Namun Bram yakin masih ada ruang bagi mereka untuk bisa merampungkan deal penebusan tanah itu. Bagaimanapun juga, mereka sudah terlanjur berutang yang tentunya akan terbebani oleh bunganya.“Dengar! Kita belum sepenuhnya selesai di sini. Meski dia hanya menawarkan sebagian tanah tempat kau mendirikan rumah, kau tetap tak boleh melepas tanah itu. Kau akan rugi besar. Tak hanya tanah itu, tapi juga uang 270 juta ini yang harus dikembalikan dengan bunganya,” jelasnya berbisik.“Lalu apa yang bisa aku lakukan sekarang? Toh dia tak juga mau menjualnya padaku,” balas Rendy lirih menahan suaranya.“Memang sedari awal tawaran menebus tanah itu ditujukan pada orang yang terikat dengan Perjanjian Pegang-Gadai itu. Kau hanya perlu meminta mertuamu untuk menebus tanah ini dengan uang yang sudah kita kumpulkan. Dengan begitu kau tak akan kehilangan rumahmu. Setelah itu, kau hanya perlu mencicil utang ke bank. Itu masih lebih baik dari pada kau kehilangan semuanya,” jelas Bram.Sadar bahwa itu satu
Sebagai orang yang berpendidikan, Bram tahu sikap Budi itu sesuatu yang benar. Tapi tetap saja dia menjadi kesal, kenapa juga tiba-tiba ada orang bersikap sok bijak seperti itu di saat dia sedang kepepet.“Kalau gitu, kenapa kau tak ikut saja sekalian?” balas Bram ketus nampak tak senang.Namun Budi masih nampak tak percaya. Pikirnya itu terlalu beresiko. Bisa saja mereka berdua nanti diapa-apakan di atas mobil.“Kalau mau ke rumah Yusuf, biar aku antar saja, Mak!” tawarnya, menatap penuh curiga ke arah Bram, dan kemudian bersegera kembali ke rumahnya.Tak menunggu lama, Budi kembali dengan matic-nya. Mak Leni menjauh dari mobil tersebut dan menghampiri anak laki-laki dari Bu Widi itu.“Terima kasih, Bud!” bisik Mak Leni lirih saat menghampirinya.Pergi lah keduanya menuju ke rumah Yusuf, dengan Bram terus mengikut dari belakang. Ketika mereka sampai di rumah Yusuf, Bram memaksa Budi untuk menjauh dan menunggu saja di motornya.“Ini urusan serius yang sifatnya tertutup. Kau tunggu saj
Memang kata orang sesal kemudian tiada gunanya. Kadang itu juga alasan kenapa sebagian orang tak kunjung mau menyesali kesalahan yang sudah terjadi. Karena sudah tak ada gunanya untuk disesali. Rendy terdiam di sana, melihat Bram langsung pergi mengabaikannya. Namun begitu, dari kebengisan dan kegeraman yang tergambar di wajahnya, tak sedikit pun terlihat dirinya diliputi penyesalan. Pada akhirnya, Rendy memilih untuk kembali ke rumahnya. Tentu saja sekarang rumah itu tak bisa dikatakan lagi sebagai miliknya. Tanah bukan dia yang punya. Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pun tak pernah diurus. Sementara itu, Mila dan kedua anaknya memilih berdiam diri di rumah Bu Widi. Dia merasa takut sejak ditinggal Mak Leni, khawatir kalau-kalau Rendy kembali lebih dulu saat ibunya itu belum pulang. Hingga tiba-tiba... “Bu, itu Papa sudah...” Mila kaget dan langsung menutup mulut Ridwan, anaknya yang paling kecil itu, dan bergegas masuk ke rumah Bu Widi.
Selemah-lemah kucing yang terjepit, dia pasti akan melawan jika terus dipojokkan. Minimal dia akan mengeong balik meski tidak sekuat auman singa.Begitu juga dengan orang-orang desa itu. Mungkin sebagian dari mereka hanya bisa memelas di saat negosiasi harga. Mungkin juga sebagian petani tomat itu hanya bisa menunjukkan protes mereka dengan menelantarkan tomat di pinggiran jalan raya.Namun sebagian dari mereka tentu tak akan tinggal diam. Terutama mereka-mereka yang berjiwa muda, yang tak begitu berpikir panjang, dan sering didorong oleh bawaan emosi sesaat.“Men, Men! Tutup kacanya, Men!”“Kenapa emang?”“Sudah, cepat tutup kaca jendelanya! Lihat tuh!”Menyadari adanya segerombolan remaja tanggung di sebuah pinggir ladang yang posisinya agak tinggi dari jalan raya, laki-laki bernama Harmen itu segera menaikkan kaca jendela truk.Para remaja tanggung itu beramai-ramai meneriaki dan melempar tomat-tomat busuk dari ladang ke arah truk yang lewat.“Mampus saja lo sana, dasar touke setan
Sore itu setelah waktu ashar, Yusuf terlihat duduk di teras, dengan punggung lurus nampak serius, seperti tak sabar menantikan sesuatu. Baru juga Rayna keluar hendak bertanya, Yusuf langsung bangkit setelah menyadari kedatangan satu truk.Truk yang sangat familiar bagi mereka, membuat Rayna penasaran sehingga tak jadi menegur suaminya itu. Tak jelas juga apa yang diharapkan Rayna, tapi tak satu pun yang turun dari truk tersebut.“Aku pergi dulu ya,” ucap Yusuf sembari mengusap kepala Rayna sebelum menuju motor maticnya.“Mau ke mana, Yang?” tanya Rayna.“Mau ke tempat Mak Leni. Aku bantu beliau untuk menjual kentangnya, karena sudah dipanen juga dua hari yang lalu,” jelas Yusuf.Rayna pun langsung nampak risih. Bukan dia khawatir suaminya itu bakalan kembali dapat masalah. Hanya saja, dia selalu terpikirkan soal sosok Mila setiap kali suaminya itu berurusan dengan Mak Leni.“Aku boleh ikut?” tanya Rayna.“Kamu di sini saja. Sudah terlalu sore. Aku khawatir ini bakalan lama. Ada kemung
David cukup tahu juga. Meski selama ini Yusuf sering direndahkan di keluarga mertuanya, tapi Pak Harmoko cukup percaya padanya. Dan benar saja, dia langsung mendapatkan panggilan sebelum truk itu sempat meninggalkan perkarangan rumah Mak Leni. Raut wajah David nampak sedikit panik, khawatir kalau Yusuf mengadukan kecurigaan itu pada Harmoko. “Ya, Yah?” sahut David menjawab panggilan tersebut. [David, segera angkut saja kentang-kentang itu. Jangan lupa kalau kamu masih harus menuju Taluk Dalam setelah ini. Bisa-bisa kamu kemalaman nanti untuk memuat tomat di ladang orang] David pun terlihat sedikit lega. Sepertinya Yusuf sama sekali tidak membahas masalah kecurigaannya itu pada Harmoko. Tapi tetap saja David kembali memasang wajah kesalnya, menatap dingin ke arah Yusuf yang masih menantikannya di depan rumah Mak Leni. “Tapi, Yah! Dia tak mau menimbang ulang kentangnya. Bagaimana juga aku bisa...” [Sudah, jangan buang-buang waktu lagi. Aku sudah menyelesaikan semua negosiasi soal k
Yusuf berusaha mengatur nafasnya, mencoba mengabaikan perih luka di bagian perut itu sebisa mungkin agar tidak terlalu panik. Dia pun segera mengeluarkan HP dari sakunya dan melakukan panggilan. “Budi, apa kau ada di rumah saat ini? “Bisa tolong aku? Aku sedang dalam masalah di jalan. Sekitar 500 meter dari rumahmu.” Setelah itu Yusuf terus saja berbaring di tempat itu. Dia tak tahu seberapa parah lukanya, namun tak juga ingin mengambil resiko untuk memeriksanya. Hanya ketika dia sudah mendengar suara motor di kejauhan, Yusuf bangkit dan mencoba mengintip luka di bagi kiri perutnya itu. Sebagian kain sarung itu sudah basah oleh darah, tapi Yusuf masih belum bisa memastikan seberapa parah lukanya. “Kenapa, Bang? Jatuh dari motor?” tanya Budi. “Kok bisa jatuh, Bang?” Eri yang juga ikut dengan Budi ikut bertanya dan segera turun dari motor. Yusuf mencoba menyembunyikan lukanya dengan tetap memegangi kain sarung itu di bagian perut. Eri pun nampak bingung karena sama sekali tak ada
Saat Rayna sibuk mencoba menghubungi suaminya itu, HP Yusuf yang terlantar di pinggir jalan juga terus berdering tanpa ada yang mengangkat. Hingga kemudian rinai hujan perlahan turun meski tak juga lebat. Cukup sering juga kawasan ini mendapati rinai hujan yang begitu halus dan ringan diterbangkan angin.Tak lama setelah itu, Rayna tak bisa lagi menhubungi nomor suaminya itu. Sontak saja dia menjadi begitu geram. Alih-alih khawatir, sekarang dia merasa begitu kecewa dan kesal.Saat Rayna mencoba mengatur nafasnya yang sudah mulai dipengaruhi oleh rasa kesal, Aisyah juga malah sibuk dengan HP miliknya. Rayna menyadari kalau adik iparnya itu mendapatkan panggilan telepon beberapa kali yang selalu ditolaknya.“Siapa itu, Aisyah?” tanya Rayna penasaran.“Bukan siapa-siapa, Kak. Cuma cowok di sekolah, ngotot kali mau menghubungi Aisyah,” jelas adik iparnya itu memasang wajah cueknya.Rayna pun mengerutkan dahinya dengan sedikit senyuman pangling, cukup tahu juga kenapa Aisyah selalu menola
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na