361Amanda setengah berlari menuruni anak tangga untuk mencapai tempat parkir. Tadi Malvino menghubungi jika sudah tiba di kampusnya. Dan berencana mengajaknya keliling Jakarta sebelum pulang. Sang adik yang kini tinggal dan kuliah di Yogya dengan alasan menemani Dewa, padahal Amanda tahu agar bebas touring, sengaja pulang untuk menghadiri acara wisuda dirinya esok hari. Entahlah, Amanda merasa Malvino bukan sekadar adik, tetapi lebih dari itu, pemuda tersebut bisa bertindak sebagai kakak, sahabat, bahkan pelindungnya. Ia yang terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga dan terbiasa dimanja, merasa menjadi sangat lemah dan bergantung kepada keluarga. Malvino menjadi tempatnya berlindung selain sang ayah. Terlebih sejak banyak kejadian buruk menimpanya. Hubungan mereka menjadi semakin dekat. Karenanya saat Malvino memutuskan pindah ke Yogya setelah melihat dirinya mulai stabil, awalnya ia sangat kehilangan, tetapi karena sang adik yang tidak pernah absen selalu menghub
362“Abang, lepas …!” Amanda mencoba melepaskan cekalan tangan Dewa di pergelangan tangannya yang terasa sakit.Dewa tidak mempedulikannya, ia terus membawa Amanda masuk hingga tiba di dekat tangga, barusan sang wanita berhasil melepaskan tangannya.“Apa yang Abang lakukan?” pekik Amanda seraya mengusap-usap pergelangan tangannya.“Nai, apa yang kamu lakukan di luar sana sampai semalam ini? Bukankah besok harus menghadiri acara wisuda?” Dewa dengan tak kalah histeris, bertanya. Raut wajahnya tak dapat dideskripsikan entah apa yang sedang dirasakannya.“Abang apa, sih. Orang aku cuma keliling-keliling aja sama Vino. Lagian Papa sama Mama juga nggak masalah. Kenapa Abang sewot?”“Tentu saja Abang sewot. Kamu bilang sama Vino, buktinya dibonceng orang lain.”“Dia temannya Vino. Tadi Vino kelelahan karena perjalanan dari Yogya langsung keliling di sini. Makanya Vino juga dibonceng temannya yang bawa motor dia, dan aku dibonceng—”“Tapi kamu nggak harus tersipu-sipu gitu kan, dirayu dia? S
363“Calon suami?” Semua orang berseru dengan mata terbuka lebar. Seluruh keluarga Sultan saling berpandangan sebelum kembali menatap pemuda yang baru saja datang.Ketegangan sekonyong-konyong tercipta sebelum sang pemuda nyengir dan mengangkat kedua tangan.“Itu juga kalau Mandanya mau, dan Om merestui,” jawabnya sambil terkekeh. Mungkin geli melihat reaksi semua keluarga Sultan.“Berangan-angan nggak ada yang larang, kan?” lanjut sang pemuda.Semua orang meluruhkan pundak dengan lega, setelah beberapa saat lalu diliputi ketegangan.“Gila lu, Bro. Berani banget ngomong begitu di depan bokap gue.” Malvino meninju pelan pundak sang pemuda.“Iya, dong. Buat wanita secantik Amanda, masa gue nggak berani? Malah gue bersedia kalau pun disuruh teriak melamar di depan banyak orang ini. Asal Mandanya mau. Gue juga bersedia langsung manggil penghulu hari ini. Ya, lagi-lagi kalau Manda mau dan bokap lu merestui.”Malvino dan pemuda yang semalam membonceng Amanda itu terbahak bersama. Menyisakan
364 “Abang melamun?” Kinanti meletakkan secangkir teh yang masih mengepulkan asap di atas meja, tepat di hadapan Dewa. Kemudian gadis itu duduk di bangku samping sang kakak. Sejak tadi ia lihat Dewa terus mengembuskan napas kasar. Seolah ada beban yang ingin dilepaskannya.“Apa Abang masih meragukan pernikahan sama Mbak Manda?” tanya gadis yang sebentar lagi menyelesaikan sekolah lanjutan pertamanya. Dewa mengerjap dan tersenyum. Kemudian meraih cangkir yang disodorkan sang adik. Menyesapnya perlahan. “Tentu saja enggak, Dek. Kamu tahu pasti kan, bagaimana bahagianya Abang menyambut pernikahan impian ini? Dua tahun Abang menunggu Amanda membuka hati.” “Terus kenapa Abang masih juga bingung?” Dewa meletakkan lagi cangkir tehnya, dan lagi satu embusan napas berat meluncur. “Sudahlah, kamu masih kecil. Jangan mau tahu urusan orang dewasa, lakukan saja tugasmu dengan baik, ya.” Dewa mencondongkan tubuh ke arah Kinanti yang duduk di bangku tak jauh di sampingnya. Kemudian mengacak ra
365 Hari yang dinanti pun tiba. Hari bahagia Dewa dan Amanda. Menjadi hari yang dinanti semua orang. Terutama Dewa. Pemuda itu bahkan tidak sabar menunggu hari ini tiba. Bagaimana tidak? Selama sebulan lamanya Amanda meminta tidak bertatap muka. Bahkan melalui sambungan video. Mereka hanya berkomunikasi lewat telepon dan pesan. Walaupun sangat keberatan dengan permintaan wanita pujaannya, Dewa tidak bisa berbuat apa-apa. Biarlah rindunya setinggi gunung dan sedalam samudra. Bahkan lebih berat dari milik Millea untuk Dylan, agar saat tiba waktunya mereka bertemu dan bersatu, benih-benih cinta yang sudah lama tersemai mungkin sudah berbunga bahkan berbuah. Intinya cinta mereka sudah sangat kuat hingga mandarah daging. Dewa menjalani hari-hari menjelang pernikahan hanya di paviliun samping rumah utama. Tidak diperbolehkan masuk rumah, karena khawatir akan nekat menemui Amanda. Seperti saat menyebrang di balkon kamar dan berakhir dengan terjun yang belakangan Amanda tahu jika ia dibantu
366Amanda mendorong dada Dewa yang sejak tadi terus saja menempel, bahkan memepetnya. Sepanjang hari, tidak mengenal kondisi. Tidak peduli tengah menerima tamu bahkan saat sesi foto. Lelaki yang pagi tadi sudah mensah-kan dirinya lewat ijab qabul pernikahan itu seolah urat malunya sudah putus. Tak peduli bahkan saat kedua keluarga menegurnya agar tidak terlalu berlebihan. Bagi Dewa ini kebahagiaannya tidak akan dapat dirasakan siapa pun.Tidak akan ada yang tahu bagaimana ia menahan rasa suka sejak lama terhadap Amanda. Bahkan sejak aqil baligh. Rasa yang ia miliki sudah berdeda dengan rasa seorang kakak terhadap adiknya. Tidak ada yang tahu saat itu karena ia tidak pernah menceritakan kepada siapa pun, hingga Amanda semakin dewasa dan ternyata juga memiliki perasaan sama.Tidak ada yang tahu bagaimana tersiksanya Dewa menahan rasa agar tidak merusak Amanda setiap kali mereka berdekatan. Karena gadis itu sering kali menginap di kamarnya dengan dalih lebih nyaman.Dulu, Dewa mengutuk
367“Nai … buka pintunya atau Abang dobrak?”Entah untuk ke berapa kalinya kalimat itu Amanda dengar dari balik pintu kamar mandi di mana dirinya kini duduk di atas kloset dengan manautkan jari-jarinya.Sejak tadi Dewa terus memanggil dan meminta dibukakan pintu. Namun, ia tidak pernah menanggapinya. Terhitung sudah satu jam ia di dalam sini dan tidak ada yang dilakukannya selain duduk sambil memilin jari-jemarinya seperti ini. Atau berjalan mondar-mandir dengan gelisah.Kegugupan dan keringat dingin selalu bertambah setiap kali mendengar suara Dewa atau hanya ketukan di pintu.Amanda menyesal. Seharusnya sejak awal ia membicarakan hal ini dengan Dewa. Bahkan sebelum menikah agar lelaki itu berpikir ulang untuk tetap menikahinya. Namun, rasa malu yang besar membuat lidahnya tak mampu mengatakan jika ia masih menyimpan trauma atas perbuatan Shakeil dulu.Dua kali laki-laki itu memaksanya berhubungan. Bahkan yang terakhir menganiayanya dulu hingga ia babak-belur. Tentu saja meninggalkan
368Dewa menatap lekat wajah cantik yang sedikit pucat itu. Wajah milik wanita yang belum bisa ia miliki seutuhnya. Mata itu memejam, dan Dewa yakin Amanda kini sudah tertidur pulas. Menjalani rangkaian acara pernikahan ini memang melelahkan. Namun, tetap saja ia berharap bisa menutup hari ini dengan mengarungi indahnya cinta mencari letak surga dunia itu.Sayangnya, Amanda yang ternyata masih menyimpan trauma tidak mungkin ia paksa. Bahkan berhasil meyakinkannya untuk berganti baju dengan baju tidur, bagi Dewa sudah satu prestrasi. Karena awalnya wanita itu tidak mau membuka gaun pengantinnya dan tidak mau berbaring sepanjang malam.“Tidurlah, Nai. Kamu pasti lelah. Yakinlah tidak akan terjadi apa-apa. Ada Abang di sini.”“Justru karena ada Abang di sini aku jadi takut. Aku akan berjaga saja sampai pagi.” Jawaban Amanda membuat Dewa menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Terlebih wanta itu mengucapkan sambil menunduk dan mengerutkan tubuhnya dengan memeluk kedua lutut. Sangat kentara ji
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan