367“Nai … buka pintunya atau Abang dobrak?”Entah untuk ke berapa kalinya kalimat itu Amanda dengar dari balik pintu kamar mandi di mana dirinya kini duduk di atas kloset dengan manautkan jari-jarinya.Sejak tadi Dewa terus memanggil dan meminta dibukakan pintu. Namun, ia tidak pernah menanggapinya. Terhitung sudah satu jam ia di dalam sini dan tidak ada yang dilakukannya selain duduk sambil memilin jari-jemarinya seperti ini. Atau berjalan mondar-mandir dengan gelisah.Kegugupan dan keringat dingin selalu bertambah setiap kali mendengar suara Dewa atau hanya ketukan di pintu.Amanda menyesal. Seharusnya sejak awal ia membicarakan hal ini dengan Dewa. Bahkan sebelum menikah agar lelaki itu berpikir ulang untuk tetap menikahinya. Namun, rasa malu yang besar membuat lidahnya tak mampu mengatakan jika ia masih menyimpan trauma atas perbuatan Shakeil dulu.Dua kali laki-laki itu memaksanya berhubungan. Bahkan yang terakhir menganiayanya dulu hingga ia babak-belur. Tentu saja meninggalkan
368Dewa menatap lekat wajah cantik yang sedikit pucat itu. Wajah milik wanita yang belum bisa ia miliki seutuhnya. Mata itu memejam, dan Dewa yakin Amanda kini sudah tertidur pulas. Menjalani rangkaian acara pernikahan ini memang melelahkan. Namun, tetap saja ia berharap bisa menutup hari ini dengan mengarungi indahnya cinta mencari letak surga dunia itu.Sayangnya, Amanda yang ternyata masih menyimpan trauma tidak mungkin ia paksa. Bahkan berhasil meyakinkannya untuk berganti baju dengan baju tidur, bagi Dewa sudah satu prestrasi. Karena awalnya wanita itu tidak mau membuka gaun pengantinnya dan tidak mau berbaring sepanjang malam.“Tidurlah, Nai. Kamu pasti lelah. Yakinlah tidak akan terjadi apa-apa. Ada Abang di sini.”“Justru karena ada Abang di sini aku jadi takut. Aku akan berjaga saja sampai pagi.” Jawaban Amanda membuat Dewa menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Terlebih wanta itu mengucapkan sambil menunduk dan mengerutkan tubuhnya dengan memeluk kedua lutut. Sangat kentara ji
369Amanda menahan napas. Bahkan matanya seolah enggan untuk berkedip karena tubuhnya mendadak kaku seperti patung. Dadanya mendadak sesak saking lama menahan napas. Tapi itu memang sengaja agar helaan napasnya tak menyapu wajah yang masih memejam pulas di bawahnya.Perlahan Amanda menggerakkan matanya untuk melihat tangan yang menarik tangannya.Benar, itu tangan Dewa. Bahkan kini masih menggenggam pergelangannya. Dan kini ia juga terjatuh menindih tubuh sang lelaki. Namun, anehnya mata lelaki itu masih terpejam seperti sebelumnya.Apa Dewa mengigau? Apa karena ia menepuk terlalu keras wajah lelaki itu?Amanda perlahan menarik diri dari tubuh sang lelaki. Ia harus bisa melepaskan diri sebelum lelaki itu terbangun dan menyadari jia ia kini menindihnya. Namun, tidak mudah baginya turun dari tubuh itu karena ternyata sebelah tangan Dewa yang lain memeluk pinggaganya.Amanda memejam, ia tidak mungkin membangunkan Dewa dalam keadaan seperti ini. Ia tidak mau Dewa tahu kejadian ini. Karena
370Dewa tersenyum sesaat setelah menutup pintu kamar mandi, kemudian melepas piyamanya. Geli campur gemas melihat wajah Amanda yang bingung. Namun, ia harus melakukan ini sebagai salah satu ikhtiar agar trauma itu cepat sembuh. Ia tidak ingin terlalu lama menunggu karena ternyata menahan pegal itu lebih tersiksa daripada menahan rindu yang menggunung.Dewa mulai menyalakan air shower yang langsung membasahi rambutnya. Matanya memejam membayangkan jika di bawah air shower itu ia mandi bersama wanita yang telah sah menjadi istrinya. Saling melempar senyum, saling mengosok punggung, saling menyiram air ke wajah dan terakhir tentu saja menikmati menu utama sebagai pengantin baru.Dewa gegas menggelengkan kepala seraya memukul bagian bawah tubuhnya yang menegang.“Sabar, belum saatnya, Bro. Nanti kalau sudah tiba waktunya, akan kubuat kau bekerja siang malam tanpa lelah,” ujarnya seraya bergegas menyelesaikan acara mandinya yang tidak perlu berlama-lama karena perutnya sudah lapar.Lagi,
371“Kamu mau nikah, Dek?” tanya Amanda dengan kening berkerut. Dan semua mata kini tertuju Malvino. Kecuali gadis di depan sang pemuda yang cuek mencolek menu pembuka di hadapannya.Malvino mengangkat kedua tangannya setelah mengedarkan pandang. Semua orang betul-betul menatapnya kini, kecuali Kirani.“Ya iyalah, aku mau nikah. Masa iya aku mau melajang seumur hidup? Bisa karatan, dong?”Amanda memukul tangan Malvino dengan sendok. Entahlah, tidak Dewa tidak Vino sepertinya pikirannya selalu tertuju hal seperti itu. Apa semua laki-laki memang seperti itu?“Jadi, siapa yang harus Papa lamar, Vin?” Suara Sultan membuat semua mata kini teralih ke wajah pria paruh baya itu.“Nantilah, Pa. Nanti juga Papa tahu.” Malvino menjawab seraya menatap nakal gadis di depannya yang hanya melirik sebentar sebelum kembali menyantap makanan pembuka yang baginya lebih menarik daripada melihat wajah pemuda di hadapannya.“Siapa pun gadis itu, jangan sampai Papa salah lamar saja, Pa.” Dewa menyela seraya
372“Nai ….”Dewa menatap wajah yang memucat itu. Detak jantung sang wanita yang meloncat-loncat bahkan terasa di dadanya karena tubuh mereka saling menempel. Wajah itu semakin pasi seiring bibirnya yang bergetar, juga keringat yang mulai keluar di seluruh pori-pori wajahnya yang masih terbingkai kain salat.Tangan sang wanita yang digenggamnya perlahan ia lepaskan karena mulai dingin dan berkeringat. Perlahan pula Dewa menurunkan tubuh yang gemetar itu dari pangkuannya saat ia menyadari jika Amanda bukan omong kosong perihal traumanya. Dewa melihat sendiri bagaimana wanita itu begitu ketakutan saat dirinya meminta hak sebagai seorang suami. Padahal ia hanya sedang menggoda sang istri.“Nai, jangan takut. Abang hanya bercanda,” ujarnya lagi seraya bangkit dan berjalan ke salah satu sisi kamar. Tak lama kembali dengan segelas air di tangannya.“Minumlah, maaf Abang tidak bermaksud menakutimu,” lanjutnya lagi seraya menyerahkan gelas tersebut.Amanda menerima gelas dengan tangan gemetar
373Waktu seminggu berlalu sejak mereka menikah. Kini keduanya sudah pindah ke Yogya karena Dewa sudah harus ngantor lagi. Tentu saja Amanda diboyongnya.Mereka menempati rumah inventaris dari Sultan yang sejak awal Dewa tempati sendiri. Kini, ia tidak lagi kesepian di sana karena telah ada wanita pujaan yang menemani. Walaupun hingga kini belum bisa memiliki Amanda secara utuh, setidaknya wanita itu tidak lagi ketakutan sekadar ia dekati.Mereka tetap tidur berpelukan, berbagi cerita dengan menikmati malam panjang. Amanda tetap menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri dengan melayani semua keperluan lahiriyah Dewa. Ia bahkan belajar memasak agar suaminya itu betah di rumah. Hanya satu yang belum ia tunaikan, memenuhi kebutuhan bathin Dewa.Selama ini Dewa menunggu dengan sabar. Lelaki itu bertekad tidak akan memaksa Amanda sampai benar-benar siap. Ia tidak ingin menyakiti wanita itu. Dewa hanya akan melakukannya jika Amanda yang memintanya sendiri atau wanita itu yang datang men
374“Abang, maaf ….” Wajah Amanda memelas. Rasa bersalah tergambar jelas. Ditatapya wajah Dewa dan sepiring nasi goreng ambyarnya dengan sedih. Maksud hati ingin melayani sang suami agar tidak jajan di luar, siapa sangka malah membuatnya tersiksa dengan harus memakan nasi yang rasanya aneh.Dewa juga aneh. Kenapa ia tetap memakan nasi itu kalau tahu rasanya aneh? Kenapa tidak langsung katakan dan tidak berpura-pura semua baik-baik saja?“Tidak apa.” Dewa tersenyum seraya mengacak lembut rambut Amanda. Kemudian mengambil roti tawar dua lembar, mengolesnya dengan mentega dan mengisi dengan daging giling kemasan yang diiris tipis. Mayones, saus tomat, dan sedikit saus cabai ia bubuhkan di atas daging tipis itu sebelum menutup dengan irisan tomat dan saun selada yang ia ambil dari piring nasi goreng. Terakhir pemuda itu menutup lagi dengan lembaran roti tawar.Tidak hanya membuat satu, tetapi Dewa membuat sekaligus dua buah.“Kita sarapan ini saja sekarang, ya,” ujarnya seraya menyodorkan
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan