Sampai pagi harinya, Xabier tidak berniat untuk membahas tentang Wisang lagi. Beberapa kali Batari minta untuk bicara lagi pada Xabier."Tentang Wisang lagi?" Batari mengangguk.Xabier menatap malas pada Batari yang terlihat memperjuangkan kebebasan Wisang, sementara Xabier dengan usaha besar mengupayakan Wisang mendapat ganjaran."Aku banyak pekerjaan di restoran, mau kunjungan ke cabang."Begitulah alasan terakhir Xabier, tanpa mau menatap istrinya lagi. Xabier tidak habis pikir sebegitu berharganya kebebasan seorang Wisang untuk Batari.Xabier meninggalkan Batari usai berpamitan pada Xaba yang ada dalam gendongan Batari. Menegur Batari di depan Xaba tidak dilakukan Xabier, ia masih punya hati untuk anaknya itu.Batari seperti orang lesu sebab permintaannya tidak digubris olehsuami. Batari kembali ke kamar sebab bayi kecilnya terlihat mengantuk. Xaba ditaruh kembali ke kotak tidurnya yang seketika itu langsung lelap.Batari tersenyum melihat putranya yang wajah blasterannya semaki
Xabier gelisah seharian, sampai-sampai terbawa ke rumah. Muncul rasa enggan untuk menemui ibunya, keterkejutanlah yang membuat Xabier merasa demikian. Dia tidak menyangka Andalaska senekat itu bekerja sama dengan Wisang untuk memisahkannya dari Batari. Sebelumnya, Xabier bahkan meminta pada ibunya agar pilihannya mempertahankan rumah tangga dihargai sebab ia tak ingin Xaba dari kecil memiliki keluarga yang tidak sempurna.Sambil memegangi ponselnya, Xabier berjalan bolak balik di taman belakang rumahnya. Rasa gundah memenuhi dirinya antara menghubungi ibunya meminta penjelasan atau meneruskan kasus hukum yang pasti akan menyeret Andalaska. Batari memang sepenting apa? bisik hatinya yang diam-diam mengambil kesempatan mempertanyakan kemurnian alasan Xabier. Untuk Xaba atau Batari? Hatinya mencemooh Xabier. Rahang Xabier mengetat kuat, ia ingin melampiaskan amarah, tetapi ia hanya sendiri di sana."Rumit sekali," lirih Xabier lalu menghempas tubuhnya ke bangku taman. Xabier hanya dit
"Untuk apa Mama bekerjasama dengan Wisang? Batari dan anaknya hampir celaka saat itu."Pagi ini Xabier memutuskan mengunjungi rumah mamanya, setelah tarik ulur keputusan. Andalaska dan Xinda tengah asyik menikmati sarapan sewaktu pertanyaan itu dilontarkan oleh Xabier. "Astaga, kamu datang, Nak. Mari duduk makan sama mama dan adikmu." Andalaska berdiri lalu menarik satu kursi yang paling dekat dengan dirinya."Maaf, Ma. Aku datang kemari bukan untuk makan."Gerak Andalaska terhenti di udara begitu mendengar penolakan ketus putra pertamanya. Xinda hanya diam menilai situasi yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.Andalaska kembali duduk ke bangkunya, ia mencicipi potongan roti kesukaannya. Sementara itu, Xabier tetap setia berdiri dan menunggu jawaban dari mamanya."Kakak, duduk dulu kalaupun tidak mau makan." Akhirnya Xinda angkat bicara di sela ketegangan pagi yang sedikit mendung di luar.Xabier bersedia mengikuti arahan adiknya, ia memilih bangku yang paling jauh dari Andalas
Hari ini tepat dua bulan usia Xaba, Batari sudah mulai tidak membedongnya sepanjang hari. Tangan dan kakinya bergerak-gerak bebas. Batari senang melihat tumbuh kembang putranya."Bu Tari." Terdengar panggilan dan ketukan pintu kamar Batari.Batari meninggalkan putranya untuk membuka pintu."Ada apa?""Bu, ada tamu datang untuk menemui Ibu. Namanya Xinda, Bu," lapor Sri lalu meninggalkan Batari."Untuk apa mbak Xinda datang ke sini?" ujar Batari pada dirinya sendiri.Berhubung Xaba tidak tidur, Batari memutuskan membawanya untuk menemui Xinda di ruang tamu."Mbak Xinda sudah lama datang?" tanya Batari sembari menggendong Xaba."Tidak lama, Kak." Xinda berdiri. Wajahnya semula datar berubah senang tatkala melihat Xaba dalam pelukan Batari.Mereka duduk dan berdiam dengan fokus melihat Xaba yang bergerak-gerak."Ada apa mbak datang kemari?" Batari memberanikan diri menanyakan keperluan Xinda yang mendadak mengunjungi dirinya.Tatapan Xinda pada Xaba beralih pada Batari, teringat pada tuju
"Sedang membaca majalah, Pak." Batari sedikit gugup menanggapi pertanyaan Xabier. Ia mengangkat sebuah bahan bacaan untuk membuktikan kalau tadi memang sedang membaca.Batari menerka apakah Xabier akan mengatakan sesuatu padanya terkait Andalaska sebab hampir tidak pernah suaminya menghampiri keberadaannya bila sedang sendirian."Aku ingin bicara sesuatu."Benar saja pikiran Batari, ia langsung meletakkan majalah kembali ke raknya. Batari memposisikan duduk dengan baik untuk siap berdiskusi mengenai Andalaska."Bapak ingin bicara tentang apa?" Batari sebenarnya telah mengerti topik yang akan dibicarakan, tetapi dia memilih pura-pura tidak mengerti."Usia Xaba sudah dua bulan, sebagai karyawan seharusnya kamu sudah bisa kembali bekerja."Batari terhenyak.Dugaannya salah besar, ternyata Xabier tidak sedang membicarakan tentang mamanya. Pikiran Batari jadi kosong sebab topik yang diangkat Xabier lupa dipikirkan selama ini."Apa... apa... kita harus membicarakan hal itu malam ini, Pak?"
Ruang keluarga mendadak hening. Tidak ada pergerakan dari pasangan suami istri yang baru saja membicarakan tentang pekerjaan.Entah apa yang mendorong Batari menyeret pembicaraan yang hampir selesai pada persoalan perasaan. Xabier pun membeku di posisinya.Bila saja detak jantung bisa terdengar, mungkin keduanya sedang berlomba siapa yang paling kencang berdegup. Untungnya tak seorang pun tahu selain diri mereka sendiri.Xabier membalik tubuhnya, berjalan perlahan menuju Batari yang mengerjap panik.Salah bicara, rutuk Batari dalam hati.Batari memundurkan tubuhnya, hingga betisnya menyentuh bangku lalu terduduk di sana."Apa yang kamu katakan, coba diulangi," pinta Xabier yang menjulang di hadapan Batari. Batari terkekeh, "Saya tadi hanya spontan, Pak. Tidak benar-benar bertanya," kilah Batari gugup mencoba bercanda."Tidak minta penjelasan, coba diulangi kalimat tadi."Batari merasa tidak mungkin mengulanginya lagi lantaran terlalu berani melontarkan kalimat seperti itu, meskipun di
Batari terbangun dengan lintasan tangis Xaba dalam mimpinya. Ia baru teringat kalau menjadwalkan Xaba menyusui sekali empat jam.Saat terbangun, Batari tersadar bukan di kamarnya melainkan bersama Xabier yang sedang telungkup nyenyak. Rasa malu menjalar di sekujur tubuhnya, ia teringat kalau telah membaur dengan Xabier setelah suaminya mengungkapkan perasaan terdalamnya.Batari memandangi suaminya dengan ulas senyum manis. Hatinya menghangat, kini telah menjadi istri yang diinginkan oleh suami. Harapan hampir pupus, tetapi begitulah suasana hati bisa dibolak-balik.Tidak bisa berpikir terlalu lama mengingat ada sosok kecil yang juga membutuhkan sentuhan darinya. Buru-buru Batari berpakaian kembali lalu meninggalkan kamar suaminya. Di sana, Batari melihat Xaba masih terlelap, seakan memberi kesempatan bagi ayah dan ibunya, pikir Batari.Kesempatan ini digunakan Batari untuk membersihkan dirinya lantaran kapan saja Xaba bisa terbangun. Saat dirinya keluar, Xaba menangis terbangun ingin
Kelegaan mengisi hati Batari, ternyata Xaba berada dalam gendongan papanya yang telah rapi. "Saya kaget Xaba tidak ada di tempat tidurnya," ucap Batari sembari mengelus pipi putranya."Tidur kamu pulas banget, jadi aku tidak ganggu." Xabier menyerahkan Xaba pada istrinya. "Aku pergi dulu, ada kunjungan cabang pagi ini.""Apa bapak sudah sarapan?""Sudah, cukup roti dan kopi di pagi ini. Nanti di sana akan lanjut menikmati menu terbaru dari koki resto."Xabier lantas mengecup kening Batari yang langsung mengerjap-ngerjap mendapat perlakuan manis di pagi hari dari suaminya lalu berlanjut ke Xaba. "Papa pergi kerja dulu ya, Jagoan.""Hati-hati ya, Pak."Xabier menoleh pada istrinya dengan ulas senyum yang tak kalah bagus. "Masih mau panggil suami dengan sebutan Bapak dan Pak?""Memangnya mau dipanggil apa?"Xabier pura-pura berpikir. "Mungkin bisa sayang, cinta, hubby," ujarnya sambil melirik Batari yang tampak meringis."Tapi tidak apa-apa juga kalau mau panggil Pak karena faktanya suda
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca