"Tahukah kamu Nak? Tidak ada satupun dari mereka yang membelamu. Berarti sama saja dengan mengkhianatiku, mereka malah demo akan melengserkan kamu." Ucap Fajar.
"Bukankah mereka memang begitu? Bahkan ada yang berani menusukmu dari belakang? Bukankah Anda tahu jika semua bawahan Anda itu pecundang? Tentunya kecuali Tuan Weber dan Tuan Abraham" Jawab Aditya.
"Ya, aku memang sudah tahu. Baiklah sekarang kita keruangan kita saja dulu, ada hal darurat yang harus kita bicarakan berempat," ajak Fajar, kemudian tanpa mau berbicara dengan semua bawahannya lagi, Fajar berjalan pergi meninggalkan ruangan itu.
Aditya hanya bisa mengikuti Ayahnya itu dengan patuh, dia yakin jika bukan karena artikel sampah seperti tadi orang sakit bisa tiba-tiba bangun.
Ternyata sebenarnya Fajar sudah mengetahui jika di Perusahaan miliknya ada suatu masalah yang begitu besar yang sedang menimpa, tetapi bukan hanya itu saja yang membuatnya harus bangkit dari berpura-pura komanya selama ini, bukan juga karena skandal berita yang tiba-tiba berseliweran jika dia memiliki anak haram, jika pemimpin muda Aditya Rashaad adalah anak haramnya, bukan itu. Dia bahkan tidak peduli berita itu tersebar luas, karena cepat atau lambat identitas putranya itu akan terkuak."Aku bisa mengatasi permasalahan Indra Buana, cepat atau lambat dia akan tertangkap karena sudah menipu kita semua, bukan juga karena skandal yang sudah tersebar luas dan kini sebagian pesaingku mungkin sedang menertawakanku, aku tidak peduli, karena dia memang putraku, satu-satunya keturunanku. Tapi yang membuat aku bangkit dan terpaksa datang kesini adalah karena Aletta," ujar Fajar."Aletta?" Tanya Tuan Weber."Siapa Aletta?" Tanya Tuan Abraham, menimpali."Dia, ibunya putraku. Ibu kandungnya," ja
Tuan Fajar bergegas meninggalkan ruangan rapat diikuti oleh putranya yaitu Aditya juga Tuan Weber dan Tuan Abraham di belakangnya. Setibanya di ruangan pribadi tempatnya bekerja dia tidak serta merta duduk di kursi pemimpin yang kini diwakilkan pada putranya."Duduklah di kursi Anda," pinta Aditya."Tidak Nak, kita duduk di sofa saja," jawab Tuan Fajar dengan penuh kharisma."Baiklah Ayah, silahkan." Ujar Aditya sedikit gugup karena memanggil pria itu dengan sebutan Ayah di depan orang lain ternyata sangat membuatnya canggung.Tuan Fajar menoleh ke arah Aditya sejenak lalu dia tersenyum, baru kali ini dia merasakan betapa manisnya sikap putranya itu padanya, tidak seperti biasanya yang selalu ketus juga memanggilnya dengan sebutan tua bangka, ada rasa hangat di dalam hatinya, juga bangga.Tuan Weber dan juga Tuan Abraham menyadari jika saat ini pemimpin yang suda mereka anggap seperti putra mereka itu sedang merasakan kebahagiaan yang begitu besar, mereka tahu betul betapa kasar dan k
Tuan Fajar menghela nafas panjang, untuk sesaat dadanya terasa sesak."Bukan Adit, semua ini tidak ada hubungannya dengan Indra Buana, yang di berita itu barulah ulah pria itu. Sedangkan untuk orang yang menculik ibumu sama sekali bukan dia, melainkan ibumu yang lain." Desah Tuan Fajar, terdengar sedih."Apa? Siapa maksud ayah? Bisakah berbicara lebih jelas?" Desak Aditya lagi, dia tampak sudah tidak tahan dengan teka teki yang sebenarnya sulit sekali ayahnya itu utarakan."Sandra, ibu tirimu." Jawab Tuan Fajar dengan nada suara yang begitu berat dan menggema.Aditya, Tuan Weber dan Tuan Abraham begitu tercengang saat dia mengetahui bahwa Sandra adalah dalang dibalik penculikan ibunya itu."Ayah jangan bercanda, jelas - jelas Indra Buana berkendara ke arah pelabuhan yang banyak gudang yang aku ketahui di dalam salah satu gudang itu ada ibuku yang sedang disekap, apa ayah tahu? Saat ayah memerintahku untuk datang kesini, jarak antara aku dan gudang tempat ibuku disekap hanya beberapa l
"Iya Ayah, bukankah sebaiknya kita menolong ibu dulu saja?" Kini Aditya pun tidak tahan dengan sikap diam dan pemikir seperti ayahnya itu."Aditya, tenanglah ... ibumu akan baik-baik saja, kamu jangan khawatir." Jawab tuan Fajar."Apa ayah bisa menjaminnya? Atas dasar apa ayah seyakin itu?" Tanya Aditya, dia terus saja mendesak ayahnya itu karena dia takut sesuatu terjadi pada ibunya yang kini masih berada di tangan musuh itu."Ayah jamin seribu persen, ibumu akan baik-baik saja. Sandra bilang tidak akan melakukan apapun pada ibumu asalkan ayah tidak melaporkan semua ini pada pihak polisi dan juga orang-orang yang bernaung di perusahaan. Dia ingin semuanya terlihat bersih dan seolah tidak pernah terjadi hal seperti ini." Jawab tuan Fajar."Aku heran, kenapa nyonya Sandra bisa bersikap seperti ini? Seharusnya jika dia menginginkan perusahaan, kenapa tidak pada saat ayah tergeletak di rumah sakit dan dia malah mencariku untuk menggantikanku, aku tidak habis pikir dengan semua rencananya
Mendengar perkataan ayahnya itu kini Aditya bisa bernafas dengan lega, karena ternyata ayahnya itu memiliki rencana lain seperti halnya sesuatu yang dia rencanakan juga, sebelum datang ke tempat itu, Aditya juga sudah menempatkan Jonathan dan gengnya untuk berjaga dan bersiap menolong ibunya jika ada hal yang mencurigakan yang akan terjadi padanya, serta Jhon yang bersiap dengan pasukan kepolisian juga jika hal tersebut diperlukan."Apa yang sebenarnya terjadi ayah? Kenapa ibu Sandra bisa semarah itu padamu dan ibuku?" Tanya Aditya.Terlihat tuan Fajar menghela nafas dalam-dalam sebelum menjelaskan sesuatu hal yang dipertanyakan oleh putranya itu."Beberapa hari yang lalu kami sebagai suami istri berbincang-bincang, awalnya hanya perbincangan santai saja, aku bertanya padanya bagaimana jika kita buka saja identitas aslimu dan Aletta, agar Aletta memiliki identitas yang jelas, sebagai mantan istri atau apa saja agar dia bisa melanjutkan hidup dengan tenang tanpa ada keraguan, bukankah
Aditya masih merenungi apa yang Ayahnya pertanyakan itu, karena setelah dia pikirkan bolak-balik saat mengingat nyonya Sandra, dimatanya wanita itu sama sekali tidak memiliki kekurangan apapun, dia cantik, anggun, cerdas, berkelas, tegas dan banyak hal yang tidak bisa dia sebutkan satu persatu untuk melambangkan betapa perempuan itu sangat sempurna di matanya.Melihat putranya terus berpikir bahkan mungkin menebak-nebak, Fajar hanya bisa terdiam tenang, dalam hatinya dia merasa bangga memiliki putra yang amat positif thinking itu."Putramu sungguh sangat polos dan baik tuan Pemimpin," puji tuan Weber."Hem … tapi sekalinya kesal, orang tua saja dia sebut si tua bangka." Celetuk tuan Abraham.Terlihat jelas jika tuan Weber ingin sekali tertawa karena menertawakan celetukan sahabat baiknya yang tidak sepenuhnya salah itu, Aditya memang anak muda yang spesial saat dia kesal, auranya tidak dapat diduga. Tapi yang hanya bisa membuat pemuda itu kesal adalah ayahnya seorang yaitu tuan Fajar.
Ponsel Aditya berdering, di seberang sana teman-temannya mengatakan jika ibunya dibawa pergi entah kemana dan mereka kehilangan jejak si penculik karena ternyata mereka sudah terkecoh. Aditya lemas, bagaimanapun juga dia sangat khawatir dengan ibunya itu. Namun ayahnya mencoba menenangkan dan mengajak Aditya untuk pulang dulu ke rumah, karena banyak hal yang akan Fajar pikirkan jika mereka berada di rumah.Ayah dan anak yang baru akur itu pergi bersama meninggalkan perusahaan. Sesampainya di rumah yang dulu saat kecil pernah Aditya tempati itu, Fajar menyuruh anaknya diantar oleh Yosef ke kamar yang sudah disiapkan. Namun saat Aditya akan pergi tiba-tiba Sandra ibu tirinya turun dari lantai atas."Sandra, rupanya kamu di rumah? Dimana Aletta? Bukankah kamu bilang dia bersamamu?" Tanya Fajar membentak."Aku memang tadi bersamanya, tapi dia pergi dan entah dengan siapa. Sumpah Mas, tadi itu aku hanya menggertakmu saja." Jawab Sandra dan tiba-tiba dia bersimpuh di kaki Fajar, meminta maa
“Ayah tahu kamu sudah dewasa, tetapi di luar sana sangat berbahaya. Kita tidak tahu siapa yang membawa ibumu pergi, ntah itu Sandra, Indra atau siapa seharusnya kita lebih banyak mengantisipasi.” Fajar berusaha untuk memberitahu putranya yang begitu keras kepala ini, sepertinya Aditya menuruni sifat ayahnya yang juga sama keras kepalanya.“Aku akan tetap pergi, apapun yang akan terjadi nanti tentunya aku bisa menangani semua itu.” Bahkan tanpa izin dari ayahnya pun Aditya akan tetap pergi untuk mencari ibunya yang hilang entah kemana dan dibawa siapa sekarang, karena teman-temannya juga sudah kehilangan jejak.“Lantas apa rencana mu?” tanya Fajar.“Aku akan datang ke markas Indra Buana, aku akan diam-diam menyusup ke sana untuk mencari informasi tentang ibu,” ujar Aditya yang langsung mendapat tolakan tegas dari ayahnya.“Tidak, itu terlalu berbahaya. Sama saja kamu menyerahkan diri kepada mereka jika kamu ketahuan menyelinap ke tempat mereka,” tolak Fajar dengan alasan yang dia rasa
"Aditya kamu gak apa-apa?" teriak Jonathan panik dan segera melindungi Aditya jika saja ada serangan lagi dari Indra."Indra apa kau ingin mati!" seru Jonathan ke arah Indra."Ayolah kita sebaiknya mati bersama-sama." Balas Indra sambil bersiap kembali menarik pelatuk.Jonathan tidak bisa membiarkan Aditya, anak buahnya maupun dia mati begitu saja, akhirnya dengan spontan tanpa sengaja menarik pelatuk dan tembakan itu mendarat tepat di dada Indra yang langsung terpental hingga jatuh ke dalam air laut di belakangnya.Semua orang terdiam, Aditya tampak terperanjat kaget saat Indra terjatuh dan tak terlihat lagi berdiri di depannya."Aditya ayo pergi." Ajak Jonathan sambil menarik lengan temannya itu, dia tak peduli keadaan Indra."Kamu yakin dia sudah mati?" tanya Aditya, lalu berdiri dan melihat laut.Wajah Aditya tersenyum puas kala melihat tubuh Indra yang tersangkut oleh jaring, pria itu tampak masih berusaha bertahan sambil menahan rasa sakit."Belum mati rupanya." Dengus Jonathan
Aditya tampak tak peduli dengan perkataan temannya itu, dia segera pergi dan berjalan lebih dulu. Sedangkan Jonathan sepertinya kini tak bisa mencegah Aditya lagi, dia menebak jika Aditya tahu kalau dia memiliki rencana terselubung."Maafkan aku kawan, aku tahu kamu berbuat begini karena ingin membuatku tetap aman." Batin Aditya mendesah saat dia menebak-nebak rencana yang dibuat temannya itu.Aditya berjalan semakin jauh menuju sebuah pelabuhan yang disana sudah mulai dipadati beberapa orang, mereka tampak bersiap untuk menurunkan barang dari kapal besar yang baru saja berlabuh.Kedua mata Aditya berkeliling mencari seseorang di sekitar sana, dengan wajah yang tegas dan pandangan yang tajam akhirnya tatapan matanya berhenti pada seseorang yang sedang duduk sambil melihat ke arah kapal di depannya.Jonathan mengawasi tatapan Aditya dan dia juga melihat sosok itu, Aditya akan melangkah pergi tapi Jonathan segera mencegahnya."Tunggulah disini, serahkan dia padaku." Kata Jonathan.Adity
Tidak ada manusia normal manapun yang akan baik-baik saja kalau dalam waktu dekat kehilangan dua orang yang paling dicintai dalam hidupnya. Begitulah kiranya perasaan Aditya dan Jonathan dapat memahaminya, makanya dia harus waspada serta menyerahkan penangkapan Indra pada para pengikutnya agar keselamatan Aditya lebih terjamin daripada dia sendiri yang menangkapnya.Jonathan berusaha sebisa mungkin berkomunikasi dengan para pengikutnya untuk memberikan perintah tanpa sepengetahuan Aditya.Waktu sudah sangat larut, keadaan dermaga juga tidak terlalu ramai seperti saat siang. Mungkin karena di siang hari banyak kapal-kapal kecil yang singgah, sedangkan malam tidak ada.Suara klakson kapal feri yang baru datang terdengar nyaring dan menggema, Aditya mulai waspada."Ayo cepat kita kesana, mungkin pria itu akan menaiki kapal feri itu." Ajak Aditya sambil menunjuk."Tenanglah ada pengikut kita di depan, pergerakan mereka lebih smooth dibanding kita berdua." Jawab Jonathan disertai senyuman
Jonathan melajukan kendaraannya dengan cepat, adrenalinnya benar-benar terpacu saat dia tahu akan menangkap penjahat itu. Penjahat yang sudah mengambil nyawa penolong keluarganya yaitu tuan Fajar, dia juga memiliki dendam bukan hanya Aditya saja."Aku juga sudah menghubungi ayahku, biarkan anak buahnya berjaga di pelabuhan agar penjahat itu tidak bisa pergi kemanapun.""Good job." Puji Aditya.Jonathan melirik sebentar, dia sangat senang ketika temannya itu bersemangat lagi.Perjalanan cukup jauh meskipun Jonathan sudah memacu kendaraannya dengan cepat, mereka berangkat dari pusat kota dan menuju ke pesisir pantai dimana Indra terlihat. Sementara Aditya tidak mau hanya diam saja dan menyia-nyiakan waktu berharganya itu, dengan cekatan dia terlihat merakit senjata api yang sudah disiapkan oleh Jonathan di kursi penumpang."Kamu memilih senjata kecil itu?" tanya Jonathan disela-sela memacu kendaraannya."Hem." Jawab Aditya pendek."Aku ingin membunuhnya perlahan dari jarak terdekat kami
Sementara Aditya belum cukup puas memandangi wajah Catrina untuk terakhir kalinya, namun kini paramedis seakan memaksanya harus segera berpisah dengan wanita itu. Benar saja apa kata teman-temannya dan Sandra, kalau dia akan menyesalinya."Tolong, biarkan aku sebentar lagi. Tolonglah…." Pinta Aditya memohon."Maafkan kami tuan Aditya, jasadnya harus segera kami bersihkan sebelum terlambat." Kata-kata paramedis itu benar-benar menyakiti hati Aditya, "bukankah memang sudah terlambat? Dia sudah mati, apalagi yang membuat semua ini tidak terlambat?""Dia tidak akan hidup lagi, bukankah semuanya sudah terlambat?""Ya beliau memang sudah tiada, tubuhnya kaku dan kulitnya mulai membiru. Apa Anda akan puas saat tubuh ini mulai membusuk? Apa itu yang Anda inginkan?" balas paramedis tersebut.Rasanya jantung Aditya berhenti berdetak, dia menyesali segalanya tapi dia juga masih ingin melihat wajah Catrina untuk beberapa saat lagi."Sudahlah ikhlaskan dia, kasihan tubuhnya." Kata Jonathan sambil
