Hari berikutnya, di suatu pagi menjelang siang, perhatian Yusuf yang sedang menanam bibit kentang teralihkan oleh aroma masakan dari arah rumahnya. Sudah biasanya dia tak makan pagi, dan baru akan makan ketika sudah zuhur. Namun kuatnya aroma “samba balado” khas buatan ibunya itu memancing seleranya. Aroma khas dari gorengan ikan teri basah dan biji petai pun sama kuatnya. Meski Yusuf ingin meneruskan penanaman bibit kentang itu hingga tuntas, namun air liurnya tak henti menggenang di rongga mulut. Sesaat sebelum masuk waktu zuhur, dia pun memilih untuk menghentikan pekerjaan. Gambaran telur puyuh berendam dalam semua aroma yang tadi diciumnya itu sekarang memenuhi isi kepala Yusuf. Hanya saja... “Eh, masakannya mau dibawa ke mana, Mak?” tanya Yusuf, dengan raut wajah sedikit kecewa. Saat ini, Yusuf melihat semua masakan yang dibuat ibunya itu, sekarang sudah dimasukkan ke dalam beberapa rantang. Ada gorengan ikan tongkol dengan sambal lado, gulai pangek masin, dan goreng telur bu
Kamar itu cukup gelap, karena jendela dan gordennya pun belum terbuka sejak pagi. Dia mengurung diri di sana, duduk bersandar di balik pintu sembari memagut kedua lutut. Pikirannya kalut, serba salah dan merasa tidak nyaman. “Apa lagi yang dicarinya ke sini?” gumamnya membatin menggigit-gigit ujung kuku jempolnya. Namun Mila tak bisa juga menyalahkan Yusuf datang bersilaturahmi ke rumah bako. Memang sudah seharusnya juga Yusuf datang mengunjungi Ande-nya itu setelah lama tak pulang. Dia terus saja menggigit-gigit ujung kukunya itu karena kesal dan rasa tak nyamannya. Hingga tiba-tiba suara Yusuf terdengar dari ruang tengah memancing perhatiannya. “Ini anak-anaknya Mila ya, Nde? Sudah besar-besar ya,” tutur Yusuf. “Iya, ini yang bungsu namanya Ridwan. Sementara kakaknya Adi, sudah masuk sekolah tahun ini,” terang Mak Leni. “Orang tuanya mana, Ande?” tiba-tiba Rayna bertanya dengan polosnya, sebuah pertanyaan yang sejatinya ingin dihindari oleh Mak Leni maupun Yusuf. “Papa belum p
Kening Rendy berkerut. Pada hal sudah berkali-kali juga dia mencoba mengingatkan dirinya untuk menahan diri menjelang bisa menebus tanah itu. Namun tetap saja, emosinya selalu memuncak setiap kali melihat wajah Yusuf.“Apa lagi yang kau inginkan? Ini urusan keluargaku, tak ada hubungannya denganmu. Minggir!” bentaknya, mencoba mendorong Yusuf ke samping.Namun dia hanya bisa membuat tubuh Yusuh sedikit bergerak ke kanan. Sementara Yusuf bergeming di sana, tak sedikit pun kedua kakinya beranjak dari tempat itu.Tentu saja hal itu membuat kerutan di kening Rendy semakin menebal dengan tatapan binar yang mulai sedikit berair karena amarah. Namun tak sempat dia kembali membentak, Yusuf mendorongnya begitu kasar hingga Rendy terhuyung cukup jauh ke luar dari batas teras rumah.Rendy pun emosi dan menggulung lengan bajunya. “Pant*k! Mau cari lawan lagi kau! Hah?!”Namun Yusuf bergerak cepat dan kembali mendorong dadanya dengan sedikit mengganggu keseimbangan di kaki kiri Rendy. Rendy tak si
Mila tahu keributan ini karena keangkuhan suaminya menghina Yusuf dan keluarganya di warung orang. Dia juga sadar, ini masih merupakan sisa-sisa konflik sejak mereka SMA. Namun sekarang dia merasa menjadi satu-satunya orang yang paling digencet habis-habisan oleh konflik tersebut. Jelas dia tak bisa lagi memihak pada suaminya. Bayangan akan wajah geram si suami yang hampir memukul ibunya yang sudah tua itu tak kunjung hilang dari benaknya. Begitu juga saat suaminya itu menggamparnya begitu sadis di depan kedua anak mereka. Tak mungkin lagi baginya untuk kembali pada Rendy. Sebagai wanita yang lemah, dia hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya. Hingga kemudian, tangisannya yang lirih itu terhenti begitu ada yang mengetuk pintu dengan pelan. “Mila!” panggil ibunya berbisik lirih dari balik pintu. Mila pun bersegera menyembunyikan tangisnya, merapikan pakaian dan nampak bersiap-siap untuk membukakan pintu. “Mila! Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Mak Leni lagi penuh kekhawatiran. “
