58Hari ini jadwal ke pengadilan agama. Terpaksa aku harus keluar kamar. Padahal awalnya ingin mengeram saja di kamar. Minta izin tidak bekerja dengan alasan kepala pusing. Padahal, alasan sebenarnya, malu. Malu ketahuan jika aku menguntitnya. Ternyata, aku tidak bisa mengelabui seorang bos. Namanya bos, pasti tingkat kecerdasannya juga tinggi. Tak mungkin bisa dikelabui bawahan tak berpengalaman sepertiku. Kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Aku mematut diri di depan cermin. Memoles wajah dengan cantik, dan memadu padankan kostum yang akan kupakai hari ini. Bukan agar terlihat cantik di depan Arman, karena ia sudah ditahan polisi. Atau untuk menarik perhatian panitera di pengadilan agama sana. Namun, untuk memberi semangat kepada diri sendiri karena akan segera menyongsong kebebasan dan status baru. Ya, mulai hari ini aku akan menyandang status baru sebagai seorang janda yang sebenarnya tidak membanggakan sama sekali. Hanya saja, dengan status baru ini, aku akan lebih lel
59Aku berusaha melepaskan kaki, tetapi dia memeluknya erat. Tangisnya bahkan semakin menjadi. “Vio, aku mohon kebaikan hatimu. Keluarga kami saat ini benar-benar sedang terkena musibah. Ayah Arman masuk rumah sakit, anak gadisku dicerai suaminya padahal baru dua hari menikah, dia juga diusir mertuanya hanya karena salah satu anggota keluarga kami ada yang masuk penjara. Mereka menyebut itu sebuah aib. Padahal anakku sudah hamil. Tolonglah Vio, tolong suruh bosmu mencabut laporan itu agar Arman dibebaskan. Perusahaan kami kolaps, apalagi Arman dipenjara, nasibnya terkatung-katung. Nasib kami ikut tidak jelas.” Mantan ibu mertuaku terus saja mengoceh panjang diselingi tangisan. Pelukan di kakiku semakin erat. Beberapa awak media yang merekam adegan ini meng-zoom wajahku dan wajah ibunya Arman. Di antara mereka bahkan ada yang bertanya-tanya. Aku memalingkan wajah karena malu. Sementara ibunya Arman seolah tidak peduli dan tidak malu sedikit pun. Aku heran, apa yang ada di pikiran
60Hari sedang panas-panasnya saat kami meninggalkan gedung pengadilan agama. Tempat yang tidak mau kudatangi lagi seumur hidup. Semoga kelak bila Tuhan memberiku jodoh, itu adalah jodoh dunia akhiratku. Cukup dua kali namaku disebut dalam ijab qabul pernikahan. Oleh Arman, dan seseorang yang akan melindungiku dalam penjagaannya sepanjang usia. Apa dia Tuan Sultan? Entahlah, rasanya aku belum yakin. Atau memang tidak yakin. Kuakui, ada sedikit rasa untuknya. Mengingat kebaikannya selama ini, dia orang yang paling berjasa dalam perubahan hidupku. Aku jadi sesehat dan secantik ini. Dulu, bahkan berkhayal pun aku tak berani memiliki tubuh seindah dan secantik ini. Tak pernah terbersit akan memiliki penampilan seperti sekarang. Kemudian pekerjaan, saat menjadi istri Arman, jangankan terbersit menjadi seorang sekretaris bos perusahaan besar. Melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik saja aku tidak berani karena tubuh tambunku yang menjadi kendala. Siapa yang akan memperkerjakan seseoran
61Aku masih menatap nanar Tuan Sultan saat sorakan untuk segera meniup lilin bergema memenuhi ruang pendengaran. Kulihat lilinnya memang hampir habis karena terlalu lama aku menatap haru laki-laki di depan sana. Aku memejam, melangitkan doa-doa terbaik. Untuk hidupku ke depannya, untuk kedua orang tua yang sudah tenang di alam sana, dan untuk ... Tuan Sultan. Aku meminta agar ia disehatkan, dan rezeki yang ia habiskan untukku, diganti berlipat-lipat. Aku juga meminta agar ia selalu bahagia dan dijauhkan dari segala marabahaya. Sungguh, tak pernah terbersih sedikit pun bila aku akan mendoakan seorang laki-laki di hari ulang tahunku. Dan laki-laki itu adalah Tuan Sultan. Lelaki yang penuh kejutan di balik sikap datar dan mengesalkannya. Semua yang ia berikan hari ini bagiku bukan lagi kejutan, melainkan hadiah istimewa dari seseorang yang sebenarnya tak perlu melakukan semua ini untukku karena aku bukan siapa-siapa. Tak ada yang dapat menggambarkan perasaanku saat ini. Aku ... ah,
62Aku melepaskan tangan dengan malu-malu. Sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Tuan Sultan. Namun, kami sudah menghabiskan waktu seharian ini berdua. Kini, kami sudah sampai di depan pintu kamarku. Bahkan, sudah lama kami di sini saling berpegangan kedua tangan, rasanya berat untuk berpisah. Rangkaian kencan–itu pun jika acara kami hari ini bisa disebut kencan—ditutup dengan Tuan Sultan memberikan sebuah bungkusan kecil. “Selamat malam, selamat istirahat. Mimpi indah malam ini, ya,” ucapnya sebagai penutup kebersamaan kami hari ini. Kami akhirnya melepas tangan yang sejak tadi saling bertaut, sebelum aku mengangguk malu dan membuka pintu kamar. Masuk, dan menutup lagi benda itu dengan pelan, seolah tidak rela bila kami harus berpisah. Aku menyandarkan punggung di belakang pintu seraya memeluk bungkusan kecil yang barusan diberikan lelaki itu. Hatiku berbunga-bunga. Duniaku berwarna. Aku bahkan yakin semua orang yang melihat wajah ini setuju jika aku teru
63Kujalani hari-hari selanjutnya dengan hati yang selalu berbunga dan jiwa semakin muda. Akhirnya, dalam hidup aku bisa merasakan apa itu jatuh cinta, apa itu bahagia. Sesuatu yang mungkin tidak akan aku dapatkan jika tidak pernah bertemu Tuan Sultan. Kini, tak ada lagi penderitaan. Tak ada lagi hari-hari suram. Tak ada lagi air mata. Yang ada hanya hidup penuh warna dan hati selalu berbunga. Tuan Sultan memperlakukanku sangat manis. Setia saat setiap waktu, ia selalu memberi kejutan-kejutan indah. Seperti jam tangan yang kini melingkar di pergerakan tangan kiriku, jam tangan yang ia berikan di hari ulang tahunku. Jam tangan yang saat aku googling harganya sangat wow untuk ukuran orang sepertiku. Saat aku tanya kenapa menghadiahi benda ini, ia menjawab agar aku selalu mengingat dirinya setiap detik, setiap menit, setiap waktu. Selain jam tangan mahal, masih ada banyak barang mewah yang ia hadiahkan untukku walaupun aku tidak meminta. Belum lagi kejutan-kejutan kecil semisal ada
64Kedua orang itu mematung di tempat masing-masing. Mungkin tidak menyangka jika aku ada di sana. Kami sama-sama terdiam. Aku menatap mereka bergantian dengan tatapan tidak mengerti, sebelum akhirnya Pak Sam yang berdiri lebih dekat, menarik napas panjang dan berlalu dengan langkah-langkah kasar. Tanpa bicara apa pun denganku. Tinggallah aku dengan Tuan Sultan. Dia seperti tengah berusaha menenangkan dirinya. “Tuan....” Akhirnya kata itu keluar di tengah kebingungan ini. Aku tidak tahu harus berkata apa. Mau langsung marah pun, takut telinga ini salah menangkap. Tuan Sultan mengembus napas panjang, entah untuk apa. Kemudian bersikap normal seperti biasa. Seolah barusan tidak terjadi apa-apa. “Ana, kau merindukanku?” tanyanya dengan senyum sangat manis. “Kemarilah, aku bawa oleh-oleh untukmu,” lanjutnya seraya memutar kursi rodanya mendekati meja, kemudian mengambil sesuatu dari sana. Aku masih mematung di ambang pintu. Tidak tahu harus mempercayai pendengarku tadi, atau mataku
65Aku menoleh ke arah Pak Sam untuk meminta pendapat. Namun, ia diam saja seolah tidak peduli. Tetap menatap lurus ke depan. “Bang, aku....”“Keluarlah, temui dia! Dan segera buatlah keputusan yang tepat. Aku tidak bisa membantu apa-apa.”“Bang....”“Mbak, maaf, Pak Sultan sudah menunggu!” Sekuriti yang berdiri di samping mobil kembali menegurku. Akhirnya aku keluar setelah sekali lagi menoleh ke arah Pak Sam yang tetap menatap lurus ke depan. Seperti ucapannya, ia tidak membantu. Akhirnya dengan pelan dan ragu, aku berjalan ke arah laki-laki berkursi roda yang menghujamkan tatapan tajam hingga aku tak berani sekadar melirik mobil Pak Sam yang terdengar meninggalkan tempat ini. Hanya derunya yang semakin menjauh yang menandakan dia sudah pergi. Sebagai penanda juga bahwa semua tidak akan sama lagi. Kini, aku sudah berdiri di hadapan lelaki yang tatapannya perlahan meredup. Amarah yang tadi berkobar di matanya, kini berubah menjadi tatapan lembut seperti kemarin-kemarin. “Aku kir