Sandra terus berbicara agar anak sambungnya itu sadar dari sikap omong kosongnya itu."Aditya dengarkan saya sekali ini_""Sejak kapan saya tidak pernah mendengarkanmu? Bukankah selama ini saya selalu menurut?" potong Aditya bertanya.Sandra menghela napas, dia juga tahu kalau putra sambungnya ini sedang dalam proses depresi akut. Hanya saja tingkat depresinya sangat mengkhawatirkan, yang lain bisa menangis, bersedih, menyalahkan diri sendiri atau marah-marah untuk meluapkan emosinya. Tapi Aditya hanya diam saja tanpa melakukan apapun, masalahnya jika dia tidak menghalangi orang-orang untuk mengurus mayat Catrina tidak jadi masalah mau bersikap begini, tapi Aditya menghalangi dan mengacaukan segalanya."Maksud ibu, apa harus ibumu yang langsung bicara padamu? Ibumu sekarang masih lemah dan terbaring di rumah sakit, tapi ibumu masih baik-baik saja. Sementara Catrina… dia sudah tiada, tubuhnya butuh segera diurus.""Lalu… apa kamu juga menganggap aku sehat sampai bisa datang kesini? Tid
"Jo kamu harus hubungi seseorang." Kata Jhon setelah dia ingat sesuatu."Siapa?" tanya Jo penasaran."Orang tuanya, siapa tahu dia mau nurut." Jawab Jhon."Ah_"Jonathan akhirnya teringat seseorang yang mungkin saja bisa membujuk Aditya yang keras kepala itu. Akhirnya dia segera menghubungi orang tersebut agar segera datang, untungnya orang itu tidak sulit untukdia hubungi."Sudah, kita tunggu saja semoga nyonya besar cepat datang." Kata Jonathan pada Jhon.Jhon tampak mengelus-elus dadanya, sepertinya pria itu merasa sedikit lega. Tidak ada yang bisa dia lakukan, dia juga tidak bisa melihat Catrina secara langsung selain dari balik kaca ruangan tersebut karena Aditya duduk tepat di depan pintu ruangan itu dan menghalangi siapapun yang akan memasuki ruangan itu.Sedangkan Jonathan dengan perlahan tampak berjalan mendekati Aditya."Hey ayolah, kasian dia." Masih berusaha membujuk.Jonathan lalu berjongkok agar bisa berbicara lebih dekat dengan atasan sekaligus sahabatnya itu."Tuan Adi
Aditya tidak menjawab, bahkan dia enggan untuk masuk dan melihat wajah Catrina yang terakhir kalinya. Dia memilih berdiam diri dan duduk di luar ruangan tempat tubuh tak bernyawa Catrina terlentang dengan tenang."Tolong beri aku ruang Jo, tinggalkan aku sendirian bersama Catrina. Siapapun yang masuk cegahlah, jangan biarkan siapapun mengganggu kami." Pinta Aditya terdengar lesu.Jonathan mengangguk lalu menjauh, dari kejauhan itu dia menghubungi para penjaga Aditya juga teman satu gengnya agar datang ke rumah sakit dan menjaga Aditya yang sedang sedih.Namun tampaknya Aditya masih belum masuk untuk menemui Catrina, para dokter dan staf rumah sakit sudah sangat khawatir dengan jasad Catrina yang tidak mungkin dibiarkan begitu saja karena bagaimanapun juga Catrina sudah meninggal."Bagaimana ini? Jasad tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setidaknya berilah kami waktu untuk memandikannya, semakin kaku jasadnya akan semakin sulit kita urus." Celetuk seorang paramedis di rumah sakit tersebu
"Kami tahu, teman saya ini hanya asal bicara saja." jawab Aditya sedikit ketus."Oh iya Jo, dia kabur dimana?" lanjutnya bertanya pada Jonathan."Di rumah sakit, tadi di lobby." Jawab Jonathan.Aditya terdiam, jarak antara ruangan dia dan Lobby memang sangat jauh karena dia berada di gedung yang berbeda dan berada di atas beberapa lantai dari Lobby utama rumah sakit tersebut."Bilangnya mau ke toilet dulu, mau membersihkan diri sebelum bertemu putrinya. Eh siapa sangka kalau itu hanya akal bulus untuk mengelabui semua petugas." "Lagipula para petugas bodoh ini benar-benar terlalu meremehkan si tua bangka itu."Jonathan menjelaskan semua yang terjadi di bawah tadi, karena kebetulan dia mengikuti mobil para petugas yang membawa Indra. Siapa tahu apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi, Indra benar-benar kabur. Hanya saja Jonathan pikir kalau Indra akan kabur di perjalanan, tapi rupanya orang itu lebih nekad lagi.Tepat setelah Jonathan berbicara demikian, terdengar ada pengumuman cod