243Esoknya Amanda tidak mendapati Dewa di Villa. Paska kejadian dramatis semalam, ia langsung dibawa masuk kedua orang tuanya tanpa menunggu acara selesai. Dan pagi hari Dewa sudah tak terlihat di mana pun. Entah apa yang terjadi semalam setelah dirinya masuk.“Kenapa kamu selalu saja mengacaukan acara, Manda? Apa kamu tidak berpikir kami akan malu dengan tamu?” Sultan langsung menceramahinya saat mengantarkan Amanda ke kamar.“Tadi siang acara jalan-jalan batal karena kamu terjatuh. Malam ini lebih parah, kamu nangis di tengah acara seolah sesuatu yang besar terjadi. Apa kamu tidak memikirkan perasaan kami? Perasaan tamu? Perasaan Shakiel? Sebenarnya, ada apa denganmu? Kenapa kamu jadi seperti ini?”Amanda terdiam beberapa saat, menelan ludah demi mendengar ucapan sang ayah. Sebelum mendongak dan menatap pria paruh baya berwajah merah di hadapannya.“Kalau begitu, suruh sopir mengantarku pulang saja, Pa. Agar aku tak membuat masalah dan membuat malu Papa lagi.”Kening Sultan berkeru
245Dewa menatap sayu gadis muda yang tengah menangis sesenggukan di bangku depan Instalasi gawat darurat. Gadis itu tidak sendiri, wanita berumur lebih setengah abad yang juga sama-sama menangis, menyertainya. Mereka saling memeluk untuk saling menguatkan mendapati kepala keluarga entah bagaimana nasibnya di dalam sana. Mereka tidak menyalahkan, tetapi melihat betapa mereka menangisi korban tabraknya, Dewa sendiri yang merasa bersalah.Perlahan Dewa menghampiri dua wanita beda generasi itu. Berkedip berkali-kali saat sudah berdiri di hadapan mereka dan mulai bicara setelah mengatur napasnya.“Maaf, ini semua kesalahan saya.”Kedua wanita itu menghentikan tangisnya sebentar. Namun, keduanya tidak ada yang mendongak.“Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya. Mengobati Bapak sampai sembuh total.” Dewa melanjutkan ucapan hingga gadis muda mendongak. Mata basahnya menatap tajam.“Kita berdoa sama-sama agar Bapak segera sembuh. Urusan apa pun terkait administrasi sudah saya selesaikan. Dan
246“Kiran, tunggu!” Dewa berjalan menghampiri gadis yang ingin meraih handel pintu. Kemudian menarik napas panjang dan mengembusnya perlahan.“Saya tanya kenapa kamu ingin bekerja? Apa biaya dari saya kurang untuk kalian?”Kirani menatap tajam, sebelum membuang muka. “Tidak, Pak. Cukup. Bahkan sangat cukup.”“Lalu?” Alis Dewa bertaut.Kirani melipat tangan di dada dengan pandangan tak ingin melihat Dewa.“Sudah saya katakan, saya tidak ingin tergantung kepada….”“Kiran, saya lakukan semua karena merasa bertanggung jawab atas yang terjadi dengan ayahmu. Bukan karena merasa banyak uang, atau apa pun.” Dewa memotong ucapan Kirani.Saling tatap tak dapat terhindarkan. Seperti biasa, Kirani menghujamkan tatapan tajam tak bersahabat. Dan itu membuat Dewa tidak nyaman. Dewa tidak ingin terus dibenci seperti ini. Toh ia bukan sengaja ingin mencelakakan Anggara. Tidak ada yang tahu musibah akan datang. Ia juga sudah berusaha bertanggung jawab semampu yang ia bisa. Jika Anggara hingga kini mas
247Dewa berkedip-kedip setelah sekian lama bengong dengan ucapan Kirani. Sementara gadis di hadapannya masih mengangkat dagu dengan percaya diri. Dewa gegas menguasai keadaan setelah menelan ludah.“Kamu tunggu dulu di luar, ya. Saya akan menyeleksi yang lainnya. Nanti akan ada pengumuman.” Dewa membantu membukakan pintu untuk Kirani. Gadis itu hanya mengangguk. Ia tahu harus ikut prosedur. Namun, tiba-tiba ia berbalik saat pintu hampir tertutup.“Pak, saya diterima, kan?” tanyanya dengan tatapan penuh harap.Dewa menarik napas panjang. “Nanti asisten saya yang umumkan. Kamu tunggu dulu bersama yang lainnya.”“Please, Pak, terima saya. Saya ingin punya uang sendiri.”Sungguh, Dewa tak percaya jika gadis yang tengah memohon di depannya adalah gadis keras kepala yang selalu ketus dengannya.“Penambahan gedung perusahaan Bapak, tentunya juga membutuhkan OG yang lebih banyak, kan?”“Maksudnya?” Alis Dewa bertaut.“Maksudnya, saya bisa kan, jadi salah satu OG-nya?”“Maksud kamu melamar ja
