Saat ini, Yusuf pun baru sampai di tepi ladang hendak masuk ke perkarangan rumahnya. Mak Sannah langsung menegakkan kepala menoleh ke arah jendela begitu mendengar suara motor tersebut. Dia langsung bergegas bangkit, dan kemudian berdiri menanti di pintu rumah.Yusuf menangkap kegundahan dari raut wajah ibunya itu. Namun dia mencoba untuk mengabaikan sebentar dan memarkir motor tersebut.Tiba-tiba Aisyah keluar dari rumah bersama Rayna yang menggendong bayinya . Mereka nampak ceria seperti sudah lama menantikan kedatangan Yusuf. Atau lebih tepatnya, menantikan motor matic yang biasa dipakai Aisyah ke sekolah.“Akhirnya,” ujar Aisyah. “Kok lama sekali Abang pakai motornya? kan tadi cuma bilang sebentar.”“Semangat begitu, emangnya kalian mau ke mana?” tanya Yusuf datar.“Kan hari balai sekarang, Bang. Kak Rayna minta diajak main ke pasar,” jelas Aisyah.“Boleh, kan?” sela Rayna singkat, bertanya dengan wajah nampak bersemengat.Yusuf mengangguk pelan dengan senyuman, dan menyerahkan k
Laki-laki dengan jenggot tipis nan rapi itu mondar-mandir di kamarnya, tampak tak sabaran dengan peluang yang ada di depan mata. Dia terus memikirkan ke mana bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam lima hari. Rendy tak terlihat seperti orang kepepet. Justru saat ini dia seperti seseorang yang menantikan durian jatuh, nampak tak sabaran untuk segera menebus tanah itu sebelum Yusuf berubah pikiran. Tak kunjung dapat ide, dia pun melakukan panggilan, menghubungi seseorang untuk berkonsultasi. “Bram, kamu ada di rumah sekarang?” [Hmm? Ya!] “Jam segini masih tidur? Hey, aku akan ke tempatmu saat ini.” [Sepagi ini?] Rendy langsung saja memutuskan panggilan itu dan meraih kunci motornya. Dia mengeluarkan motor, menyempatkan diri sesaat masuk kembali ke rumah sebelah, dan kemudian cabut tanpa berkata apa-apa. Tak lama setelah itu, Mila langsung sibuk mengumpulkan barang-barang pribadi miliknya. Dia sempat terhenti sesaat hendak mengumpulkan peralatan rias dan kosmetiknya. Namun akhir
Rendy mendirikan motor itu, dan para pemuda itu membuka jalan, memberi ruang untuknya pergi. Namun Rendy menyempatkan sesaat berbicara pada Yusuf. “Perihal tanah itu, tak bisakah kau memberiku waktu lebih lama?” pintanya. Namun Yusuf diam saja menatapnya begitu dingin, tak satu pun jawaban yang keluar dari mulutnya. Rendy pun nampak kesal, sadar bahwa dia telah salah dalam membaca situasi. Akhirnya, dia pun mengengkol motor itu tanpa menjauhkan pandangannya dari Yusuf, sama sekali tak menyembunyikan kebenciannya. “Terserah kau, selama kau masih cukup jantan untuk tidak menarik kata-katamu tadi pagi. Jika tidak, ganti saja celanamu itu dengan rok perempuan,” ucap Rendy sebelum pergi dari tempat itu. Sejatinya Yusuf masih tak bisa melupakan apa yang telah diperbuat oleh Rendy padanya. Lagi pula, dia merasa tak ada sedikit pun kesan bahwa Rendy akan merubah sikapnya. Hanya karena amanah dari ayahnya, Yusuf biarkan Rendy membantu Mak Leni untuk menebus tanah tersebut. Setelah itu, Yu
Laki-laki bernama Bram itu masih saja menggeleng-geleng kepala, dengan sedikit celetuk tawa. Dia seakan meremehkan atau malah memandang rendah Rendy.Tentu saja, hal itu sedikit membuat Rendy tersinggung dan kesal. “Apa-apaan reaksimu itu? Tak usah sok suci kau. Aku tahu, dari sekian banyak kau mengurus urusan tanah orang sebagai notaris, sekali dua kali kau pun pasti pernah berbuat culas,” ujar Rendy dingin.Namun temannya yang bernama Bram itu masih saja tertawa enteng. “Bukan itu yang aku tertawakan,” balasnya.“Apa maksudmu?” tanya Rendy serius.“Sebelumnya aku ingin tanya, apa latar belakang pendidikan dari orang yang bernama Yusuf itu?” ujar Bram.“Setahuku dia seorang sarjana, tak tahu jurusan apa. Setelah itu dia sempat bekerja dengan mertuanya yang seorang pengusaha distributor hasil pertanian,” terang Rendy.“Dan kau berpikir ingin mengacanginya?” tanya temannya itu dengan raut wajah meremehkan. “Lupakan saja. Jelas dia lebih pintar darimu. Aku bisa pastikan itu.”Setelah it
Hari berikutnya, di suatu pagi menjelang siang, perhatian Yusuf yang sedang menanam bibit kentang teralihkan oleh aroma masakan dari arah rumahnya. Sudah biasanya dia tak makan pagi, dan baru akan makan ketika sudah zuhur. Namun kuatnya aroma “samba balado” khas buatan ibunya itu memancing seleranya. Aroma khas dari gorengan ikan teri basah dan biji petai pun sama kuatnya. Meski Yusuf ingin meneruskan penanaman bibit kentang itu hingga tuntas, namun air liurnya tak henti menggenang di rongga mulut. Sesaat sebelum masuk waktu zuhur, dia pun memilih untuk menghentikan pekerjaan. Gambaran telur puyuh berendam dalam semua aroma yang tadi diciumnya itu sekarang memenuhi isi kepala Yusuf. Hanya saja... “Eh, masakannya mau dibawa ke mana, Mak?” tanya Yusuf, dengan raut wajah sedikit kecewa. Saat ini, Yusuf melihat semua masakan yang dibuat ibunya itu, sekarang sudah dimasukkan ke dalam beberapa rantang. Ada gorengan ikan tongkol dengan sambal lado, gulai pangek masin, dan goreng telur bu
Kamar itu cukup gelap, karena jendela dan gordennya pun belum terbuka sejak pagi. Dia mengurung diri di sana, duduk bersandar di balik pintu sembari memagut kedua lutut. Pikirannya kalut, serba salah dan merasa tidak nyaman. “Apa lagi yang dicarinya ke sini?” gumamnya membatin menggigit-gigit ujung kuku jempolnya. Namun Mila tak bisa juga menyalahkan Yusuf datang bersilaturahmi ke rumah bako. Memang sudah seharusnya juga Yusuf datang mengunjungi Ande-nya itu setelah lama tak pulang. Dia terus saja menggigit-gigit ujung kukunya itu karena kesal dan rasa tak nyamannya. Hingga tiba-tiba suara Yusuf terdengar dari ruang tengah memancing perhatiannya. “Ini anak-anaknya Mila ya, Nde? Sudah besar-besar ya,” tutur Yusuf. “Iya, ini yang bungsu namanya Ridwan. Sementara kakaknya Adi, sudah masuk sekolah tahun ini,” terang Mak Leni. “Orang tuanya mana, Ande?” tiba-tiba Rayna bertanya dengan polosnya, sebuah pertanyaan yang sejatinya ingin dihindari oleh Mak Leni maupun Yusuf. “Papa belum p
Kening Rendy berkerut. Pada hal sudah berkali-kali juga dia mencoba mengingatkan dirinya untuk menahan diri menjelang bisa menebus tanah itu. Namun tetap saja, emosinya selalu memuncak setiap kali melihat wajah Yusuf.“Apa lagi yang kau inginkan? Ini urusan keluargaku, tak ada hubungannya denganmu. Minggir!” bentaknya, mencoba mendorong Yusuf ke samping.Namun dia hanya bisa membuat tubuh Yusuh sedikit bergerak ke kanan. Sementara Yusuf bergeming di sana, tak sedikit pun kedua kakinya beranjak dari tempat itu.Tentu saja hal itu membuat kerutan di kening Rendy semakin menebal dengan tatapan binar yang mulai sedikit berair karena amarah. Namun tak sempat dia kembali membentak, Yusuf mendorongnya begitu kasar hingga Rendy terhuyung cukup jauh ke luar dari batas teras rumah.Rendy pun emosi dan menggulung lengan bajunya. “Pant*k! Mau cari lawan lagi kau! Hah?!”Namun Yusuf bergerak cepat dan kembali mendorong dadanya dengan sedikit mengganggu keseimbangan di kaki kiri Rendy. Rendy tak si
Mila tahu keributan ini karena keangkuhan suaminya menghina Yusuf dan keluarganya di warung orang. Dia juga sadar, ini masih merupakan sisa-sisa konflik sejak mereka SMA. Namun sekarang dia merasa menjadi satu-satunya orang yang paling digencet habis-habisan oleh konflik tersebut. Jelas dia tak bisa lagi memihak pada suaminya. Bayangan akan wajah geram si suami yang hampir memukul ibunya yang sudah tua itu tak kunjung hilang dari benaknya. Begitu juga saat suaminya itu menggamparnya begitu sadis di depan kedua anak mereka. Tak mungkin lagi baginya untuk kembali pada Rendy. Sebagai wanita yang lemah, dia hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya. Hingga kemudian, tangisannya yang lirih itu terhenti begitu ada yang mengetuk pintu dengan pelan. “Mila!” panggil ibunya berbisik lirih dari balik pintu. Mila pun bersegera menyembunyikan tangisnya, merapikan pakaian dan nampak bersiap-siap untuk membukakan pintu. “Mila! Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Mak Leni lagi penuh kekhawatiran. “
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na