Jam menunjukan angka dua tepat. Setelah banyak pesan yang ia kirim kepada Bayu menanyakan bagaimana kabar sang mertua. Laki-laki bergelar suami itu mengatakan bahwa Wati tidak cukup baik. Kondisinya naik turun. Membuat Bayu harus tetap di sana. "Tin, kamu besok pergi beli barang-barang yang sudah kita bicarakan sama Bude Nanik kemarin. Kamu beli langsung kasih alamat tempat yang baru. Nanti biar Mbak telepon Bude. Apakah dia mau ikut memilih atau biar kamu aja yang urus semuanya." "Siap, Mbak." Tini menjawab sembari meletakan gelas yang berisi teh panas. Arum suka dengan teh panas semenjak hamil. Namun dia meminumnya tidak setiap hari. Karena teh mengandung kafein dan itu tidak bagus untuk ibu hamil jika berlebihan. Dapat menurunkan hb dalam darah lebih cepat. Arum menelpon Nanik, wanita yang berpengaruh besar saat ini pada Arum. Tidak berapa lama orang yang ada di seberang telepon menjawab. Bercakap-cakap sebentar lalu Arum memutuskan sambungan telepon nya setelah dirasa cukup."
bab 110"Allahuakbar ...," teriak Arum ketika tubuhnya hampir saja tertabrak oleh pengendara ugal-ugalan itu. Nafas Arum tersengal-sengal. Tangannya mengusap perutnya sembari mulut melafalkan istighfar berkali-kali.Berharap tidak terjadi apa-apa dengan kandungannya. Pengendara itu terlihat melajukan kendaraannya tanpa berhenti terlebih dahulu.Sedangkan beberapa orang yang melihat kejadian itu menyoraki sang pemotor. Meskipun tidak berhenti pada akhirnya. Ada beberapa yang menghampiri Tini dan juga Arum. "Astagfirullahaladzim, Mbaknya nggak papa kan?" tanya salah satu orang yang tidak dikenal."Alhamdulilah Bu. Nggak papa, cuma kaget aja. Hampir saja," jawab Arum sembari terus mengusap perutnya."Orang nggak jelas! Naik motor kok ugal-ugalan di tempat parkir kek begini. Membahayakan orang lain saja!" sungut salah satu Ibu-ibu."Mbak nggak papa kan? Kita periksa saja ya Mbak sekalian. Lagian aku juga khawatir lho mbak. Meskipun Mbak nggak jatuhkan tapi Mbak terkejut sedikit ada gerak
"Tini tadi yang telepon Mas. Dan sekarang dia tidak ada, kemana orang itu? Kenapa dia tidak menjagamu!" Arum tidak menjawab dia hanya merasa perutnya menegang. "Dok, ada pasien Ibu hamil!" Perawat yang mengantar kami mengatakan kepada Dokter yang kebetulan tengah berjalan melewati kami. Perawat yang bertugas di IGD pun mengambil alih."Langsung saja di siapkan tempatnya ya. Nanti langsung saya periksa setelah ini selesai.""Baik, Dok. Pak, saya tinggal ya. Nanti di urus oleh perawat. Sebentar lagi di periksa sama dokter. Anda mengisi data dulu di meja itu!" Perawat itu memberikan pengarahan. Menunjuk meja yang berisi tumpukan kertas supaya lelaki itu mengisi data di sana. "Baiklah, terima kasih ya, Sus." Perawat itu hanya tersenyum lalu meninggalkan Bayu. Arum pun dibantu pindah dari kursi roda menuju tempat periksa. Gorden pembatas pun ditutup. "Saya cek tekanan darahnya ya, Bu?" Arum mengangguk."Sudah berapa bulan ini Bu?" "Kisaran empat bulan lebih.""Baiklah, yang dikeluhkan a
Arum duduk di ujung ruangan. Bersama Marni, Ratih dan juga Nanik. Mereka saling berpegangan. Meskipun Wati adalah sosok yang pernah menyakiti. Namun di ujung umurnya dia meminta maaf. Membuat Arum terbuka hatinya.Sejahat siapa pun itu, jika dia dengan tulus meminta maaf dan tidak berniat melakukan kesalahan yang sama. Pasti akan ada hati yang mau memaafkan. Terlebih Allah Maha Pengampun dan Pemaaf. Apalagi hanya manusia yang merupakan ciptaan-Nya.Akan ada hati yang terlepas dari beban. Jika memaafkan. Meskipun tidak semua orang bisa demikian. Ada lisan manusia kadang mengucap maaf namun hati masih menyimpan luka dan dendam.Mata Arum sembab. Dia terlihat kehilangan, niat awal ingin menjenguk wanita tua itu gagal. Karena kecelakaan yang tidak di sengaja.Agus dan juga Bayu duduk berdampingan. Setelah selesai memandikan jenazah kemudian mereka menyolatkan jenazah untuk terakhir kalinya. Matahari sudah mulai terik. Sebelum jam dua belas tepat wanita yang bergelar mertua itu selesai d
"Eh, Bu RT? Apa kabar?" tanya Arum setelah mengetahui bahwa yang bertamu adalah Bu RT. Ibu RT di tempat dia tinggal dulu."Mbak Arum, apa kabar? Sehat?""Alhamdulillah, Ibu. Sehat.""Selamat ya Mbak Arum atas kehamilannya. Semoga dilancarkan sampai melahirkan nanti. Semoga Ibu dan juga bayinya sehat. Amin.""Amin … amin. Terima kasih banyak Ibu-ibu. Ow iya Bu, silahkan masuk!" pinta Arum kepada ketiga wanita itu. "Ayo, Ibu-ibu." Terdengar Ibu RT itu meminta rekannya untuk masuk kedalam rumah. Sedangkan Arum berjalan dibelakang mereka, lalu menjatuhkan bokongnya di kursi paling ujung. Bayu yang melihat ada tamu lantas berjalan mendekati. Menangkupkan kedua tangan lalu tersenyum menyapa ketiga wanita itu."Eh, Mas Bayu. Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu. Tambah ganteng saja," celetuk salah satu tamu."Baik, alhamdulilah Bu. Terima kasih banyak. Ow iya Bu. Saya selaku anak dari almarhum Ibu Wati mengucapkan minta maaf yang sedalam-dalamnya jika ada salah kata. Mohon doanya, supaya Ibu
"Rani kok bicara begitu sih, Mas," tanya Arum. Tangannya terus mengusap handuk pada rambutnya yang basah. Tatapannya tertuju pada Bayu yang tengah duduk di sisi ranjang. Mereka tidak lagi membicarakan warisan tempo hari. Karena beberapa tetangga berdatangan, berniat membantu membuat makanan untuk acara tahlilan. "Mas juga nggak tahu. Padahal kamu tahu sendiri kan di saat Ibu nggak ada, Mas lagi sama kamu. Mas malah nggak kepikiran soal warisan." Bayangan Bayu kembali tertuju pada hari dimana Wati meninggal dunia. Sorot matanya kembali berubah menjadi sedih. "Astagfirullahaladzim, memang ya si Rani itu seharusnya di kasih pelajaran. Memangnya Agus nggak pernah ngajari Rani ya?""Mas juga nggak tahu. Ow ya Rum. Nanti malam gimana acara-nya?""Masih sama Mas, tahlilan Ibu digelar sampai tujuh hari. Nanti soal konsumsi biar warung yang urus.""Makasih banyak ya sayang. Kamu sudah mau ngurus semuanya.""Sama-sama Mas. Lagian almarhum Ibu kan Ibu kamu. Sudah seharusnya aku menganggapnya
"Mbak Ratih lagi dimana?" tanya Arum. "Lagi di rumah ini, baru selesai beberes mau mandi. Ada apa, nyari emak? Kenapa nggak telepon sama Bude?" "Nggak kok Mbak. Cuma mau ngobrol aja lagian nggak ada mas Bayu.""Bayu udah kerja? Bukannya kemarin ibunya baru meninggal.""Iya, Mbak katanya nggak enak kalau cuti terus. Ow ya Mbak. Besok kalau acara tujuh bulanan Mbak yang urus gimana? Aku nggak ngerti. Sama niatan aku sih mau bikin syukuran kecil-kecilan buat rumah sama ruko yang sudah kebeli. Mbak bisa bantu nggak ya?""Oh, kalau soal itu Mbak pasti bantu. Bulan depan keknya acaranya. Kandungan kamu usiany lima bulan kan?""Iya Mbak.""Bener kalau begitu. Kalau di tempat kita acara buat tujuh bulanan itu digelar pada usia enam bulan bukan tujuh bulan seperti di kalender.""Terserah Mbak Ratih gimana baiknya aja. Yang penting nanti acaranya pengajian tujuh bulanan sama syukuran dah gitu aja.""Siap, siap. Nanti Mbak sama Mas Awang yang mengurus semuanya.""Makasih banyak ya Mbak.""Sama
"Alhamdulillah," ucap semua orang bersamaan. Kedua tangan menangkupkan ke wajah. Berucap hamdalah karena acara tahlilan akhirnya selesai sesuai rencana tanpa ada halangan suatu apapun. Tujuh hari lamanya, tahlilan yang digelar di kontrakan Agus akhirnya selesai. Ibu Susi yang nampak duduk tidak jauh dari Rani hanya mengamati wanita itu dengan seksama. Wanita yang berdandan menor selalu memotret diri setiap saat. Membuatnya jengah sekaligus hilang empati padanya."Mbak Arum, kok bisa sih punya adik ipar gesrek kek dia?" tanya Susi. Setelah cukup lama tidak bersua. Wanita itu duduk berdekatan dengannya.Arum tampak bingung, mendengar penuturan sang mantan tetangga. "Kenapa Bu?" tanya Arum. Membuat wanita itu berpikir keras. Apa yang sudah Rani lakukan hingga tetangga sebaik Susi bicara seperti itu!"Cuma bisa dandan doang. Sama jepret sana sini, padahal saya lihat dari tadi dia nggak baca doa." Susi berbisik. Namun masih bisa di dengar jelas oleh Arum. Arum hanya bisa tersenyum, tepat
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia