PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 28POV ARUMMata semua orang kini tertuju padaku. Aku hanya memberi jalan tengah bukan? Memberi bantuan kepada mereka yang tengah membutuhkan bantuan ku. Apa salahnya jika aku meminjamkan uang kepada mereka dengan meminta jaminan. Aku tidak mau rugi untuk kedua kalinya. Aku sudah terlalu hafal watak Agus dan juga Rani.Aku hanya tidak ingin uang yang aku kumpulkan susah payah dengan berjualan harus di ikhlaskan begitu saja. Apa kalian tidak tahu bagaimana lelahnya berjualan? Memasak, mencuci piring kotor belum lagi membersihkan tempatnya yang harus nyaman setiap saat. Jika berjualan bukan hanya keringat yang dikeluarkan namun juga otak. Kita harus bisa memutar kembali uang yang kadang hanya pas untuk belanja esok hari."Gimana Gus?" tanyaku pada lelaki yang tengah memijat pelipisnya. Entah mengapa ada keraguan jelas terlihat. "Mbak Arum ini mau minta apa sih jaminannya?" Kini giliran Rani yang berbicara."Terserah kamu. Kalau tidak mau ak
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 29"Mbak Arum, Siti mau bicara sesuatu.""Bicara apa, Sit? Ngomong saja, aku dengarkan kok!""A-anu Mbak. Siti …."***"Biar aku bantu bicara, Sit. Mbak Siti ini ada keperluan mendadak. Dia mau pinjam uang sama Mbak Arum, dua juta. Bisa apa nggak Mbak Arum?" Terdengar Tini yang kini berbicara. Entah mengapa mereka berdua ini membuatku penasaran saja. Dua juta, kebetulan sekali di rekening tinggal dua juta. Itu pegangan selama aku belum jualan. Karena Tini dan juga Siti adalah karyawan ku yang baik, maka aku akan membantu."Keperluan apa?" tanyaku, tatapanku kini beralih pada Siti."Mau buat bayar adik sekolah, Mbak. Nanti saya ganti segera. Atau Mbak Arum bisa potong gaji.""Ya sudah, nanti saya ambilkan dulu ya di ATM.""Alhamdulilah, terima kasih banyak, Mbak Arum." Siti terlihat menangkupkan kedua tangannya pada wajah bundarnya. Jelas terlihat rona bahagia di sana."Kalau begitu kalian selesaikan ini semua ya, jangan lupa kamu nanti bel
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 30Suara gaduh kembali mencuri perhatianku. Aku kembali menoleh ke arah Rani. Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Agus tengah menyeret koper dengan menggendong Khaila. "Ada apa ini?" Mas Bayu bertanya lebih dahulu.***Aku mengarahkan pandanganku kepada Agus. "Ada yang ingin saya bicarakan, Mas," ucap Agus. Dalam hatiku bertanya-tanya, ada apa gerangan? Apakah mereka akan tinggal di sini? Ada apa dengan koper-koper itu?Mas Bayu terlihat berjalan menuju ruang tamu, sedangkan Khaila berganti gendongan dengan Rani. Entah apa yang mereka bicarakan, aku begitu penasaran. Membuatku berjalan mengikuti Mas Bayu dari belakang."Mau bicara apa, Gus? Kenapa kalian membawa koper?" tanya Mas Bayu, matanya menatap Rani yang tengah datang menghampiri. Beruntung khaila tidak rewel, dia hanya diam sembari tangannya terus memainkan boneka Barbie."Kemarin yang punya kontrakan menagih uang sewa ke rumah." Agus memberi jeda pada ucapannya."Aku ngga
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 31"Siapa dia Rum? Adik iparmu?" tanya Emak membuatku sedikit sungkan. Karena jelas, Rani tidak menunjukan sikap ramah."I-iya, Mak.""Sekarang dia tinggal di sini lagi?""I-iya Mak. Sudah ayo, keburu siang."****"Ini warungmu, Rum?" tanya Emak ketika tiba di warung. Kaki keriput itu hendak melangkah, kedua mata Emak memperhatikan sekeliling. Banyak pelanggan yang tengah membeli makanan maupun hendak membayar pesanan. "Alhamdulilah, rame.""Iya, Rum. Alhamdulilah, rame. Boleh dong Emak dan juga Mbak makan di sini?" sahut Mbak Ratih dengan tawa menggelitik."Tentu saja, boleh. Silahkan ambil sendiri, mbak. Tinggal pilih mau makan sama lauk apa? Gratis.""Itu yang paling aku suka Arum, gratis!" Mbak Ratih tertawa sembari tangannya menutup mulut."Sudah bisa ditebak.""Aku mau cari rokok dulu, ya Sayang." Kakak iparku itu memang sedikit irit bicara. Terbukti sepanjang perjalanan tidak pernah aku dapati dia mengeluarkan kata-kata."Iya, Sayan
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 32"Ya Allah, Mbak. Kamu ini benar-benar keterlaluan! Mas Bayu kamu tahu tidak, dia meminta uang makan dan juga uang biaya tinggal di sini. Dan sekarang dia minta uang buat ngasih Khaila, bukankah itu keterlaluan?" beber Rani, pandangan semua orang kini tertuju pada Mas Bayu. "...."***POV Saraswati"Alhamdulilah, jika Agus sama Rani mau kembali tinggal di rumah ini. Aku yakin mereka berniat merawtku," gumamku pelan. Setelah mendengar ucapan mereka yang cukup keras. Maklum, kamar tidurku dengan kamar tamu tidak terlalu jauh. Jika mereka berbicara keras aku mampu mendengarnya dari sini.Namun ketika aku mendengar alasan Agus kenapa mereka kembali kerumah ini membuatku sedikit kecewa. Ya, mereka pindah ke rumahku karena keterbatasan uang. Mereka tidak bisa membayar kontrakan. Padahal aku sudah berharap banyak mereka mau merawat ku.Sudah cukup lama, Rani dan juga Agus terdengar suaranya di sini. Entah mengapa mereka juga belum datang ke k
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 33Aku tersenyum lebar ketika pintu kamar terbuka. Akhirnya Rani maupun Agus datang ke kamarku. Membantuku memapah berjalan menuju meja makan. Padahal mereka sudah aku tunggu sejak kemarin.Namun senyumku sirna seketika. Setelah harapanku berbeda dengan kenyataan yang ada."Kemana Agus dan Rani? Aku tadi memanggil mereka bukan …."****POV Arum"Mereka lagi sarapan, Bu. Ibu mau apa? Mau ke kamar mandi?" tanya Mas Bayu, terdengar hingga ke meja makan. Rani dan juga Agus tidak ada yang mau datang ke kamar Ibu. Katanya tidak bisa membantu, terlanjur berpakaian rapi. Padahal jika mereka memang ada niat baik, sudah ia lakukan sebelum mereka bersiap ke kantor. "Yu, jangan pernah ijinkan Arum meminta uang kepada adik-adikmu. Kasihan mereka sedang kesusahan." Terdengar suara Ibu yang begitu pelan, namun masih terdengar di telingaku. Entah kedua menusia yang ada di hadapanku ini mendengarnya atau tidak."Ibu mau sarapan bareng kami?" tanya Mas Ba
Pembalasan Istri pelit yang sesungguhnyaBab 34Aku yang mendengar ucapan wanita paruh baya itu, melongo. Tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan. Mungkin. Kesabaranku selama ini diganti dengan banyaknya rejeki yang Allah berikan. "Ibu serius dengan ucapan Ibu?""Iya, masak saya berbohong?" tanya wanita tua itu kepadaku.****"Ini dengan Nak Arum?""Iya, saya sendiri Bu. Ada apa ya?""Begini, kemarin saya beberapa kali kesini. Tapi sayang, warung kamu tutup.""Iya, Bu. Ibu mertua saya sakit. Memangnya ada perlu apa ya, Bu?""Begini, saya itu kan suka banget sama makanan kamu. Lha Minggu depan, anak saya mau ada acara arisan di rumah. Nanti bisa ya kami pesan beberapa makanan dari sini?""Alhamdulilah, bisa sekali Bu. Untuk porsi berapa orang ya.""Kisaran dua ratusan lah.""Alhamdulilah, baiklah. Ibu mau menu apa saja.""Terserah kamu saja menunya apa, yang penting makanan rumahan lah.""Baiklah nanti biar saya dan karyawan saya yang mengurusnya. Bisa minta nomor teleponnya, Bu?""
Pembalasan istri pelit uang sesungguhnyaBab 35"Ok, kalau begitu. Tiap tiga bulan sekali panen. Kamu minta uang atau beras? Lumayan buat jualan nggak perlu mikirin uang buat beli beras." "Bener juga Mbak. Kalau begitu beras aja deh, lagian nanti aku pasti juga butuh beras banyak. Tapi kalau sampai disini udah beras kan? Bukan padi?" Aku terkekeh."Iya adikku tersayang, nanti udah jadi beras. Kamu tinggal masak aja.""Ok, siap." Alhamdulilah, meskipun kemarin banyak ujian kini aku bisa tersenyum lega. Banyak hal yang aku dapatkan, kesabaran akan membawa kita pada kesuksesan. Jadi aku harap semua yang belum sukses bisa bersabar.****POV authorArum melirik ke arah jam yang tertempel di dinding. Jarumnya menunjukkan angka sepuluh tepat. Namun rumah masih terasa sepi. Bayu sudah pulang sedari sore tengah duduk di depan televisi bersama Ibunya. Sedangkan Agus sudah ada di kamar bersama putrinya. Sedangkan Rani, dia belum mendengar suara wanita itu."Aku nggak mau, Papa.""Jangan memban
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia