Pembalasan Istri pelit yang sesungguhnyaBab 34Aku yang mendengar ucapan wanita paruh baya itu, melongo. Tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan. Mungkin. Kesabaranku selama ini diganti dengan banyaknya rejeki yang Allah berikan. "Ibu serius dengan ucapan Ibu?""Iya, masak saya berbohong?" tanya wanita tua itu kepadaku.****"Ini dengan Nak Arum?""Iya, saya sendiri Bu. Ada apa ya?""Begini, kemarin saya beberapa kali kesini. Tapi sayang, warung kamu tutup.""Iya, Bu. Ibu mertua saya sakit. Memangnya ada perlu apa ya, Bu?""Begini, saya itu kan suka banget sama makanan kamu. Lha Minggu depan, anak saya mau ada acara arisan di rumah. Nanti bisa ya kami pesan beberapa makanan dari sini?""Alhamdulilah, bisa sekali Bu. Untuk porsi berapa orang ya.""Kisaran dua ratusan lah.""Alhamdulilah, baiklah. Ibu mau menu apa saja.""Terserah kamu saja menunya apa, yang penting makanan rumahan lah.""Baiklah nanti biar saya dan karyawan saya yang mengurusnya. Bisa minta nomor teleponnya, Bu?""
Pembalasan istri pelit uang sesungguhnyaBab 35"Ok, kalau begitu. Tiap tiga bulan sekali panen. Kamu minta uang atau beras? Lumayan buat jualan nggak perlu mikirin uang buat beli beras." "Bener juga Mbak. Kalau begitu beras aja deh, lagian nanti aku pasti juga butuh beras banyak. Tapi kalau sampai disini udah beras kan? Bukan padi?" Aku terkekeh."Iya adikku tersayang, nanti udah jadi beras. Kamu tinggal masak aja.""Ok, siap." Alhamdulilah, meskipun kemarin banyak ujian kini aku bisa tersenyum lega. Banyak hal yang aku dapatkan, kesabaran akan membawa kita pada kesuksesan. Jadi aku harap semua yang belum sukses bisa bersabar.****POV authorArum melirik ke arah jam yang tertempel di dinding. Jarumnya menunjukkan angka sepuluh tepat. Namun rumah masih terasa sepi. Bayu sudah pulang sedari sore tengah duduk di depan televisi bersama Ibunya. Sedangkan Agus sudah ada di kamar bersama putrinya. Sedangkan Rani, dia belum mendengar suara wanita itu."Aku nggak mau, Papa.""Jangan memban
Pembalasan Istri pelit uang sesungguhnyaBab 36"Jaga baik-baik perhiasan ku, Mbak. Cepat atau lambat dia akan kembali kepadaku!""Lambat? Kalau nanti gajian bulan depan kamu nggak bisa mengembalikan semua uangku. Berarti perhiasan itu menjadi milikku."Rani yang mendengar ucapan Arum baru saja, membuat kedua bola matanya melebar. *****Ting … Ting"Buryam … bubur ayam." Suara teriakan dari jalan itu mengalihkan perhatian Arum. Pandangan nya kini beralih ke Khaila. "Kamu mau bubur ayam?" tanya Arum. "Mau Tante, ayamnya yang banyak ya." Khaila terkekeh sembari tangannya menutup mulut. "Ok," jawab Arum sembari berjalan mengambil dua mangkok."Kamu mau beli bubur ayam, Rum?" tanya Saraswati yang keluar dari kamar dengan berpegangan tembok."Ibu mau?" Bagaimana pun Wati adalah ibu kandung Bayu. Sudah seharusnya dia menghormati wanita tua itu."Iya, Ibu mau." Arum mengangguk, lantas ia bergegas ke depan. Sudah ada beberapa tetangga yang tengah mengantri membeli bubur ayam. Ada yang me
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 37"Pak … pak. Saya minta kejelasan kenapa saya dipecat.""Ayo." Tidak berapa lama dua security sudah berada di ruangan itu. Menyeret Agus dengan paksa keluar ruangan. "Kamu bukan karyawan perusahaan ini lagi! Sekarang, pergilah!""Brengsek. Kenapa saya dipecat. Ini benar-benar tidak adil. Argh …." Agus menendang batu kecil yang kebetulan ada di depan kakinya. Menendangnya dengan kuat kalau mengacak rambutnya dengan kasar.****"Benar-benar nggak masuk akal!""Lho, kamu kok sudah pulang, Gus? Ini kan masih siang?" tanya Wati yang tengah duduk menonton televisi. Wanita paruh baya itu terkejut, ketika melihat Agus pulang ke rumah."Agus dipecat, Bu.""Apa?" Teriak Wati membuat Agus terkejut."Ya, Agus tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas.""Kok bisa begitu?" "Mana kutahu, Bu. Capek aku, mana Rani minta perhiasannya kembali. Pusing Agus memikirkan semuanya, Bu.""Terus Ibu bisa bantu apa? Ibu nggak ada uang, tadi saja Ibu mengambil tab
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 38"Kalau begitu istirahat. Kamu pasti kecapekan. Jangan lupa minum obat." "Iya, Mbak. Kalau begitu sudah dulu ya. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Semakin lama Arum merasakan pusing, wanita itu berniat ke dapur mengambil minum. Dia berpikir bahwa kepusingan ya ini dikarenakan dia tidak cukup air. Namun baru saja dia berdiri, langit-langit rumah seakan ikut berputar. Perut Arum terasa tidak enak, rasanya ingin mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. Hoek … HoekKepala Arum semakin berdenyut ketika mendengar jeritan Khaila semakin kencang.BrukHingga pada akhirnya Arum pingsan. Dia tergeletak di lantai kamarnya.****"Suami kamu dipecat, Ran."Rani diam seribu bahasa. Membuat teman kerjanya terheran-heran melihat tanggapan dari seorang istri yang mendengar suaminya dipecat. Seharusnya ada kesedihan atau bahkan ada rasa marah. Tapi berbeda dengan Rani, dia nampak biasa saja. Seperti sudah tahu pada akhirnya Agus dipecat dari pekerjaannya
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 39"Dahlah, Mbak. Aku capek, mau istirahat. Bye … bye!"Rani pergi menuju kamar. Sedangkan Arum berjalan tertatih-tatih menuju kamar."Dari mana saja kamu, Sayang?" tanya Bayu. Setelah melihat Arum tengah berdiri di samping meja rias."Ambil minum, Mas.""Kok nggak minta tolong Mas aja?""Nggak papa, lagian Mas keknya nyenyak banget tidurnya. Jadi nggak mau ganggu aja.****Hari ini hari Minggu, dimana semua orang libur bekerja selain Agus tentunya. Dia sudah tiga hari di rumah. Arum tengah duduk di teras menikmati secangkir teh panas. Sedangkan Bayu, menikmati kopi hitam. "Kamu ke warung jam berapa?" tanya Bayu sembari menyeruput kopi."Mungkin sebentar lagi, Mas. Banyak kerjaan di sana.""Katanya kamu nambah orang?""Iya, sih.i Alhamdulillah, warung rame.""Rum, Mas boleh tanya?" Bayu terlihat ragu mengatakannya. Namun Arum yang terlanjur mendengar, menatap manik matanya dengan seksama."Tanya aja, Mas.""Kamu kok nggak pernah lagi nabun
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.Bab 40"Kamu nggak suka?" "Aku cuma takut, nggak cukup nanti uangnya.""Kamu tenang aja, aku nggak bakalan minta tambah dari uang kamu."Hoek … Hoek."Kenapa? Kamu sakit lagi?""Napas Mas Bayu bau, tadi makan pake apa?" Arum menutup hidungnya. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi.Hah … hah.Bayu pun spontan mengeluarkan bau mulutnya dengan kekuatan penuh pada telapak tangan. Lalu dia mencoba mencium ya."Astagfirullahaladzim, bau sekali ya. Hahaha," ucap Bayu diikuti tawa renyah.****Marni mengambil air wudhu, membasuh air dengan perlahan. Wanita tua itu menggelar sajadah berniat menunaikan sholat ashar.Doa yang ia panjatkan masih sama, minta dilapangkan kubur suaminya dan juga diampuni segala dosanya. Dan juga diberi kemudahan bagi anak-anaknya dalam segala hal. Setelah selesai menunaikan kewajiban. Dia melipat mukena dan ia letakan di atas ranjang. Di rumah sederhana itu dia hidup sendiri. Arum yang sudah bersuami, tinggal dengan suaminy
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 41"Lha terus maksud kamu apa? Kamu mau minta Ibu belikan itu? Kenapa kamu nggak nyuruh Rani?" tanya Ibu membuat Agus tersadar bahwa Rani ada di kamar. Sebelum Agus meminta Rani membelikan Kopi. Dia justru sudah keluar dengan pakaian yang rapi, padahal belum lama ditinggal Agus dia sudah keluar dengan full make up."Mau kemana kamu?" tanya Agus membuat Rani gelagapan."Rani mau ke …." ****"Mau kemana kamu? Suami minta kopi malah sudah dandan menor begini? Lagian kalau kamu mau pergi seharusnya menyiapkan sarapan dulu. Ngurus suami sama anak dulu, baru pergi. Lha ini? Suami malah dibiarkan kelaparan." tutur Wati panjang kali lebar."Apa sih, Bu? Nggak usah lebay deh. Ni, buat cari sarapan sama beli kopi. Kalau ada kembalian buat Ibu saja." Rani memberikan lembaran merah pada telapak tangan ibu mertuanya. Setelah itu nampaknya Rani berniat melenggang pergi tanpa berpamitan dengan Agus yang jelas-jelas ada di depan mata. "Ran, kamu mau kem
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia