ADA PULSA 10K UNTUK KOMENTAR PERTAMA. TERIMA KASIH MASIH MENGIKUTI CERITA INI
420Hari ini Vino berangkat ke kantor dengan mengendarai motor kesayangannya. Frustrasi membuatnya ingin berkeliling lagi. Tapi karena waktu yang belum memungkinkan, ia belum bisa mendinginkan kepala dengan melakukan hobinya itu. Karenanya, hanya bisa menaiki si bohaynya ke kantor saja.Vino tidak peduli menjadi pusat perhatian seluruh penghuni perusahaan begitu motornya memasuki gerbang kantor. Ia bahkan melenggang cuek menuju lift untuk umum tanpa mempedulikan tatapan semua orang.Apa pedulinya? Ia merasa tidak ada urusan dengan siapa pun. Kepalanya sudah pusing memikirkan kasus Nada yang akhirnya menggantung. Ia tidak mau menambah beban pikiran dengan memikirkan tanggapan orang lain terhadapnya.Sekali lagi Vino bahkan tidak peduli saat orang-orang yang tengah menunggu lift menyingkir untuk memberinya jalan. Semua orang sudah tahu jika dirinya putra bos besar yang dapat dipastikan kelak akan mewarisi perusahaan itu.Saat ia masuk lift dan hanya seorang diri padahal yang menunggu be
421 Vino membuang muka setelah beberapa detik tatapan mereka bertemu. Sementara Kirani cepat menunduk. Kedua tangannya saling memilin satu sama lain. Sungguh, ia tidak nyaman berada di situasi ini. Sangat kentara jika kebencian itu begitu besar di mata Vino. Entah dengan apa ia bisa menebus kesalahannya dulu. “Papa suka semua pekerjaanmu, Kiran. Perpect. Kamu sangat professional. Semoga kita bisa bekerja sama dalam waktu yang lama,” ujar Sultan jujur dan bangga setelah mengecek lembaran demi lembaran dalam map yang dibawa Kirani. Kirani hanya mengangguk untuk menanggapi. Bahkan ucapan terima kasihnya sangat pelan nyaris tak terdengar. “Pertahankan ini dan kalau bisa terus tingkatkan lagi kemampuanmu. Jadi dengan begini Papa lebih yakin untuk mempromosikanmu.” Pujian demi pujian terus megalir dari mulut Sultan. Sementara yang dipuji hanya diam menunduk dengan sesekali mendongak sambil megucapkan terima kasih. Lalu, seseorang di sebelahnya terus membuang muka dengan jengah. “Lalu,
422“Oh, maaf aku tidak bisa, Pa. Aku sudah ada janji.” Malvino menjawab lebih dulu dengan tampang malas dan mengibaskan tangan. Itu dilakukannya setelah saling tatap sejenak dengan Kirani dan kemudian membuang muka.Sultan menatap sang anak sejenak sebelum beralih memandang wajah Kirani.“Kalau begitu, bagaimana jika kita berdua saja, Kiran. Nanti Papa telpon Mama agar bergabung dengan kita?” Sultan masih saja membujuk Kirani. “Anggap saja ini undangan karena kamu sudah bekerja dengan baik di perusahaan Papa.”“Terima kasih Pak Sultan, atas undangannya. Saya sangat tersanjung. Tapi maaf saya tidak bisa memenuhinya.”“Kenapa?” Kening Sultan berkerut dalam.“Hmm, kebetulan saya sedang berpuasa.” Kirani menjawab pelan hampir tak terdengar.Mulut Sultan terbuka lebar sebelum akhirnya tersenyum. Wajahnya menengadah sebentar, raut kagum tercipta seketika.“Ya, Papa lupa kamu sekarang rajin puasa sunah,” ujarnya. “Ya, sudah. Nanti kita rencanakan lagi. Nanti biar Mama yang ngobrol sama kamu
423“Memangnya kenapa dengan wajahku? Apa aku menakutkan seperti hantu?” tanya Vino kepada dirinya sendiri sepeninggal Kirani. Gadis itu akhirnya menghilang di balik badan bus yang berhenti di seberang jalan.Vino memindai dirinya dari kaca spion motor besarnya.“Aneh, padahal orang-orang bilang aku ini mirip pemain sinetron Bara Valentino. Kenapa dia seperti melihat hantu?” lanjutnya dengan terus membolak-balik wajah untuk bercermin.“Apa matanya yang siwer? Atau sudah tidak waras? Atau dia masih bertahan dengan kesombongan yang disembunyikan di balik pura-pura ketakutan?” Vino mengetukkan telunjuk di pelipisnya.“Awas saja kamu perempuan, suatu saat nanti kamu akan mengemis bantuanku dengan merendahkan dirimu. Kau pikir kamu akan selamanya beruntung?” Setelah mengatakan itu, Vino mulai mengendarai motornya untuk pulang. Padahal ia sudah bela-belain menunggu hingga Kirani pulang.Vino susah keluar kantor sejak tadi. Karena tidak mendapati Kirani satu lift dengannya seperti biasa, ia
424Kirani merasa jantungnya bergenti berdetak beberapa saat. Ditelannya ludah untuk membasahai kerongkongan yang mendadak tercekat. Dadanya mendadak sesak, terlebih saat melihat seringaian terukir di bibir lelaki di hadapannya.Bibir bergetar sang gadis hendak terbuka. Ingin menanyakan apa pendengarannya tidak salah, saat dirasakan lift berhenti dan pintunya langsung terbuka.Ternyata mereka sudah sampai di lantai empat. Sesuatu yang sangat ia syukuri.Bagai mendapat oase di padang pasir, gadis itu langsung berlari keluar lift tanpa berkata-kata lagi. Ditariknya napas panjang berkali-kali begitu pintu berwarna silver itu tertutup dan mulai bergerak naik membawa pemuda yang membuat paginya harus sport jantung.Apa pun maksud ucapan Malvino, baginya ucapan itu sangat menakutkan. Bagaimana tidak? Setelah beberapa lamanya mereka hanya saling membisu seolah dua orang yang tidak saling mengenal, setiap kali bertemu, tiba-tiba saja pemuda itu bersikap sangat diktator dengan mengatasnamakan
425Kabin lift menjadi sangat gulita. Tidak ada setitik cahaya pun yang menerangi pasca Vino mematikan ponselnya. Guncangan masih terasa hingga benda yang mereka naiki itu seolah berbenturan dengan sesuatu yang keras.Vino sampai menahan napasnya. Bohong jika ia pun tidak panik dan ketakutan. Suara pekikkan Kirani bahkan terdengar gemetar, tetapi disambung lapaz-lapaz dzikir lagi. Ya, hanya itu. Bahkan hingga beberapa lama Vino terdiam menanti momen yang yakin akan menguntungkannya, ternyata hal itu tidak kunjung terjadi.Tak didapatinya suara Kirani memohon perlindungan. Apalagi menghampirinya. Ia juga tidak mendengar tangisan, keluhan, atau apa pun dari mulut gadis itu selain hanya gumaman dzikir.Hingga di titik Vino menyerah karena lelah menunggu, akhirnya sang pemuda pun kembali menyalakan ponselnya. Sungguh ia pun merasa pengap dan tidak nyaman. Dinyalakannya fitur senter di ponselnya, kemudian di arahan ke arah Kirani.Tertangkap netranya gadis itu bernapas sangat pendek. Wajah
426 Kirani mengerjapkan matanya yang terasa sangat lengket hingga dapat terbuka. Sejak tadi suara beberapa orang yang tengah mengobrol sudah tertangkap indera pendengarannya. Aroma khas obat-obatan juga menggelitik penciumannya. Hanya saja matanya begitu sulit untuk dibuka. Warna putih yang mendominasi ruangan yang kini ditempatinya yang pertama tertangkap netranya. Kemudian pria dan wanita paruh baya yang sang dikenali duduk di sofa tak jauh darinya. Kembali Kirani mengerjapkan mata, kemudian berusaha untuk bangun. Tetapi rasa sakit di seluruh tubuh juga kepalanya yang berat membuat bibirnya tak sadar mengeluarkan rintihan halus. “Kiran, kamu sudah bangun, Nak?” Suara wanita langsung terdengar setelah rintihan halus Kirani. Disusul langkah-langkah yang mendekat. “Jangan memaksakan diri, berbaring saja dulu.” Kali ini suara pria. Kirani membuka mata, tampak sepasang suami istri yang sangat baik memperlakukannya bak anak kandung berdiri di samping ranjang yang ia tempati. Senyum t
427“Lamaran?” Pertanyaan yang diiringi perubahan wajah yang sangat kentara terdengar sesaat setelah tubuh jangkung itu berbalik lagi menghadap sang ayah.“Hmm.” Sultan hanya bergumam acuh sebelum kembali meraih balpoin di atas kertas. “Kenapa wajahmu pucat?”Vino menelan ludah. Kemudian membuang muka.“Sama Reza?” tanyanya.Kening Sultan berkerut hingga kedua alisnya saling bertaut.“Reza siapa?”“Karyawan di sini juga, satu divisi sama dia.”“Kok, kamu bisa tahu sejauah itu? Apa selama ini kamu mematai-matai dia?” Kening Sultan masih berkerut.Vino mengibaskan tangan jengah.“Papa tidak tahu dengan siapa, Reza atau siapa pun itu. Papa hanya tahu kalau ia akan pulang untuk lamaran karena ibunya yang menelepon.”“Bu Endang?”“Ya, Bu Endang menelepon meminta waktu agar Kirani pulang dulu. Sudah empat bulan semenjak ia bekerja di sini belum pernah pulang kampung. Ibu dan adik-adiknya kangen katanya. Ya, sudah sekalian ia istirahat pasca kejadian lift itu Papa suruh pulang dulu. Kebetula
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan