Laki-laki itu berbalik setelah berhasil kembali bangkit. Namun tiba-tiba raut wajah Yusuf nampak berubah begitu melihat wajah laki-laki itu. Begitu juga dengan laki-laki bernama Panjul itu.“Panjul?”“Eh? Yusuf? Kapan kamu pulang?” tanya laki-laki itu.Yusuf pun langsung menghela nafas memasang tampang tak bersemangatnya. Laki-laki bernama Panjul itu nampak merasa tak enak dan mendekati Yusuf dengan tawa serba salahnya.“Itu istrimu?” tanyanya berbisik.“Iya, bisa-bisanya kau tak tahu.”Setelah itu Yusuf menyipitkan matanya pada pria bernama Panjul itu, nampak begitu tak senang. Meski begitu, suasananya sudah begitu jauh berubah seakan mereka sangat begitu akrab.“Kau? Jangan-jangan kau tak hadir saat pernikahanku?”Laki-laki itu pun kembali berbisik lebih dekat.“Aku sebenarnya baru keluar dari penjara beberapa minggu belakangan.”“Penjara?”“Iya, gara-gara main togel. Sudah dua kali juga keluar masuk.”“Kau ini. Masih saja tak berubah,” balas Yusuf membuang mukanya.Setelah itu, bar
Esoknya, untuk pertama kalinya Yusuf menggunakan mobil yang baru dia beli untuk mengangkut barang ke kota. Karena itu, dia memutuskan untuk ikut pergi bersama dua orang temannya itu.Barang-barang hasil panen sudah rampung dia kumpulkan. Bahkan melebihi permintaan. Sisanya dia tinggalkan di teras rumah. Barang kali bisa dia angkut nanti untuk pengiriman selanjutnya.Karena sekarang tak lagi diharuskan untuk mengembalikan mobil seperti sebelumnya, mereka tak juga buru-buru pergi. Tepat jam 8 malam mereka berangkat, dengan pertimbangan sampai di Pasar Raya tepat jam 10 malam.“Yah, maaf gara-gara aku ikut kalian tak bisa nginap dulu di rumah seperti sebelumnya,” ucap Yusuf.“Tak apa juga. Toh di rumah tak jelas juga mau apa,” balas Bobby.Namun Dani diam saja, nampak sibuk dengan HP-nya. Baru di situ Bobby tersenyum sedikit menahan tawa.“Ga tahu sih dengan si Dani,” ujar Bobby.“Kenapa, Dan?” tanya Yusuf.“Tak apa!”“Dia kemarin malam ribut dengan pacaranya lewat telepon,” sela Bobby m
Tahu masih ada tiga calon pelanggan datang, si tukang sate mulai sibuk mencari pinjaman bangku ke lapak temannya. Pasalnya, tak ada lagi bangku yang kosong. Sementara dia tahu kalau yang datang itu adalah pelanggan yang sering juga mampir di tempatnya. Akhirnya dia hanya bisa meminjam satu bangku dari penjual Skotang. Hanya Mahzar seorang yang dapat duduk, sementara dua orang anak buahnya terpaksa berdiri saja celingak-celinguk tak dapat tempat. Lagi-lagi, Mahzar melirik buruk ke arah Dani dan Bobby, nampak tak senang dua orang yang dia anggapnya kacung itu ikut duduk bersama dia dan yang lainnya. Dani dan Bobby yang sadar diri, terlihat hendak bangkit. Namun Yusuf langsung menepuk meja dengan pelan seakan memberi kode agar mereka tetap di situ. “Teruskan saja makan satenya,” seru Yusuf dengan datar. Baru di situ Mahzar mengalihkan lirikannya pada Yusuf, yang sampai saat ini masih tidak menyapa kedatangannya. Padahal Harmoko dan Firman saja menyempatkan bangkit dari duduk mereka s
Mahzar tak menyahut, hanya bisa menatap dengan dingin. Dia pun memerintahkan dua orang anak buahnya itu untuk ikutan pergi dari tempat itu.Yusuf kembali duduk dan melanjutkan memakan sate yang tadi sempat dihentikannya. Sementara Bobby dan Dani ijin pamit karena sudah ada juga kuli angkut pasar yang mendatangi mobil mereka.“Kami permisi dulu, Pak Harmoko, Da Firman,” ucap Bobby sedikit membungkukkan badan.Firman dan Pak Harmoko hanya mengangguk dengan sedikit senyum. Sementara Yusuf tetap bertahan di sana untuk menemani mertuanya itu. Setidaknya menjelang seluruh barang yang dia bawa itu selesai dibongkar semua.Sebelum jam setengah 11 malam, mereka pun sudah nyaris rampung membongkar muatan. Firman juga menyerahkan sebagian besar uang pembayaran untuk barang-barang Yusuf, serta bon utang dari Bu Mardiah untuk barang sebelumnya.“Ini Bu Mardiah lumayan banyak berjual-beli. Dia lunaskan yang kemarin, dan juga sekalian membayar barang yang masuk malam ini,” ucap Firman menyerahkan ua
Karena ada kemungkinan mereka akan kembali mengirim barang lagi, Yusuf pun kembali menyarankan Dani untuk beristirahat saja di rumahnya malam itu. Pikirnya, kalau jadi besok malam mereka kembali, dengan begitu Bobby bisa bergantian dengan Dani.Hingga dalam satu minggu itu, mereka melakukan pengiriman sebanyak lima kali. Sementara permintaan baru terus saja datang, membuat Yusuf semakin sibuk mencari persediaan barang.Di minggu berikutnya, dia sudah mulai semakin jauh mencari barang ke tempat lain. Bukan karena beberapa kawasan yang dia datangi sejauh ini sudah kehabisan stok. Dia hanya mencoba menjalin komunikasi dengan para petani, untuk membuka peluang akan kemungkinan berbisnis nantinya.Perasaan Rayna yang ditinggal di rumah juga mulai campur aduk, antara senang dan khawatir. Pasalnya, Yusuf sekarang sudah mulai menjadi tipe orang yang terlalu gila dengan kerjaan.“Apa baik jika kamu seperti ini terus?” tanya Rayna.“Kenapa?” tanya Yusuf.“Belakangan, sejak kamu membeli mobil ba
Sementara di dalam rumah, Rayna masih nampak cemberut dengan sikap Yusuf tadi yang begitu bersikeras tak menerima keberatannya tadi. Meski begitu, dia cukup bersyukur juga dengan kondisi usaha yang baru dijalankan oleh suaminya.Tentu dia sadar juga, terlalu cepat untuk berpuas diri. Karena mereka masih baru-baru mencoba dalam menggeluti bisnis itu. Kadang sering juga usaha yang terlihat begitu bagus di awal justru tak tak mampu bertahan lama.Sesaat Rayna mencoba mengalihkan perhatian ke Aisyah, berpikir untuk mengajaknya main ke luar.“Aisyah!” panggilnya.“Ya, Kak?” sahut Aisyah sedikit terhenti dan mengabaikan tugasnya.Mendapati Aisyah yang masih begitu khusyuk dengan tugas rumahnya itu, membuat Rayna tak jadi mengajaknya keluar.“Tak jadi. Lanjutkan saja dulu tugasnya,” seru Rayna.“Akak mau ajak main ke luar, ya?” balas Aisyah dengan memancing senyum.Rayna membalasnya dengan sedikit senyum, kemudian bangkit hendak menuju kamarnya.Dari pintu kamar dilihatnya Taufiq masih begit
Entah apa yang membebaninya. Rosdiana tak kunjung membuka suara. Hingga kemudian Rayna lebih dulu menyapanya, seakan dia tahu bahwa saat ini ibunyalah yang menelepon.[Ibu apa kabar?]Tiba-tiba mata Rosdiana berkaca-kaca ketika dia kembali mendengar suara anaknya itu. Namun dia masih tak kuasa untuk menjawab.Sejurus kemudian, perhatiannya terlalihkan oleh kemunculan Harmoko yang baru masuk bersama satu orang anak buahnya dari arah dapur. Dengan seketika Rosdiana menutup telepon itu dan mengalihkan wajahnya.Namun saat itu, kenyataannya Harmoko sempat menangkap ekspresi wajah istrinya tersebut. Cukup sadar juga dia kalau istrinya itu sejatinya rindu juga dengan Rayna.Harmoko tahu, istrinya itu tak pernah marah atau pun membenci Rayna. Karena selama ini, kebencian Rosdiana hanya tertuju pada Yusuf, bukan pada Rayna. Tapi dia tak juga berkata apa-apa pada Rosdiana, memilih melanjutkan kesibukannya di luar.Sesaat sampai di teras rumah sebelum menuju kandang truknya, giliran Harmoko yan
Harmoko nampak begitu sumringah, bergegas menghampiri cucunya yang saat ini tengah dalam gendongan Rayna. Begitu pun Rayna, nampak begitu haru dalam mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam.Cindy sendiri malah lebih memilih duduk saja di teras. Sepertinya dia ingin menikmati kesegaran udara itu lebih lama.“Aku mau di sini saja dulu. Sumpek sedari tadi berada di dalam mobil,” ucapnya.Harmoko masuk ke dalam rumah dan langsung dijamu oleh Aisyah untuk dipersilakan duduk. Memang hanya duduk di karpet tebal di lantai saja, karena tak ada juga sofa mewah di rumah itu.Saat Rosdiana menghampiri Rayna di teras, Rayna menyapa dan menyalami ibunya itu dengan begitu baik selayaknya seorang anak. Rosdiana menerima salam itu dengan datar, hanya dengan sedikit anggukan tanpa mengatakan apa-apa.Namun melihat Taufiq yang begitu lucunya mengulurkan kedua tangan ke arah neneknya itu, mau tak mau Rosdiana luluh juga dan memasang wajah sumringahnya. Dia pun meniman-nimang Taufiq dengan penuh keceria
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na