Batari keluar dengan wajah sendu dari ruangan dokter spesialis kandungan. Xabier tidak menemani sebab Batari meminta agar Xaba ditemani di ruang rawatnya.Batari berjalan menuju kamar Xaba dengan mata berkaca-kaca hampir menangis. Ia tidak menyangka kalau Xaba akan secepat ini memiliki adik, sementara umur putra pertamanya masih 5 bulan.Perasaan bersalah mengungkung Batari, ia takut kalau tidak mampu membagi perhatian untuk Xaba dan calon anak kedua.Pintu kamar rawat Xaba dibuka Batari, cepat-cepat ia menghapus air mata. Kejutan di dalam kamar membuat Batari melupakan sejenak kehamilannya.Sekuat hati ia mengulas senyum, ada tamu istimewa datang mengunjungi Xaba."Nyonya dan mbak Xinda... apa sudah lama datang?""Baru saja, Kak," jawab Xinda ramah. "Kak Xabi tadi yang beri tahu kalau Xaba dirawat."Batari mengangguk dengan senyum tulus lalu ia melirik ibu mertua yang melempar raut tanpa ekspresi."Pak Xabier ada di mana?" tanya Batari pada Xinda, ada rasa canggung memenuhi dirinya s
"Itu yang Pak Xabier mau, saya direndahkan Nyonya Andalaska!?" Tatapan Batari merah menyalakan amarah. Meskipun nada suaranya tertahan, tetapi pesan yang disampaikan mengandung emosi. "Mama tidak merendahkan kamu, Bu. Jangan salah paham." Xabier berusaha menenangkan gusar Batari. Akan tetapi, Batari terus menghindar saat Xabier akan menjamah lengannya."Jangan pegang!" hardik Batari.Kekesalan Batari memuncak, belum lagi siap memproses berita kehamilannya, Andalaska dinilai melontarkan kalimat yang menyudutkan dirinya.Batari menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia menumpahkan tangis di dalam toilet. Syukur saja, ruangan eksklusif yang digunakan oleh mereka."Mengapa saya begitu bodoh, mau Pak Xabier hamili," ujar Batari sambil menghentakkan kaki ke lantai seperti seorang anak kecil yang sedang kesal.Xabier keheranan, ia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya sembari meringis kebingungan."Coba lihat, di mata Nyonya Andalaska saya yang salah," sembur Batari menunjuk dirinya, setel
Lima hari sudah Xaba dirawat di rumah sakit, selama itu Batari setia menemani putranya. Setiap pagi rasa mual menyerang, ia selalu mengafirmasi diri kalau keadaan seperti itu tidak akan lama dan harus diterima.Batari membersihkan bibirnya di wastafel dalam kamar kecil. Air mata berlinang di pipinya, bukan karena rasa sedih, melainkan pagi ini ia memuntahkan semua isi perutnya, sampai-sampai air mata keluar.Rasa lelah mendera, Batari lemas dan terduduk di lantai kamar kecil."Hei, kamu muntah lagi, Bu?" Xabier masuk begitu tidak melihat Batari berada bersama Xaba usai menerima panggilan. Selama lima hari Xabier tidak bekerja ke restoran, hanya memantau kondisi melalui ponsel.Hanya anggukan sebagai jawaban lantas Xabier membopongnya ke arah sofa lalu mendudukkannya di situ. "Kita periksakan ke dokter kandungan, ya," bujuk Xabier sembari mengusap kening dan rambut Batari yang menyender pada sofa.Gelengan kepala Batari membuat resah Xabier bertambah."Saya lapar lagi," ucap Batari tan
Xinda mengajak Andalaska untuk menikmati makan malam di sebuah restoran hotel. Dengan mengenakan gaun tanpa lengan berwarna biru muda dan dandanan layaknya seorang sosialita, Andalaska percaya diri berjalan bersama putrinya.Bila dilihat dengan seksama, tidak terlihat kalau usia Andalaska telah menginjak lima puluhan. Perawatan dan busana mahal kerap menunjang penampilannya. Andalaska terlihat seperti seorang kakak dibanding ibu."Mama senang kamu ajak mama makan malam, sudah lama tidak dinner berdua, ya," ucap Andalaska berseri sembari menunggu sajian pesanan mereka.Usai kejadian yang menyinggung Andalaska, Xinda memutuskan untuk meminta maaf dengan berbagai cara. Makan malam ini sebagai puncak kalau Xinda benar-benar tidak bermaksud menyakiti perasaan mamanya."Iya, Ma. Aku ajak mama juga untuk menyambut penelitian yang akan jalan dua minggu lagi.""Mama bangga sekali sama kamu. Semoga penelitian nanti lancar, ya. Mama yakin kalau tahun ini gelar sarjana kamu bakal disandang," duku
"Kakak, minta penjelasan dari kamu nanti." Xabier keluar kamar rawat Andalaska dengan paras tegang.Sebelumnya, beberapa warga mendapati seorang perempuan menjerit-jerit di jalanan pada malam hari sendirian. Saat ditanya ia hanya bisa menangis, sampai-sampai pingsan karena kelelahan.Warga berinisiatif membawa ke rumah sakit terdekat. Usai diperiksa dan diperoleh hasil fisik yang baik, tetapi Andalaska tidak bisa diajak bicara dengan baik.Dari tasnya warga mengecek ponsel Andalaska lalu menghubungi Xinda dan Xabier, nomor kontak teratas.Xinda berdiri gelisah selain karena keadaan mamanya kini, juga dugaan kalau Xabier akan mengamuk bila mengetahui kebenarannya.Ia memandangi Andalaska yang terlelap di ranjang pasien. Dokter mengatakan kalau Andalaska diduga mendapat guncangan psikologis. Pemeriksaan intensif masih terus dilakukan."Jelaskan pada kakak, mengapa mama bisa ditemukan di jalanan dan diantar oleh masyarakat setempat?"Telapak tangan Xinda mulai lembab, mereka kini berada
Plak!!Tamparan keras dilayangkan Xabier pada Xinda usai menceritakan apa yang terjadi hingga kejadian pertemuan papa dan mama mereka.Xinda sampai terduduk di sofa dan menangis ketakutan. Batari terkejut, panik, dan langsung memeluk Xinda yang berlinang air mata."Maafin Xinda, Kak," raungnya dalam tangis. Batari mengelus lengan Xinda yang menyender ke perutnya. Manik Batari sampai berkaca-kaca, ia tahu tamparan itu pasti sangat sakit.Tubuh Xinda yang jauh lebih kecil terpental merasakan kekerasan dari kakaknya. "Semua karena kecerobahan kamu! Laki-laki itu sudah tidak ada hubungan dengan kita!" teriak Xabier seraya melayangkan tangannya pada Xinda."Stop!! Jangan berani-berani mendekat!" jerit Batari menunjuk Xabier, ia tengah menahan tangis."Ini bukan urusan kamu! Jangan kamu bela dia!" tunjuk Xabier. Pria itu dilanda amarah begitu tahu penyebab Andalaska terguncang hebat. Tangan sebelah kirinya mengepal erat."Dia juga adik saya," ucap Batari. Nafasnya tersengal-sengal, tidak m
Groban terlihat gelisah di bangku kerja rumah mewahnya. Berkali-kali ia menghubungi putrinya, Xinda, sayangnya tidak tersambung.Hari mulai malam, Groban memutuskan untuk keluar dari kamar kerjanya ke ruang makan. Saat ponselnya telah ditaruh di meja, bunyi panggilan membuat Groban kembali.Senyum yang awalnya merekah, berubah datar, ia tetap menjawab panggilan."Ada apa lagi mencari saya?""Pertanyaan klasik, pasti tahulah maksud panggilan ini.""Saya tidak akan lagi mengirim uang untuk kamu," ucap Groban dingin.Dengkusan kasar terdengar dari seberang. "Yakin?"Groban sebenernya tidak begitu yakin, tetapi ia harus mengambil keputusan terbaik untuk masa depannya."Apa tidak sayang dengan nama baik?" tanya si penelepon."Tidak perlu menggertak, Wahyuni," ucap tegas Groban."Apakah saya harus bilang takut pada kamu, Groban?" Terdengar tawa remeh."Semenjak kamu menceraikan saya, kamu tidak pernah 'kan berani untuk mengungkap hal sebenarnya. Mengapa? karena kartu kamu ada di saya," lanju
"Saya bisa temani bicara dengan Pak Xabier, kalau kamu siap. Itupun kalau mbak Xinda memerlukan saya," tawar Batari di kamar tamu.Telah tiga hari Xinda tinggal di kediaman Xabier, selama itu Batari yang menjadi penghubung antara Xinda dan Xabier. Pengasuh bayi yang dipekerjakan oleh Xabier melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga Batari bisa membagi waktu sebagai ibu, istri, dan kakak ipar."Maaf, aku merepotkan kakak." Batari mengulum senyum ramah. "Saya tidak merasa direpotkan." Ia menyentuh punggung tangan Xinda.Xinda merasa ketulusan terpancar dari kakak iparnya, dulu ia sempat kurang menyukai Batari lantaran terhubung dengan masa lalu Wisang. Namun, seiring waktu, Batari tidak memiliki gelagat jahat pada kakaknya."Kak Tari, kurang dari dua minggu lagi aku harus melakukan penelitian ke Jakarta, sementara... aku ulahku di sini belum mendapat jalan keluar. Apa sebaiknya, aku menunda penelitian saja?"Batari mencerna kegelisahan Xinda. Sebagai orang yang tidak pernah mengecap p
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca