Yusuf pun tersenyum sumringah, berbarengan dengan sumringahnya wajah petani itu. Tinggal David seorang yang diam dengan wajah masamnya.“Kalau begitu, aku tinggal dulu, Pak. Mau menemui petani lainnya,” ucap Yusuf pamit.Petani itu manggut-manggut dan tak lupa mendoakan urusan Yusuf lancar. Yusuf berlalu dengan tak lupa sedikit menepuk lengan David sekali dan pergi meninggalkannya di sana tanpa berkata apa-apa lagi padanya. David hanya bisa menahan rasa kesalnya, melihat Yusuf berlalu pergi.Diperjalanan, Yusuf masih sibuk menelepon untuk memastikan ketersediaan barang dari petani lainnya. Hingga dalam satu hari itu dia merampungkan semua permintaan yang diterimanya dari Firman.Bahkan sebagian petani malah menawarkan lebih karena masih memiliki persediaan panen lainnya. Namun Yusuf meminta mereka untuk menahan dulu.“Kenapa tak ambil saja dulu, dan taruh di rumahmu. Daripada nanti diambil orang. Aku yakin Firman dan yang lainnya masih akan memesan,” usul Bobby.“Biar nanti kita saja
Pada akhirnya, Bobby keluar dan mengetuk pintu rumah Dani. Tak lama menunggu, Dani datang membukakan pintu.“Boleh aku menginap di sini saja dulu bersamamu?” tanya Bobby.Dani tersenyum, cukup mengerti juga perasaan temannya itu saat ini.“Masukalah, biar aku yang parkirkan mobilnya,” ucap Dani meminta kunci mobil pada Bobby.Pada akhirnya, mobil itu mereka parkir di halaman rumah Dani dan memilih untuk menginap di sana.Kenyataannya, beberapa preman yang tak dikenal memang sedang ramai duduk-duduk menjelang ke perbatasan kota. Sebagian terlihat memegang balok kayu, ada juga yang membawa kunci inggris. Yang lebih parah itu, seorang remaja tanggung dengan samurai karatan.Seakan mereka di sana sedang menantikan sesuatu hingga menjelang tengah malam. Tak jelas untuk apa. Yang jelas, mereka baru bubar setelah ada pergerakan mobil patroli polisi dari arah bawah bukit.Sejatinya, mobil patroli itu hanya lewat saja hendak menuju satu pos di dekat kawasan Hutan Raya Muhammad Hatta. Tapi teta
Saat subuh, ketika ibu dari Dani datang membangunkan anaknya untuk salat, kebetulan pas HP anaknya itu berbunyi.“Woy, Dan! Subuh!”“Hm? Ntar dulu lah Bu.”“Ntar kapan? Tunggu masuk neraka dulu mau salat? HP-mu berbunyi terus tuh!”Baru di situ Dani meraih-raih HP-nya dan menjawab panggilan itu dengan mata masih terpicing.[Hey, apa kalian baik-baik saja? Kenapa sudah sekali menelepon kalian?]“Iya, sorry! Kami langsung tertidur kemarin. Ini juga dibangunin ibuku. Tak tahu juga, mungkin HP-nya tertindih bantal, jadi tak kedengaran.”[HP Bobby pun sudah tak bisa aku hubungi dari kemarin. Maaf aku mengganggu tidurmu. Aku hanya khawatir saja]“Cewekmu ya?” sela ibunya bertanya dengan suara lantang. “Giliran ditelepon cewek saja baru mau bangun. Sudah sana, salat dulu! Bangunkan juga si Bobby. Ga enak kalau ibu juga yang bangunin.”Dani pun akhirnya menutup telepon itu. Pada kenyataannya, memang Yusuf juga yang meneleponnya.“Kalau begini, Ibu jadi ragu apa kamu salat atau tidak waktu tin
Raut wajah Firman menjadi begitu serius, mulai menerka-nerka siapa orang yang sudah berbuat buruk padanya. Namun kemudian dia jadi kepikiran juga, satu peti tomat itu adalah tomat yang ditujukan pada Bu Mardiah.“Apa jangan-jangan sekarang Bu Mardiah pun sudah jadi target mereka juga?” gumamnya.“Apa maksud Da Firman?” tanya Bobby.“Haaiyh,” balas Firman mengeluh menghela nafas. “Uda khawatir ini ulah orang suruhannya Bu Harmoko. Memang kami sempat bermasalah dengan beliau. Pada hal yang bermasalah itu cuma Uda, lalu Agus, Fendi dan Ramlan. Tapi sekarang tomat yang Uda kirim untuk Bu Mardiah pun jadi sasaran,” gerutu Firman menyesalkan.Bobby merasa menjadi semakin risih saja, takut urusan itu jadi ke mana-mana. Dia tak bisa juga asal bicara saat ini pada Firman sebelum mendiskusikan dulu hal itu pada Yusuf.Karena itu juga, Bobby maksa saja untuk pamit pergi meninggalkan semua urusan itu pada Firman.“Maaf, Da Firman. Bukannya mau lari dari masalah ini. Tapi kami benar-benar harus se
Di kesempatan berikutnya, Yusuf sudah mulai menggunakan mobil barunya sendiri. Saat mobil itu lewat di jalan kampungnya itu, semua petani menyapa dengan antusias.Mereka nampak senang juga menyambut hal itu. Karena itu berarti Yusuf akan menekuni bisnis distribusi hasil pertanian itu seperti yang mereka harapkan, berharap itu akan menjadi solusi masalah mereka.“Mending kita jual panen kita pada orang kampung kita sendiri. Kalau pun di situ rezekinya, aku yakin itu akan baik juga untuk kampung kita.”“Ya, dari pada harus jual pada tauke-tauke besar dari kota itu. Mau saja dikibulin oleh orang-orang serakah seperti mereka.”“Beharap saja si Yusuf tak patah arang nanti. Bersaing dengan mereka tentu tak semudah membalikkan telapak tangan juga.”“Masalahnya, kalau nanti dia sukses dan menjadi orang besar, apa ada jaminan dia tak akan menjadi serakah juga seperti para pengusaha besar itu? Dari dulu sudah jadi rahasia umum juga. Kalau ga harta, tahta, ya wanita.”“Halah, bicaramu kaya’ para
Orang-orang itu berdiri saja di sebuah tempat yang lokasinya agak lebih tinggi dari panggung yang dijadikan tempat latihan randai itu. Setidaknya ada enam orang, rata-rata mengenakan jaket hitam dan kain sarung yang disalempangkan ke leher.Karena sibuk, tentu anak-anak itu asyik saja dengan kerjaan mereka. Yusuf tak juga mendatangi karena memang tak begitu kenal dekat.“Kenapa tak kamu samperin? Sepertinya mereka ada perlu,” ujar Bobby.“Ini kan kawasan panorama untuk umum. Ya biar saja. Kali saja mereka tertarik untuk lihat-lihat juga,” balas Yusuf.Pada akhirnya, setelah beberapa saat terabaikan, tiga dari enam orang itu turun dengan berteriak-teriak begitu lantang.“Apa yang kalian lakukan di tempat ini?”“Kalian pikir ini tempat bermain-main kalian?”Para remaja yang sibuk tadi langsung berhenti dari kesibukan mereka. Tak satu pun yang berani memberikan respon, kecuali Yusuf yang masih menggendong taufiq, datang menghampiri mereka diikut Bobby dari belakang.“Anak-anak ini akan l
Setelah salat berjamaah itu, mereka pun mulai mempersiapkan diri. Ada sebagian yang khusus untuk iringan musik, fokus mempersiapkan diri secara terpisah dari para pemeran pentasan randainya.Pak Ruslan hanya memberikan arahan sedikit saja untuk tema yang ingin dibawakan. Setelahnya dia biarkan saja para remaja itu mengkoordinasi diri mereka masing-masing.Bobby dan Dani hanya bermenung saja menopang dagu, dengan masing-masing segelas kopi yang mereka pesan dari pemilik warung yang sejatinya tak lagi buka. Lumayan juga bagi mereka berada di sana, sekadar ganti-ganti suasana.Hanya Rayna seorang yang agaknya terlewat antusias, menonton bersama Aisyah begitu dekat di atas panggung itu. Lagi pula, mereka hanya latihan tanpa ada sound system. Jadi kurang bisa juga dinitmati dari tribun penonton jika dialog pemain randainya saja tak terdengar.“Memang kalau ingin melestarikan budaya, tak cukup hanya dengan keterlibatan dari pelaku budaya saja. Respon dari masyarakat pun penting walau hanya
Dengan adanya laki-laki bernama Panjul itu, sekarang kesemua enam laki-laki yang tadi itu ikut turun. Tentu saja laki-laki bernama Panjul itu berada paling depan menghentikan latihan anak-anak randai itu.“Hey, hey! Apa yang kalian perbuat di sini? Siapa memberikan kalian izin menggunakan panggung ini?”Pementasan drama randai itu pun langsung berhenti. Musik talempong yang sedang ditabuh itu juga kembali sunyi.Anak-anak randai itu nampak gamang. Pasalnya guru mereka sedang tak ada di tempat. Untung masih ada Pak Salman yang merupakan wali jorong di tempat itu. Dia pun memberikan kode untuk para remaja itu untuk tetap tenang, dan berjalan menghampiri Panjul.“Apa salahnya mereka menggunakan panggung ini. Toh selama ini terbengkalai juga. Sudah bagus sekarang mereka merapikannya membuat tempat ini kembali menjadi layak untuk digunakan lagi,” terang Pak Salman.“Tak bisa begitu Pak Salman. Penggunaan properti di kawasan wisata panorama ini harus lewat prosedurnya juga. Apa sudah mengur
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na