Rembulan mengembuskan napasnya perlahan. Saat ini ia dan Ridwan sudah berada dalam satu kamar. Acara resepsi telah selesai dan saat ini Ridwan sedang mandi . Rembulan sendiri sudah mengganti gaun pengantinnya dengan gaun tidur yang sedikit menerawang pemberian Laura. Mendadak ia menyesal mengapa sebelum berangkat ke hotel pagi tadi, ia tidak memeriksa lagi pakaian yang dimasukkan Laura ke dalam kopernya. Rembulan merasa ketegangan yang luar biasa."Lan, kau kenapa?"Rembulan tersentak, ia menoleh dan melihat Ridwan sudah keluar dari kamar mandi dan mengenakan piyama tidur. Dada Rembulan mendadak terasa sesak. Ridwan mendekat dan memeluknya dari belakang sambil mencium teruk leher Rembulan perlahan."Akhirnya, aku bebas untuk mencium dan menyentuhmu," kata Ridwan."Mas, aku..."Ridwan tersenyum lalu perlahan ia membimbing Rembulan berjalan ke ranjang pengantin mereka."Kau mau menonton televisi?" tanyanya. Rembulan melongo, tapi ia tak kuat menahan tawanya. Mereka pun tertawa
Mentari baru saja menyelesaikan laporannya ketika ponselnya berdering. Saat melihat siapa yang menelepon ia pun segera mengangkatnya. Namun, setelah beberapa saat wajahnya berubah pucat. Dengan cepat ia pun segera berlari ke ruangan sang kakak, Buana. "Mas ...." Buana yang baru saja beranjak hendak makan siang langsung mengerutkan dahi saat melihat adiknya masuk dengan wajah panik."Tari, ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanyanya. "Kita harus ke rumah sakit sekarang, Mas.""Siapa yang sakit? Bisma? Papa?" cecar Buana ikut panik. Mentari hanya menggelengkan kepalanya dan segera menarik tangan kakaknya itu dengan cepat. "Kita pakai mobil masing-masing saja, Mas." Buana akhirnya hanya mengikuti saja kemauan sang adik. Saat ini Rembulan dan Ridwan masih dalam perjalanan bulan madu, sementara perusahaan mereka berdua yang mengurus. Mentari yang pintar belajar dengan cepat sehingga perusahaan Suseno pun semakin maju. Buana hanya mengerutkan dahi saat Mentari me
Siang itu Erlangga menepati janjinya. Ia menjenguk Ayunda di rumah sakit jiwa. Kondisi wanita itu masih sama seperti ketika Mentari datang berkunjung. Saat Erlangga datang, Mentari dan Aldo tampak baru saja mengunjungi Ayunda."Kamu sudah bertemu dia?" tanya Erlangga enggan menyebutkan nama Ayunda. Mentari hanya mengangguk."Iya, Mas. Kondisinya masih sama dan menurut dokter setiap hari dia selalu menceritakan tentang anaknya yang bernama Erlangga. Sebaiknya kamu melihatnya." Erlangga menganggukkan kepalanya."Jangan dulu pulang, kita bisa bicara kan?" tanyanya kepada sang adik. Mentari menatap ke arah Aldo dan saat sang suami menganggukkan kepalanya ia pun mengiyakan permintaan Erlangga. Erlangga pun segera melangkah ke ruangan di mana Ayunda dirawat. Tanpa terasa air matanya menetes perlahan. "Kamu nggak perlu menghukum dirimu seperti ini, Nyonya. Kamu hanya perlu bertobat dan meminta ampunan kepada Tuhan." Mendengar suara Erlangga, pandangan
_ 5 TAHUN KEMUDIAN_Tak terasa pernikahan Mentari dan Aldo menikah sudah lima tahun. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan sangat baik dan begitu mesra. Pagi itu, Mentari terbangun dengan perasaan yang sedikit tidak nyaman. Ia merasa seminggu ini dia begitu mudah lelah."Kenapa sayang?" tanya Aldo saat melihat sang istri kembali berbaring lagi setelah solat subuh bersama."Tidak tau, Mas. Aku rasanya tidak enak badan. Tadi,saat aku masak aroma masakan itu membuat aku mual dan pusing. Jadi, aku minta Inem yang melanjutkan. Tidak apa-apa, kan?"Aldo tersenyum, ia meraba dahi Mentari, tidak demam tapi ia melihat wajah Mentari tampak pucat."Kamu ini istriku, bukan chef atau asisten rumah tangga yang harus selalu siap memasak. Kita ke dokter, ya?""Aku mungkin hanya masuk a..."Tiba-tiba Mentari merasa mual yang luar biasa, ia bergegas bangkit dan langsung ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Demi melihat kondisi sang istri, Aldo langsung menyusul ia mengurut tengkuk
Ridwan dan Rembulan kebetulan memang sedang berada di rumah hanya tertawa mendengar cerita Aldo tentang sang istri."Mangga muda? Kamu mampir saja kemari, pohon manggaku kebetulan sedang berbuah. Dan, kalau tidak salah ada beberapa yang masih mengkal dan pasti asam rasanya. Mampirlah, biar aku pilih yang muda dan mengkal," kata Ridwan. Aldo langsung bersemangat, ia pun bergegas mengemudikan mobilnya menuju ke rumah Ridwan.Sesampainya di rumah Ridwan, ternyata iparnya itu sudah menunggu."Maaf merepotkan, Wan. Tadinya aku mau mencarinya ke toko buah. Tapi...""Memang begitu wanita jika sedang ngidam," jawab Ridwan sambil tersenyum."Beberapa hari ini, aku memang melihat Mentari sering muntah-muntah. Tapi, aku pikir hanya masuk angin biasa saja. Tiba-tiba tadi pagi ia langsung jatuh pingsan. Aku benar-benar panik.""Kamu harus lebih memperhatikannya. Wanita disaat sedang hamil terlebih di trimester pertama biasanya mudah marah, mudah menangis. Mood nya harus benar-benar kamu jaga.""
