Dunia memang sempit. Mereka tidak pernah menyangka akan bertemu pada waktu dan tempat yang tidak terduga sebelumnya.Hendra menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Rani pun terlihat mengatur nafasnya yang tidak tentu. Sedangkan Agus, hanya diam mematung di samping Rani bersama Khaila. Kini semua mata tertuju pada Hendra lalu pada keluarga Rani."Mbak Arum sekongkol dengan lelaki itu?" tanya Rani, jari telunjuknya menunjuk pada Hendra. Sedangkan Arum yang ditanya masih tidak mengerti."Saya bisa jelaskan semuanya!""CK …." Rani berdecak. Pandangannya kini ia alihkan ke sembarang arah.Tangannya sengaja ia lipat di depan dada."Kamu bicara apa, Ran?" sahut Bayu, tatapannya tidak kalah tajam kearah adik iparnya itu."Tunggu, apa ini yang kamu ceritakan itu, Mas? Kamu bilang, ada yang jual rumah. Tapi dia bilang sama istri dan ibunya hanya di gadai. Awalnya kamu menolak, takut jika suatu saat nanti akan menjadi masalah. Apakah mereka?" tanya Nanik. Pandangannya tertuju pada Ran
Cerai?"Apa maksud ucapan kamu, Rani?" tanya Agus tidak mengerti. "Ya, Mas. Aku pengen kita cerai. Kamu nggak mau kerja. Jual rumah Ibu kamu juga tidak bilang. Lantas menunggu apa lagi? Kamu selingkuh? Atau kamu punya hutang banyak?" terisak Rani membuat semua orang menggelengkan kepala. Termasuk Arum, dia nampak mengusap perutnya terus menerus. "Semuanya bisa dibicarakan baik-baik, Rani." Kini Marni bersuara. Dia Ibu Arum, tentunya Ibu Bayu juga. Wajar jika memberi nasehat."Ibu tahu apa tentang rumah tanggaku?" "Jaga ucapan kamu, Rani!""Kenapa, Mbak? Mbak marah? Mbak nggak pernah tahu gimana posisi Rani. Aku kerja Mbak, dan adik iparmu ini duduk santai di rumah. Aku juga harus memenuhi kebutuhannya. Lelaki macam apa itu! Dan satu lagi, aku juga harus mengurus Ibunya.""Astagfirullahaladzim, Rani. Jaga ucapan kamu! Tidak perlu kamu menyebut Ibu yang jelas-jelas sudah tidak ada." Bayu kini berpendapat. Tangannya mengepal kala mendengar penuturan Rani. Rani memang demikian, mungki
Pagi menjelang, Bayu bersiap pergi bekerja. Sedangkan Arum dan Khaila bersiap pergi ke warung. Hari ini hari pertama warung cabang dibuka. Tentunya Arum akan hadir disana. Sedangkan acara syukuran digelar seminggu lagi. Dan semuanya sudah disiapkan oleh Ratih."Kamu sarapan dulu ya, sayang," pinta Arum pada Khaila. Sedangkan Bayu memasukan bekal makanan ke dalam tas. Menyeruput kopi lalu menyomot roti tawar yang sudah disiapkan Arum.Tok … tok."Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar. Membuat Arum dan juga Bayu saling melempar pandangan. Bayu tidak menanggapi ucapan Arum malah dia terlihat melirik ke arah pintu."Siapa?" "Nggak tahu!""Aku lihat dulu, siapa yang bertamu pagi-pagi." Bayu beranjak dari duduknya. Setelah menelan roti dengan susah payah. Tidak lupa ia menyeruput kopi terlebih dahulu.Langkah Bayu pelan mendekati pintu utama. Dibukanya pintu, tetangga lama mereka sudah nampak berdiri di teras sembari tangan menenteng sebuah plastik putih."Pagi, Mas Bayu.""Eh, Bu Su
"Semua ini gara-gara Mbak Arum. Kalau dia tidak buka usaha warung itu dan sukses. Aku nggak akan pernah dipandang sebelah mata oleh semua orang. Seharusnya yang saat ini berada di atas itu aku bukan kamu, Mbak!" gumam Rani pelan. Tatapannya penuh kebencian jika mengingat nama Arum. Karena Arum dia terlihat kecil, terlihat seperti butiran debu di mata orang-orang. Rani ingat betul, bagaimana ia tinggal satu atap dengan kakak iparnya itu."Ih, Mbak Rani. Tumben belanja? Biasanya juga Mbak Arum.""Iya Bu. Lagi pengen saja.""Oh …." Terdengar suara sumbang dari belakang. Meskipun pelan namun telinga Rani masih normal jika hanya digunakan untuk mendengar.Rani sesekali melirik ke arah gerombolan Ibu-ibu yang tengah berbisik. Memuji Arum sang kakak ipar. Rani berdecak, dengan langkah kuat dan juga tidak ramah ia pergi begitu saja. Tanpa senyum apalagi berniat menegur. Ah, hati wanita itu mungkin sudah tertutupi rasa iri dan dengki. Padahal Allah sudah membagi rezeki-Nya kepada hamba sesu
"Agh …." Rani mendorong Arum cukup kuat. Hingga tangan yang menggenggam erat jemari Khaila terlepas. Arum mengaduh kesakitan. Namun tidak digubris oleh Rani. Dia menarik lengan sang anak yang terus meronta dan menjerit. Sedangkan Arum sudah tergeletak di tanah dengan mata terpejam.Teriakan Khaila membuat semua orang yang masih ada dirumah seketika keluar. Melihat tubuh Arum yang tidak berdaya membuat para tetangga berdatangan memberi pertolongan. Peristiwa itu terjadi begitu cepat, hingga Arum sudah sampai di rumah sakit atas pertolongan para tetangga."Bagaimana keadaan istri saya?" Kedatangan Bayu disambut dengan tatapan iba. Entah siapa yang menghubungi laki-laki itu. Yang pasti dia sudah datang dengan wajah yang bisa ditebak, khawatir dan takut."Sabar, Mas. Mbak e masih ditangani dokter. Kita berdoa saja, semoga istri dan anak Anda bisa terselamatkan," ucap lelaki paruh baya itu. Terlihat di sampingnya ada beberapa orang, mungkin tetangga yang lain."Kenapa bisa seperti ini, Pak
Arti kehidupan Angin semilir menyentuh wajah Arum yang terlihat pucat pasi. Ia masih menutup mata. Di tangannya tertempel beberapa peralatan medis. Ditambah selimut putih menyikap tubuhnya sebagian. Bayu dengan setia duduk sembari tangan menggenggam erat kelima jarinya.Diusapnya rambut wanita itu dengan lembut. "Yu, sebaiknya kamu makan, Nak. Bukan hanya Arum saja yang harus sehat. Tapi kamu juga harus tetap sehat. Emak lihat dari kemarin kamu tidak makan." Marni mengusap lembut Bahu Bayu. Sedangkan lelaki itu hanya menoleh sekilas. Kemudian netranya kembali tertuju pada Arum. "Benar apa yang dikatakan Emak. Kamu harus makan, Yu. Tidak baik jika seperti ini terus. Arum pasti juga akan sedih jika kamu seperti ini!" Lagi-lagi Bayu hanya diam, dia menunggu reaksi yang ditunjukan Arum.Janin yang ada didalam rahim Arum dinyatakan meninggal. Ini kedua kalinya janin itu merasakan guncangan hebat. Arum mengalami pendarahan. Membuatnya harus merelakan sang buah hati pergi untuk selama-la
"Oh, ya sudah. Sehat-sehat ya, Ibu Arum.""Iya, Dok. Terima kasih banyak!" "Mari!" "Iya, terima kasih banyak sus."Ketiga orang itu akhirnya pergi meninggalkan Arum dan juga Marni. Semua barang yang akan dibawa pulang sudah di siapkan. Tinggal menunggu Bayu datang menjemput.Kring ….Suara dering ponsel milik Arum berbunyi. Lingkaran hijau itu terlihat melompat-lompat. "Siapa, Rum?" tanya Marni, Arum yang tengah memperhatikan layar ponsel akhirnya menoleh ke arah Marni."Tini, Bu!""Halo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Mbak Arum.""Ada apa, Tin?""Sudah siap-siap belum? Ini kami sudah otw ke rumah sakit. Mas Bayu nggak bisa jemput. Katanya ada tamu.""Ow, ya?""Memangnya dia belum ngabari Mbak Arum?" tanya Tini.Arum melihat layar ponselnya. Ternyata ada pesan dari Bayu, suaminya. Namun belum sempat ia baca."Iya, Tin. Ada pesan dari Mas Bayu tapi belum sempat aku buka. Ya sudah kalau begitu, kamu kesini!""Iya, ini juga di jalan. Cuma Tini sendiri, Mbak, yang lain sekarang ngum
"Kamu tidak apa-apa sayang?" tanya Bayu. Arum menghapus air mata yang kembali jatuh. Tangannya berada di pusaran. Jika saja peristiwa itu tidak terjadi, dia akan senang menyambut kehadiran sang buah hati."Iya, Mas," jawab Arum singkat. Sembari bibir dipaksa tersenyum."Kita akan jalani semuanya sama-sama! Keputusan kamu sudah benar. Membawa masalah ini ke pihak berwajib.""Mas …." "Iya, sayang.""Nggak jadi.""Kenapa? Apa yang ingin kamu katakan?"Arum menggeleng. Lalu melempar pandang nya jauh ke luar kaca."Kita ke warung sebentar ya?" pinta Arum."Kita pulang, sayang. Warung biar diurus sama Bude kamu. Kamu istirahat dulu. Jangan banyak-banyak kegiatan. Untuk hari ini cukup sampai di sini!" Arum menghela nafas panjang. Tidak berapa lama, mereka tiba di rumah. Arum turun dari mobil lalu berjalan masuk kedalam rumah. CeklekWanita itu membuka pintu rumah, diikuti Bayu yang berjalan di belakang. Arum menjatuhkan bokong tubuhnya di sofa lalu meletakan tas di sampingnya."Kamu mau d
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia