Ini merupakan catatan penulis (bebas coin), sebagai pendukung agar pembaca bisa lebih memahami konflik yang terjadi di cerita ini terkait harta warisan. Dulu sempat terjadi antara Keluarga Yusuf dan Keluarga Mila, dan mungkin akan kembali lagi terjadi di keluarga lainnya dengan pemicu yang berbeda.
“Bagi yang rasanya malas membacanya, boleh di skip saja dan lanjutkan ke chapter berikutnya”
Di dalam adat Minangkabau, terdapat tiga jenis peninggalan yang diserahkan oleh pendahulu terhadap para generasi penerus. Yang pertama adalah “sako”, yang berarti gelar, yang akan diturunkan pada setiap laki-laki yang sudah menikah. Ini hampir tak pernah ada masalah, karena hanya menyangkut gelar yang akan disandang oleh seorang laki-laki.
Namun seperti biasanya, masalah itu baru muncul ketika sudah menyangkut “harta”.
Selain “Sako” tadi, ada lagi istilah “Pusako” yang berarti harta pusaka. Terdapat dua jenis harta pusaka. Yang pertama adalah “Pusako Tinggi” atau harta pusaka utama yang diturunkan pada anak perempuan tertua di Rumah Gadang. Yang terakhir adalah “Pusako Randah”, yang merupakan harta warisan yang diturunkan secara hukum Faraid (menurut hukum waris sesuai syariat).
Namun mengenai “Pusaka Tinggi” dan “Pusaka Rendah” ini, bahkan banyak orang minang sendiri yang salah kaprah. Teramat sering ini menjadi sumber konflik dan pertikaian dalam keluarga.
Konsep Pusaka Rendah tak begitu rumit, karena ini merupakan harta milik pribadi orang tua dari hasil pencarian mereka, yang ketentuannya nanti diwariskan pada keturunan dengan sistem syarak (syariat Islam).
Sementara Pusaka Tinggi, sejatinya tak ada pemilik tunggalnya. Ianya merupakan harta kaum yang dititipkan oleh nenek moyang dengan konsep mewariskan amanah, bukan dengan mewariskan kepemilikan. Pemegang amanah terdahulu akan menurunkannya pada pemegang amanah generasi berikutnya. Dan ini diturunkan secara matrilineal pada anak perempuan tertua yang diharuskan menetap di Rumah Gadang untuk menjaga amanah tersebut.
Namun banyak yang keliru, beranggapan bahwa harta warisan di Minangkabau hanya dibagi-bagi pada anak perempuan. Ini adalah kesalahan fatal, baik dari segi adat maupun dari segi syariat.
Sejatinya, hanya anak perempuan tertua yang “menerima amanah” atas Pusaka Tinggi ini. Ini sebuah bentuk perpindahan amanah, bukan perpindahan hak milik. Jadi akan salah besar jika harta ini dianggap berpindah kepemilikan ke anak perempuan, atau dianggap harta itu menjadi milik si A atau si B. Perempuan tertua ini hanya memegang amanah, tidak memegang kepemilikan.
Bentuk Pusaka Tinggi dapat berupa tanah pusaka serta Rumah Gadang utama yang berdiri di atasnya. Anak tertua yang menerima amanah akan menetap di Rumah Gadang sebagai penjaga amanah, sebelum nanti diserahkan lagi pada perempuan tertua di generasi penerus.
Dari permasalahan inilah, sengketa soal tanah warisan sering berlarut-larut di tengah masyarakat minang. Tak bisa membedakan mana yang harta pusaka dari nenek moyang untuk kaum (Pusaka Tinggi), dan mana harta milik orang tua hasil pencarian mereka pribadi untuk keluarga kecilnya (Pusaka Rendah).
Sebagai perbandingan untuk cerita di dalam buku “Pembalasan Mantu Kampungngan” sejauh ini, saya beri sedikit lagi contoh perbedaan Pusaka Tinggi dan Pusaka Rendah.
Dua bidang tanah yang ditinggalkan oleh ayahnya Yusuf.
Ini semua diperoleh dari hasil pencarian pribadi ayahnya Yusuf. Semua harta ini tak bisa dinggap sebagai harta pusaka tinggi, tapi milik pribadi keluarga Yusuf.
Namun Mila dan Rendy sempat salah kaprah, menganggap tanah yang mereka tempati itu merupakan tanah pusaka. Rendy berpikir itu akan diturunkan pada Mila. Sejatinya tidak. Tanah itu milik pribadi ayah Yusuf dari hasil usahanya, dan hanya akan diwariskan secara syariat Islam, yang berarti hanya turun ke keluarga Yusuf saja (Mak Sannah, Yusuf, dan Aisyah)
Meskipun ayah Yusuf dan Ibu Mila satu rumpun dalam satu kekerabatan Rumah Gadang, harta peninggalan ayah Yusuf itu tak akan bisa beralih ke pihak Mila. Kenyataannya, keluarga mereka ini sama sekali tak memiliki harta pusaka, tidak juga memiliki Rumah Gadang. Karena keluarga mereka di generasi sebelumnya sudah terpecah-pecah tak jelas.
Bisa jadi di masa lalu perpecahan itu dipicu oleh sebagian pihak yang telah menjual tanah pusaka, sehinga rumpun keluarga itu jadi berantakan.
Ini salah satu akibat jika tanah pusaka di jual dan dibagi-bagi. Generasi penerusnya akan terlantar, terpecah-pecah dan tak memiliki tanah pusaka maupun Rumah Gadang lagi untuk pulang.
Contoh pada harta di keluarga Harmoko
Di keluarga Harmoko mungkin sedikit lebih rumit. Karena Rosdiana memegang amanah untuk harta Pusaka Tinggi, berupa tanah yang dia tempati, serta Rumah Gadang di mana Rosdiana dan Harmoko tinggal.
Sementara di sisi lain, Baik Rosdiana maupun Harmoko juga memiliki harta sendiri atas pencarian mereka (dari bisnis distribusi hasil pertanian).
Sebagai contoh perbedaan hartanya. Semua rezeki yang dikumpulkan oleh Rosdiana dan Harmoko lewat bisnis distribusinya adalah milik pribadi mereka. Jika mereka nanti meninggal, harta yang ditinggalkan adalah Pusaka Rendah, dibagi sesuai hukum Faraid.
Namun satu rumah kos yang dibangun di atas Tanah Pusaka itu tidak bisa dikatakan milik pribadi Rosdiana dan Harmoko. Rosdiana sebagai pemegang amanah boleh mengelolanya. Namun manfaat dari pengelolaan itu harus dia gunakan untuk menyantuni kerabatnya yang lain (keluarga pihak Rosdiana).
Sejatinya, siapa pun kerabat dari pihak Rosdiana.yang ingin tinggal di Rumah Gadang itu, bisa tinggal bersama-sama di sana jika mereka mau. Termasuk pihak keluarga lain yang masih satu rumpun dengan Rosdiana. Begitu juga dengan Cindy, serta Rani bersama suaminya, David. Padahal Rosdiana membuatkan satu rumah khusus untuk Rani dan David adalah bentuk sayang dia pada mereka, agar mereka bisa leluasa di sana. Ini sesuatu yang tak didapatkan oleh Yusuf dan Rayna selama tinggal bersama Rosdiana dan Harmoko di Rumah Gadang itu. Bahkan jika David dan Rani ingin tinggal di sana pun sepeninggal Rosdiana, tak ada juga yang berhak untuk melarang. Karena Rayna nanti hanya mewarisi amanah merawat Rumah Gadang itu, bukan mewarisi kepemilikannya. Namun David justru iri atas apa yang akan Yusuf peroleh dengan menikahi Rayna yang anak tertua. Pada hal, dia sendiri hidup enak dan tenang, jauh lebih baik dari apa yang didapatkan Yusuf selama dua tahun tinggal di sana. “Sudah lah! Kamu hanya menambah
Memang dalam urusan bisnis, tak selamanya semuanya bersifat pribadi. Kadang ini semua hanya sebatas negosiasi.Di satu waktu mungkin seseorang akan berkata bahwa dia tak akan berbisnis dengan orang tertentu karena ada kesan buruk. Namun ketika datang tawaran yang menggiurkan, semua kesan buruk masa lalu itu bisa dilupakan.Ini juga kenapa, sebagian orang tak terlalu memikirkan soal prinsip dan etika dalam berbisnis. Terutama bagi mereka yang merasa bahwa pihak mereka punya daya tawar lebih kuat, dan memang punya dukungan yang kuat untuk itu.Mereka percaya semua akan berubah ketika sudah dihadapkan pada uang. Mereka percaya bisa merubah sikap orang, ketika mereka bisa memberikan tawaran yang tak bisa ditolak.Itu lah yang dipikirkan David saat ini. Dia sadar banyak petani yang enggan menjual barang mereka padanya. Begitu juga pada para tauke lain yang satu komplotan dengannya.Selama ini dia dan tauke lainnya mengabaikan hal itu. Karena mereka percaya punya daya tawar yang kuat. Namun
Tentu bisik-bisik Mahzar itu cukup menyita perhatian para distributor lainnya yang ada di ruangan VIP di rumah makan tersebut.“Ada apa, Da Mahzar?” tanya Syaiful.“Ini! Bocah ini bersikeras kalau dia yang ingin mentraktir semuanya. Jika aku biarkan dia yang bayar, mau ditaruh di mana mukaku sebagai yang paling senior di sini,” jawab Mahzar berkilah.“Ya biar saja. Sekali-kali kasih juga ruang pada yang paling muda untuk berbuat sesuatu,” balas Syaiful sembari sibuk mencuci tangannya di kobokan.Mahzar pun menyikut lengan David dan mengatakan kalau dia menerima tawaran David untuk membayar semua pesanan itu. David hanya bisa menunduk dengan memasang wajah malu-malunya di depan para tauke senior yang lainnya.Namun tak seperti para tauke yang lainnya, Arifin yang duduk di sebelah David cukup bisa mendengar bisik-bisik mereka itu. Namun dia tetap bersikap tenang tanpa memberikan reaksi sedikit pun, seakan dia tak tahu apa-apa.Setelah puas menyantapi hidangan itu, semua terlihat bersand
Sekarang Mahzar masih saja memperhatikan David yang tengah sibuk mengelap wajahnya dengan tisu. Entah sudah berapa tisu yang sudah dia habiskan sejak keluar dari ruangan VIP tersebut. Di mata para milenial, penampilan David ini memang terkesan wah, memberikan gambaran profesional dari seorang pebisnis. Ibarat kata orang minang, “tacelak di mato rang banyak”, menjadi perhatian karena enak dipandang. Namun terkadang, ini juga yang menjadi penilaian buruk Mahzar terhadap David. Di matanya, David yang selalu parlente itu justru memberikan gambaran ketidakbecusan sebagai pedagang. Karena dalam pandangan konservatifnya, seseorang tak akan bisa sukses dalam berdagang kalau takut mengotori diri. “Kau lihat saja tingkahnya. Belum lama dia di dalam bersama yang lainnya, sekarang dia sudah begitu risih dengan kondisi penampilannya,” ucap Mahzar. “Bukankah beberapa waktu terakhir ini dia sendiri juga sudah ikut turun ke ladang, sejak Yusuf tak lagi bekerja pada Harmoko?” tanya anak buahnya. “
Sore itu, seluruh kentang itu ditumpuk di satu titik di salah satu sudut ladang. Sementara Yusuf baru saja kembali membawa gerobak yang baru saja ditambal bannya.Cindy dan Aisyah sudah asyik saja memilih-milih kentang yang besar dan yang paling bagus yang bisa mereka kumpulkan. Pasalnya, mereka juga sudah membeli dua jenis alat pemotong kentang. Satu untuk membuat stik kentang, satu lagi untuk membuat potato chip.Kening Yusuf terlihat berkerut saat menemukan mereka sudah cukup banyak juga menyisihkan kentang-kentang itu.“Serius mau diambil sebanyak itu?” tanya Yusuf.Cindy pun langsung termangu, merasa resah berpikir Yusuf tak begitu senang jika terlalu banyak kentangnya yang diambil. Dia pun mengembalikan beberapa dengan sedikit perasaan serba sungkan.Namun Aisyah malah mengambil lagi kentang yang dikembalikan Cindy, dan memasukkannya kembali ke dalam baskom.“Ih, Akak ini kenapa lah? Kok dikembalikan lagi? Sudah capek-capek ini Aisyah memilihnya,” gerutu adik Yusuf itu.“Kakakmu
Orang dari Palembang itu menghela nafas cukup dalam. Tentu dia mengerti juga pentingnya untuk menjaga amanah dalam perdagangan. Tapi dia tak juga bisa membuang raut wajah kecewanya.Di situ Yusuf mulai merasa sedikit prihatin dan tergerak untuk membantu.“Apa Pak Rizky mau sedikit bersabar? Ini aku juga sedang panen kentang. Kalau dari yang sudah terkumpulkan seharian ini, mungkin ada sekitar 700 an kilo,” tawar Yusuf.Pedagang itu pun menoleh ke arah tumpukan stok barang Yusuf. Stok yang banyak di sana juga kentang-kentang juga.“Rasanya, tak mungkin juga saya muat truk dengan kentang saja semuanya,” ucap orang tersebut.“Ya, tak apa. Ambil saja kentang ini nanti sebanyak kebutuhan Pak Rizky saja. Sementara itu, kenapa tak saya temani saja mencari barang? Mumpung masih sore,” tawarnya.Raut wajah pedagang dari Palembang itu sedikit berubah mendengarkan tawaran tersebut.Yusuf pun bersegera mencarikan orang untuk membantu Dani dan Bobby memuat kentang-kentang yang ada ke dalam karung
Pada akhirnya, pedagang dari Palembang itu dapat juga bernegosiasi untuk membeli hasil panen seorang petani. Ini merupakan petani kedua yang bisa mereka ajak negosiasi setela seharian mencari.Dari jumlah tomat yang sudah dipanen, bisa diperkirakan semuanya mencapai 6-7 peti tomat. Tentu akan butuh waktu juga bagi petani itu untuk mengemas dan juga menimbang semuanya.“Mumpung masih belum gelap, kenapa tak kita lihat dulu lebih jauh ke dalam,” saran Yusuf.“Apa tak masalah ditinggal saja dulu?” tanya Pak Rizky berbisik.“Kenapa memangnya?” balas Yusuf bertanya.“Aku takut nanti petani itu malah melepasnya ke pedagang lain yang datang sepeninggal kita,” balas Pak Rizky menjelaskan kesangsiannya.“Kalau begitu, Pak Rizky bisa tinggalkan saja dulu uang muka untuk tanda jadi saja dulu,” saran Yusuf.Pedagang dari Palembang itu mengangguk pelan menerima usulan tersebut. Dia pun menghampiri si petani sembari menghitung-hitung lipatan uang kertas yang dia keluarkan dari sakunya.“Pak, kami m
Di rumah, hanya tinggal anaknya Pak Salman yang membantu yang lainnya mengemas kentang Yusuf. Karena Bobby dan Dani sudah duluan berangkat sesaat setelah magrib, dan tak sempat bertemu Yusuf.Sekarang pekerjaan itu dilanjutkan oleh ibunya Yusuf bersama Aisyah. Bahkan Cindy pun ikut serta, meski aslinya lebih banyak bikin ulah. Kentang-kentang yang dia masukkan ke dalam karung malah meliuk ibarat ular yang kekenyangan.“Sudah, Cindy. Kamu ke dalam saja temani kakakmu jagain si Taufiq,” seru Yusuf sembari sibuk mengeluarkan kentang-kentang yang sudah dimasukkan Cindy.Tentu Cindy merasa tak enak, karena malah membuat mereka menjadi semakin sibuk. Namun begitu, dia sedikit merasa enggan juga kembali ke dalam rumah. Pada akhirnya, dia bertahan di sana, memancing Aisyah mengobrol di tengah kesibukannya.Aisyah yang paham dengan kondisi itu, akhirnya memilih berhenti untuk membantu dan mengajak Cindy ikut pergi.“Yuk, Kak! Kita ke dalam saja,” ajaknya.Setelah isya, mereka baru selesai meng
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na