Hari ini Aldo dan Mentari tampak rapi. Mereka akan menghadiri pesta pernikahan Kendric sahabat Aldo. Ya, Kendric akan menikah dengan wanita pilihan Sita yang bernama Herlina. Sebenarnya, Aldo sedikit khawatir dengan kondisi Mentari. Tapi, setelah bertanya kepada dokter Elvira , Aldo pun berani membawa Mentari ke pesta pernikahan. Lagipula Mentari juga merasa tidak enak jika tidak menghadiri pernikahan sahabat baik sang suami."Kita hanya sebentar saja di sana ya, sayang. Aku tidak mau kau terlalu lelah. Dan kau juga tidak boleh mengenakan sepatu tinggi. Ingat, dokter Elvira menganjurkan untuk memakai flat shoes.""Iya, Mas. Kita hanya sebentar saja kesana. Setelah itu kita langsung pulang. Lagipula, seminggu ini aku hanya berbaring seharian sambil menonton, aku ingin keluar sebentar saja," kata Mentari.Aldo tersenyum dan memeluk Mentari, perlahan ia mengelus perut Mentari yang masih rata dan mendekatkan wajahnya pada perut sang istri."Hai jagoan papa, kamu harus sehat di perut Mama
Mentari hanya tersenyum dan mendekat kemudian masuk ke dalam pelukan Aldo. Dibiarkannya Aldo membelai perutnya dengan mesra."Mas, jika terjadi sesuatu denganku lalu kau harus memilih, siapa yang akan kau pilih? Aku atau anak kita?" tanya Mentari."Jangan pernah bertanya sesuatu hal yang aku tidak bisa menjawabnya Mentari. Kau dan anakku adalah harta yang terindah dalam hidupku. Aku tidak bisa memilih salah satu dari kalian berdua.""Aku kan hanya bertanya, Mas."Tiba-tiba saja Mentari melihat suami tercintanya itu menitikkan air mata."Jangan, Ri. Aku selalu meminta pada Tuhan supaya kau dan anak kita sehat dan selamat. Aku ingin melihatmu menggendong anak kita. Aku ingin kita merawat dan membesarkan anak kita bersama, kemudian kita akan menua bersama. Kau adalah segalanya buatku Mentari," kata Aldo dengan suara yang bergetar karena air mata. Mentari terharu melihat kesungguhan di mata Aldo. Ia pun memeluk suaminya dengan erat sambil memejamkan matanya."Kau kenapa, Ri? Apa ada yang
Shanghai memang terkenal sebagai pusat wisata. Shanghai Centre Theatre adalah salah satunya. Mentari dan Aldo pun memutuskan untuk menikmati hiburan yang berbeda dengan tontonan yang lain. Mereka sangat terhibur dengan pertunjukan acrobat yang mengusung kelas dunia. Penampilan para pemainnya tidak perlu di ragukan.Karena mereka sudah sangat terlatih. Mereka menggunakan gerakan-gerakan yang sangat eksotis, untuk koreografer, Mentari pun merasa sangat terhibur. Karena koreografer yang di sajikan memang sangat mengagumkan. Wisata acrobat ini memang sangat terkenal di China, karena itulah Mentari memilih Shanghai sebagai destinasi Baby Moon mereka.Setelah menikmati tontonan yang menarik, Fengying mengajak mereka ke Pasar malam kuliner Changli.Pasar malam di Shanghai ini sering dikunjungi oleh wisatawan dan penduduk setempat yang rela antri untuk melahap daging ayam dan kebab makanan laut bakar saat mayoritas penduduk di kota itu tertidur lelap. Tempat ini merupakan tempat yang disukai t