucapannya. Sementara pipiku sudah basah oleh air mata."Iya, banyak, Nyia, tapi—""Lalu kenapa harus memilih jalan itu, Sin?!" Emosiku benar-benar meluap. Baru kali ini aku berkata cukup keras padannya."Astaghfirullah. Sabar, Nyia," ucapnya terkejut, sambil mencoba meraihku dalam dekapannya. "Bahkan Mas Haris bisa menikah tanpa izinmu. Kamu beruntung mendapatkan lelaki baik seperti dia. Jadi bersabarlah, anggap saja ini sebagai pelajaran hidup," imbuhnya dengan suara lembut seperti biasanya, membuatku semakin muak dengan semua penuturannya. Mudah sekali Sinta mengucapkannya, apa dia juga sanggup bila suaminya menikah lagi?"Ada apa ini?" tanya Ibu mertua yang baru saja masuk ke dalam kamar.Sinta mengurai pelukannya, kemudian bangkit dan beranjak menghampiri ibunya Mas Haris. Aku pun melakukan hal yang sama."Tania belum bisa menerima—""Apa Ibu tahu kalau Mas Haris hendak menikah lagi?" tanyaku pada wanita yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri itu."Iya, bukannya kamu juga sudah tahu? Bahkan nanti keluarga wanita itu akan datang ke sini," balas ibu dengan tatapan heran.Jawaban ibu mertua bagai peluru yang menembus jantungku. Membuatku sekarat dan perlahan ma ti."Ibu menyetujuinya?" Aku bertanya dengan sisa-sisa tenaga, terdengar lirih hampir mirip seperti bisikan. Bergantian aku menatap ibu dan Sinta. Ada apa dengan wanita -wanita ini? Terbuat dari apa hati mereka? Hingga menganggap semua yang kualami adalah kewajaran. Aku tahu jika poligami itu sunnah. Namun, tak semudah itu untuk menjalaninya.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda itu menghela napas. "Semua terserah Haris, Nyia. Dia lelaki dan berhak memutuskan. Yang penting dia bisa berbuat adil. Udah itu aja. Sebagai istri harus manut sama suami. Toh, dia tetap menjadi suamimu kan?" ujarnya enteng, seolah itu adalah hal sepele."Apa ini karena aku belum hamil, Bu? Apa Ibu dan keluarga menekan Mas Haris untuk menikah lagi?" Entah mendapat keberanian dari mana aku bisa mengucapkannya.Ibu menautkan kedua alisnya, setelah itu dia berdecak. "Sudahlah, Nyia. Ibu gak mau terlalu ikut campur. Lagian, keluarga wanita itu—""Namanya Rindu," sahut Sinta memotong ucapan ibu. S
"Silakan duduk." Wanita berhijab modern itu mempersilahkan. Aku pun menjatuhkan bobot tubuh ke kursi yang berseberangan dengannya."Ada perlu apa Anda ingin bertemu?" tanyaku tanpa basa-basi."Tinggalkan Mas Haris, sebelum lukamu semakin parah. Ada jalan lain yang bisa kamu lalui untuk menggapai surga, kan?" ucapnya lagi.Dahiku mengernyit mendengar penuturannya. Begitu yakin dan percaya diri. Namun, aku tak boleh terpancing emosi dan bersikap normal agar tahu mengapa dia bersikap seperti itu."Apakah ibadah yang lainnya sangat berat, hingga kamu menempuh dengan jalan pintas? Atau kamu ingin menunjukkan kalau kamu itu wanita baik dan hebat? Dan ingin membuat seorang Rindu terlihat buruk di mata masyarakat? Dituduh perebut suami orang, begitu?" cerocos wanita yang sebentar lagi akan dihalalkan Mas Haris itu."Seribu satu wanita yang dengan iklhas dimadu. Sayangnya yang satu itu bukan aku. Ucapanmu tentangku tak semuanya benar." Aku menghela napas, agar emosi yang semakin membuncah ini
Aku urung beranjak ketika Sinta memberi usul untuk menelpon Mas Haris dan memintanya datang. Sinta terpekik setelah menghubungi Mas Haris. "Dia bisa datang, Rin!" Nampak jelas rona kebahagiaan di wajahnya.Iseng aku mengirim pesan pada Mas Haris. Memintanya menjemput dengan beralasan jika ban motorku kempes. Aku hanya ingin memastikan, apa dia patut dipertahankannya apa tidak. Pesanku langsung dibaca, namun tak terlihat dia mengetik. Aku masih sabar menunggu balasan dari Mas Haris, kira-kira apa yang hendak dikatakannya. Sementara Sinta dan Rindu nampak riang menunggu kedatangan Mas Haris. [Aku sibuk, Nyia. Sebentar lagi rapat. Kamu pesan ojol aja, sekalian minta antar ke bengkel] balasnya setelah cukup lama. Aku mengangguk-angguk setelah membaca pesannya. Sudah jelas, putusan apa yang harus kuambil."Mas Haris kok lama ya, Sin? Bukannya kantornya dekat dari sini?" ucap Rindu, sepertinya dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan suami orang."Barusan dia chat aku, katanya sudah ot
"Mas, bisa jelasin semuanya?" Rindu menodong penjelasan pada calon suaminya."Dek Rindu, ini tidak seperti yang dikatakan Tania. Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu dan Aurel." Mas Haris berucap sambil memegang kedua pundak Rindu.Aku hampir kelepasan tawa ketika mendengar panggilan mesranya."Kamu memang yang terbaik, Mas. Aku semakin mantap untuk menikah denganmu," sahut Rindu dengan mata berbinar."Jadi, nunggu apa lagi? Silakan angkat kaki dari rumahku!" tegasku."Dengan senang hati, Tania. Kuharap kamu tidak menyesali semua ini." Dengan percaya diri, Mas Haris menggandeng tangan mulus Rindu, setelah itu mereka berjalan beriringan menuju luar yang diikuti oleh Sinta."Apa-apaan kamu, Nyia?!" seru seseorang dari arah depan. Membuat langkah ketiga orang itu berhenti.Dahiku mengernyit melihat kedatangan wanita baya tersebut. Dari mana mantan mertuaku itu bisa tahu? "Ibu?" Mas Haris menyongsong kedatangan orang tuanya. Begitu juga dengan Sinta si pencari muka. Sementara Rin
Sambil menunggu balasan pesan dari Mas Wisnu, aku membuka lemari untuk mengambil berkas-berkas penting yang kupunya. Aku harus memikirkan cara bagaimana mengungkap dan memberi pelajaran yang setimpal pada Mas Haris. Sertifikat rumah ini disimpan bapak, bagaimana bisa Mas Haris mendapatkannya. Benar-benar tidak beres.Kegiatanku terhenti ketika notifikasi di ponsel berbunyi. [Selamat menikmati menjadi gembel, Nyia. Makanya jadi wanita jangan sok! Sekarang rasakan akibatnya] Bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kutatap barisan huruf itu kubaca berulang kali. Dari gaya menulisnya, sepertinya aku tahu siapa pengirimnya. Namun, aku memilih abai. Sekali lagi kuteguhkan hati, tak perlu meladeni manusia toxic seperti itu.Notif baru muncul, pesan dari Mas Wisnu masuk. Aku segera menggeser layar ponsel dan membaca pesannya. [Aku sudah sampai, langsung masuk apa nunggu di luar?]Gegas kuketik balasan [Tunggu di luar saja, Mas] terkirim dan langsung terbaca. Sedetik kemudian emot jempol ma
Aku mengurungkan apa yang hendak kukatakan pada Mas Wisnu. Lelaki itu pun sepertinya tidak begitu merespon ucapanku tadi.Selesai makan, kami langsung meluncur ke rumah bapak. Saat ini pikiran ini sibuk merangkai kata yang akan kusampaikan pada bapak nanti. Hingga tak sadar sudah sampai di halaman rumah bapak."Kok nggak sama Haris?" tanya bapak setelah aku menyalaminya. "Mas Haris sibuk, Pak," sahutku asal. Mungkin saja kan dia sedang sibuk. Sibuk dengan calon istrinya.Setelah itu bapak mengajak Mas Wisnu masuk. Lelaki berwajah manis itu pun menurut. Belum juga air yang kumasak mendidih, bapak memanggil. "Nyia, Nak Wisnu mau balik!" Aku pun segera ke depan. "Nunggu kopinya jadi, Mas. Airnya udah hampir mendidih.""Ntar kesorean, Nyia. Keburu anak-anak tutup," sahut lelaki berambut ikal itu.Mas Wisnu punya sebuah bengkel, itulah pekerjaannya. Aku senang saja melihat orang yang punya usaha sendiri, walaupun kecil
[Suami yang mau menikah lagi, sepupu yang dimusuhi. Hadeh] chat Nina di grup warga. [Sabar Mbak Sinta. Orang baik pasti bertemu dengan orang baik][Eh, keluarkan saja si Tania. Dia juga sudah bukan warga sini. Bikin gaduh aja]Setelah itu beberapa tag memanggil namaku bertebaran di grup tersebut. Bahkan ada yang japri. Mereka rata-rata menanyakan kebenaran berita tersebut. Namun, ada juga yang menghujat. Mereka yang menghujat adalah para bestienya Sinta. Sifatnya ya setali tiga uang dengannya.Bapak kembali dari musolah tak sendiri. Dia datang bersama dengan seorang lelaki muda."Nyia, bikinin kopi," titah bapak setelah aku menjawab salamnya. Kopi adalah hal yang wajib disuguhkan pada setiap tamu yang datang ke rumah."Nyia, ini Nak Eko. Dia ini bekerja di polres. Tadi bapak sudah menceritakan semuanya padanya. Kata Nak Eko, kasusnya bisa dilaporkan sebagai penipuan.""Pak, yang di foto itu memang benar aku, tadi Mas Ha
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di rumah yang tiba-tiba sudah bukan milikku. Bersamaan dengan sebuah mobil yang sepertinya juga hendak ke rumah ini."Maaf, Bu Tania. Kuncinya sudah kami ganti," ucap Rendra setelah dia turun dari mobil. Di belakangnya Ajeng nampak sungkan. Padahal aku belum sempat membuka kuncinya."Gak pa-pa, itu hak kalian," sahutku sambil sedikit menepi, memberi mereka tempat untuk membuka gembok. Kami masuk beriringan setelah pintu pagar terbuka. Tak ada obrolan, karena aku malas untuk sekedar basa-basi.Tujuanku langsung ke kamar, semua masih sama seperti kemarin. Aku pun mulai membuka lemari dan mengeluarkan semua pakaian. Aku takkan membawanya pulang, rencananya aku akan langsung membawa baju-baju ini ke panti. Semuanya ada empat koper.Setelah itu aku melangkah ke dapur. Di ruangan favoritku itu ada Rendra dan Ajeng, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. "Aku akan mengambil beberapa alat masak kesayangan," ujarku
"Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah
"Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m
"Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir
Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.
"Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i
"Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil
Pagi ini tubuhku terasa sakit semua, sebenarnya setiap hari aku juga merasakannya, tapi hari ini sakitnya lebih parah. Dari kepala sampai ujung kaki, semua terasa ngilu. Tubuhku menggigil dalam gudang yang gelap dan pengap ini. Biasanya bude akan membangunkanku, mengapa hari ini dia tak kunjung membuka pintu.Setelah menunggu dan mulai gelisah karena rasa sakit di kepala yang semakin kuat. Aku mendengar derap langkah, entah milik siapa. Apakah ini sebuah pertolongan? Memikirkan itu semangatku berkorbar, dan dengan sisa-sisa tenaga kupaksakan diri ini bangkit, lalu merangkak ke arah pintu, setelah itu berteriak sekuat yang kumampu."Sepertinya ada orang di dalam!" seru seseorang dari balik pintu. Aku pun semakin bersemangat untuk berteriak."Dobrak saja pintunya!" Mendengar itu, aku langsung bergeser agar tidak terkena daun pintu yang mungkin akan lepas dari bingkainya.Air mataku tumpah setelah pintu berhasil didobrak. "Sinta!" Itu seperti su
"Kalau melakukan pekerjaan itu yang bener, Sin. Lihat semua masih kotor, dah kamu kerjakan lagi," titah bude sambil melempar piring yang dipegangnya. Badanku gemetar mendengar benturan antara piring dan lantai. Wanita yang dulu sangat kucintai itu memang tak pernah berkata keras, tapi sangat menakutkan."Bersihkan, setelah itu baru makan," imbuhnya sambil melangkah pergi. Aku tak bisa menjawab, karena mulutku dilakban sangat banyak sampai memutari kepala. Sedangkan tangan dan kakiku di rantai. Entah sudah berapa kali aku tak sadarkan diri dan sadar di tempat yang sama. Jika bisa meminta, aku ingin Tuhan mencabut nyawaku saja, dari pada hidup seperti ini.Mereka memang tak menyiksa ragaku, tak pernah memukul atau melakukan kekerasan fisik, hanya saja bude dan pakde tak membiarkan aku beristirahat, ada saja yang harus kukerjakan. Semua semakin berat karena aku tidak leluasa bergerak, dan dalam kondisi lapar.Mas Haris hanya bisa menatapku dari atas kurs
"Apa yang aneh, Mas?" Aku semakin bingung dengan sikapnya."Sinta. Setiap hari yang menghubungiku itu budenya. Setiap aku mau bicara dengan Sinta, dia selalu bilang kalau Sinta sibuk mengurus Haris. Sementara setiap hari budenya meminta uang lebih.""Mungkin, Sinta beneran sibuk, Mas. Bisa aja, kan?""Iya, sih, tapi tetap saja aneh, Nyia." Setelah itu kami sama-sama diam, aku kembali memikirkan Ratna. Entah Mas Wisnu tengah memikirkan apa. Sinta mungkin. Terserah lah.Setelah beberapa saat dalam keheningan, ibu memanggil untuk mengajak makan malam. Aku dan Mas Wisnu pun segera bangkit."Ibu kok repot-repot masak toh, Bu?""Nggak pa-pa, Nyia. Ibu jenuh kalau diam saja. Lagian kan ibu sudah sehat."Penampilan sambel terasi buatan ibu mertua sangat menggugah selera. Saat hendak duduk, aku baru teringat Ratna. Setelah bilang pada Mas Wisnu kalau hendak mencari Ratna, aku segera beranjak mencari keberadaan adik