Sikap Bobby yang mengabaikan HP itu berdering terlalu lama, memancing perhatian dari Dani yang kebetulan datang berkunjung ke rumahnya.“Dilihat dari reaksimu, aku tahu itu dari Yusuf. Kenapa kamu tidak mau mengangkatnya?” tanya Dani.“Aku tahu maksud dia tiba-tiba menelepon. Tapi aku tak tahu harus berkata apa nanti jika ditanya soal ini,” balas Bobby.Kenyataannya, tak lama setelah mengantarkan Yusuf pulang ke kampung, dua kali Bobby menjadi korban tindak kekerasan.Pertama kali tepat setelah dia mengantarkan Yusuf pulang ke kampungnya. Tak jelas siapa yang menghadangnya di tengah jalan. Namun mobil kijang milik bapaknya itu rusak parah oleh tindakan vandalisme dari sekelompok orang tak dikenal. Yang jelas, mereka meninggalkan ancaman untuk tidak lagi mendekati rumah Bu Harmoko.Kedua kalinya, beberapa hari yang lalu, setelah Pak Harmoko mencoba menghubungi dan menanyakan kabar, serta memintanya kembali bekerja. Malamnya Bobby kembali dicegat oleh beberapa orang tak dikenal dengan w
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Di saat mereka susah, mereka akan bersabar dan itu baik baginya. Di saat mereka senang, mereka akan bersyukur dan itu juga baik baginya Namun sebaliknya, ada sebagian orang menampilkan sisi buruknya di saat terjepit di bawah. Ada juga sebagian lagi yang justru memperlihatkan sisi buruknya di saat sedang berada di atas. Dan yang terburuk dari itu semua, adalah dia yang selalu memperlihatkan sisi buruknya, entah itu di saat susah atau pun senang. Di hari kelima sejak peringatan yang ditinggalkan Yusuf, pada akhirnya Rendy berhasil mengumpulkan dana sebanyak Rp. 270 juta tersebut. Entah dari mana saja dia berhasil mengumpulkan sebanyak itu. Yang jelas, hari jum’at itu dia memutuskan untuk pulang lebih cepat agar bisa bersegera menebus tanah milik Yusuf. “Mila! Apa kau masih tetap akan berdiam diri di rumah ibumu itu!” bentaknya berteriak dari pintu rumahnya. Mila diam saja di kamarnya. Sementara itu, Mak Leni sibuk di ladang sembari mengawas
Jidat Rendy langsung berkerut, merasa kalau saat ini Yusuf sedang mencoba mempermainkannya. Meski saat ini Yusuf memasang wajah bingungnya, dia yakin betul Yusuf berpura-pura bertampang tak berdosa, pada hal sengaja mencari gara-gara dengannya. “Tak usah berbelit kau?! Kenapa tak berterus terang saja, apa yang kau inginkan dariku. Kalau kau masih tak puas dengan kejadian minggu kemarin...” “Tunggu dulu, Ren!” Bram segera memotong agar Rendy tidak asal merusak urusan mereka dengan pihak Yusuf. Namun Rendy masih saja mencoba membentak Yusuf. “Bukan kah kau sendiri yang menawarkan padaku, bahwa kau meminta 270 juta untuk tanah itu?” Yusuf mengangkat satu alisnya, dengan raut wajah kebingungan. Jelas-jelas dia tak pernah menawarkan untuk menjual tanah itu pada dirinya. “Kapan aku berkata meminta 270 juta untuk tanah itu? Aku tidak pernah menawarkan menjual tanah itu padamu. Aku katakan, sediakan 270 juta dalam lima hari jika tidak ingin aku gusur.” Rendy pun menjadi naik pitam merasa
Namun Bram yakin masih ada ruang bagi mereka untuk bisa merampungkan deal penebusan tanah itu. Bagaimanapun juga, mereka sudah terlanjur berutang yang tentunya akan terbebani oleh bunganya.“Dengar! Kita belum sepenuhnya selesai di sini. Meski dia hanya menawarkan sebagian tanah tempat kau mendirikan rumah, kau tetap tak boleh melepas tanah itu. Kau akan rugi besar. Tak hanya tanah itu, tapi juga uang 270 juta ini yang harus dikembalikan dengan bunganya,” jelasnya berbisik.“Lalu apa yang bisa aku lakukan sekarang? Toh dia tak juga mau menjualnya padaku,” balas Rendy lirih menahan suaranya.“Memang sedari awal tawaran menebus tanah itu ditujukan pada orang yang terikat dengan Perjanjian Pegang-Gadai itu. Kau hanya perlu meminta mertuamu untuk menebus tanah ini dengan uang yang sudah kita kumpulkan. Dengan begitu kau tak akan kehilangan rumahmu. Setelah itu, kau hanya perlu mencicil utang ke bank. Itu masih lebih baik dari pada kau kehilangan semuanya,” jelas Bram.Sadar bahwa itu satu
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na