248“Kiran, apa yang kamu lakukan?” Bu Endang yang kaget melihat tingkah anak sulungnya, bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Dewa yang meloncat-loncat kecil seraya memegangi punggung kaki yang diinjak Kirani.“Salah sendiri, Bu. Bapak Direktur ini sudah menipuku.” Tanpa rasa bersalah, Kirani menunjuk wajah Dewa yang masih meringis.“Menipu apa?” Bu Endang yang tidak enak hati, memegangi tangan Dewa demi melihat pemuda itu tertatih.“Dia bilang terjadi sesuatu dengan ayah. Sepanjang jalan dia menyiksaku dalam kecemasan tanpa mau bicara. Padahal di sini ayah tidak apa-apa. Kalian bahkan terlihat bahagia.”“Apa saya ada bilang terjadi sesuatu yang buruk?” Dewa membela diri. “Tidak, bukan?”Kirani bengong mendengar ucapan Dewa, sebelum wajahnya merengut. Namun, saat ingin menuding lagi lelaki itu, terdengar suara lemah tetapi sangat familier.“Kirani….”Serta-merta gadis itu menoleh ke asal suara. Pun dengan Dewa dan Bu Endang. Kirani melebarkan mata dan pendengaran, tak percaya ra
249“Ayah, aku kan, masih SD. Masa udah punya calon suami?” Kirani terkekeh setelah menguasai keadaan dan berusaha mencairkan situasi.“Ayah bilang aku masih sekolah di SD Insani, bagaimana aku punya calon suami?” Lagi, Kirani berkata lembut agar sang ayah mengerti. Namun, yang terjadi selanjutnya, Anggara kembali memijat pelipisnya setelah beberapa lama menatap wajah Dewa.Kening Pria tersebut berkerut menandakan berpikir keras. Bahkan mengeluh jika kepalanya pusing dan ingin menarik perban yang menutupi jahitan luka di kepalanya.Dengan gesit tetapi lembut, anak-anaknya menahan tangan ayah mereka agar tidak mengganggu luka di kepalanya.“Ayah sebaiknya tidur saja, ya. Ayah masih harus banyak-banyak istirahat. Tidak boleh banyak pikiran.” Kirani dibantu Kinanti berusaha membujuk ayah mereka agar mau berbaring dan istirahat.Anggara akhirnya menurut, mau berbaring tetapi pandangan tak kepas dari wajah Dewa, hingga Kirani terpaksa meminta Dewa keluar karena membuat sang ayah tidak nyam
250[Ayahmu memorinya semakin kacau.]Kirani membaca pesan dari sang ibu. Gadis itu duduk di bangku halte sore ini. Niatnya pergi ke kampus urung karena moodnya tidak bagus.[Hari ini terus menanyakan Pak Dewa].[Kepalanya sering sakit bahkan berkali-kali mencabut perban, padahal jahitan di kepalanya belum kering.]Perasaan Kirani tidak tenang. Ia terus menghkawatirkan sang ayah. Pesan-pesan ibunya membuatnya ingin gegas kembali ke rumah sakit.[Ibu sudah lapor perawat setiap Ayah mengeluh pusing, dan perawat menyuntikkan obat setiap Ayah merasakan sakit yang teramat di kepalanya.]Kirani memejam. Ia yakin yang terjadi dengan sang ayah adalah efek trauma di kepalanya. Akibat benturan itu yang terpantik karena pria itu terus berpikir keras mengingat siapa pemuda yang berada di ruangannya dan terlihat dekat dengan keluarganya.Kirani bingung bagaiamana harus menjelaskan kepada ayahnya jika pemuda itu adalah penabrak dirinya.Entah berapa lama Kirani duduk di sana dengan pikiran ke mana-
251 “Kau mengataiku?” Dewa menatap heran. Sementara Kirani semakin memiringkan bibir seraya memutar bola mata. “Bukankah itu ide bagus?” lanjut pemuda yang terlihat serius. Bukan tanpa alasan jika Dewa berkata seperti itu. Selain ingin bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi dengan Anggara, ia tak ingin terus-menerus merasa bersalah. Juga tidak ada salahnya mulai membuka hati. Seperti ucapan Sultan tempo hari yang menyuruhnya mencari pendamping agar tak terus memikirkan perasaan terlarangnya terhadap Amanda. Semalam Dewa melihat story Amanda, gadis itu mengunggah kebersaam bersama Shakiel yang terlihat sangat romantis. Mereka candel light dinner di sebuah resto dengan segala sesuatunya yang terlihat sangat indah. Mereka terlihat sangat serasi. Dan Dewa melihat jika sang adik sudah benar-benar move on darinya. Maka, tidak ada salahnya jika ia pun mulai melakukan hal yang sama. Usianya memang baru dua puluh lima, tetapi sang ayah sudah mempercayainya mengurus perusahaan walau
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan