Langit di atas medan perang berwarna kelam, seakan menyerap aura mencekam yang menyelimuti seluruh pasukan. Angin bertiup kencang, membawa aroma darah dan baja yang bercampur dengan debu pertempuran. Li Feng berdiri tegak di garis depan, menggenggam Pedang Naga Langit dengan erat. Namun, kata-kata panglima musuh tadi masih bergema di dalam pikirannya.
"Binatang liar yang akan membantai semua orang, termasuk pasukanmu sendiri…" Darahnya berdesir. Apakah benar? Apakah ia akan kehilangan kendali? Namun, tak ada waktu untuk ragu. Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh tegap dengan jubah merah menyala menunggangi kuda hitam. Dia adalah Pangeran Wu Tian, putra mahkota dari Kerajaan Selatan—seorang ahli pedang yang dikenal kejam dan tak kenal ampun. Wu Tian tersenyum sinis, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Li Feng, mari kita lihat apakah kau benar-benar layak disebut legenda!" Tanpa aba-aba, Wu Tian meAngin malam berdesir dingin, membelai wajah para prajurit yang terpaku di tempat mereka. Kilauan perak Pedang Naga Langit memantulkan sinar bulan, menciptakan bayangan yang bergetar di tanah berdebu. Li Feng berdiri di tengah lingkaran pasukan Kekaisaran, dadanya naik turun, sementara matanya memerah, terperangkap dalam bisikan yang terus menghantui pikirannya. “BUNUH… HABISI MEREKA… TIDAK ADA YANG BISA DIPERCAYA…” Bisikan itu bergema di telinganya, mengiris kesadarannya dengan kejam. Jari-jarinya menggenggam gagang pedang dengan erat, tetapi lengannya bergetar seolah bertarung melawan dirinya sendiri. “Li Feng… jangan lakukan ini…” salah satu perwira pasukan Kekaisaran bersuara, suaranya dipenuhi ketakutan dan kebimbangan. Wu Tian, dengan senyum miringnya, melangkah maju. "Haha! Lihatlah! Pendekar besar Kekaisaran, sang pahlawan perang, kini berubah menjadi algojo bagi pasukannya sendiri!" serunya, suaranya bergema di anta
Li Feng berdiri dengan pedang di tangannya, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuhnya, seolah-olah ribuan jarum menusuk kulitnya. Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Sorak sorai para prajurit di sekelilingnya terdengar samar di telinganya. Kemenangan telah diraih, tetapi sesuatu yang mengerikan menggerogoti tubuhnya dari dalam. "Li Feng!" suara Panglima Wei menggema di tengah medan pertempuran yang telah reda. Ia berlari ke arah pemuda itu, ekspresinya penuh kekhawatiran. Li Feng membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba pandangannya mengabur. Lututnya melemas dan tubuhnya ambruk ke tanah. "Li Feng!" Para prajurit yang baru saja bersorak kini bergegas menghampiri pemimpin mereka yang jatuh tak sadarkan diri. Pedang Naga Langit yang ia genggam pun tergelincir dari tangannya dan tertanam di tanah berlumuran darah. Di dalam istana kekaisar
Kegelapan menyelimuti ibu kota ketika Jenderal Zhao berdiri di balkon kediamannya, menatap bulan yang separuh tertutup awan. Malam itu, pikirannya dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Li Feng. Ia telah menunggu terlalu lama, dan kini saatnya bertindak sebelum pemuda itu semakin berkuasa. Di dalam ruangan, beberapa pejabat berpangkat tinggi telah berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Jenderal Zhao, mereka yang merasa terancam dengan kehadiran Li Feng yang semakin dekat dengan Kaisar. “Kita tidak bisa lagi menunggu,” kata Jenderal Zhao dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan. “Li Feng harus disingkirkan sebelum ia memiliki pengaruh lebih besar di istana.” Seorang pejabat tua, Menteri Lu, mengangguk. “Kaisar tampaknya semakin mempercayai bocah itu. Jika ia diberi kekuasaan lebih, kita semua dalam bahaya.” “Bagaimana rencana kita?” tanya seorang jenderal lain, alisnya berkerut. Jenderal Zhao
Langit ibu kota tampak kelabu saat Li Feng berjalan melewati gerbang istana. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seakan mencerminkan suasana hatinya yang tengah dipenuhi kegelisahan. Ia dipanggil oleh Kaisar secara mendadak, sebuah kejadian yang jarang terjadi kecuali ada hal penting yang harus dibahas. Di sepanjang koridor istana, para kasim dan pelayan menundukkan kepala saat ia lewat, tetapi Li Feng dapat merasakan tatapan-tatapan tersembunyi di antara mereka. Bisik-bisik lirih terdengar di kejauhan, tetapi ia mengabaikannya. Pikirannya terlalu dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang akan ia hadapi di hadapan Kaisar. Ketika akhirnya ia tiba di Balairung Naga Emas, dua prajurit penjaga membuka pintu besar itu. Di dalamnya, sang Kaisar duduk di atas singgasana megahnya, mengenakan jubah kuning keemasan yang memancarkan kewibawaan. Di sebelahnya, Jenderal Zhao berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata mereka bertemu sejenak, dan dalam tata
Angin malam berembus pelan di istana kekaisaran, membawa aroma dupa yang masih menyala di sudut aula utama. Li Feng berdiri tegak di hadapan Kaisar, matanya penuh keteguhan. Di sekelilingnya, para pejabat tinggi dan jenderal terkemuka memperhatikannya dengan ekspresi beragam—ada yang penasaran, ada yang khawatir, dan ada pula yang jelas-jelas mengharapkan kehancurannya. Kaisar sendiri tampak tenang, wajahnya sulit terbaca. Di tangannya, cawan emas berisi anggur merah berkilauan di bawah cahaya lentera. Tawaran yang baru saja ia lontarkan masih menggantung di udara, menunggu jawaban dari Li Feng. "Yang Mulia," Li Feng membuka suara, nadanya penuh hormat, namun tak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. "Saya menghargai anugerah yang diberikan kepada saya, tetapi saya harus menolak tawaran ini." Ruangan mendadak hening. Beberapa pejabat terkejut, beberapa lainnya menahan napas. Jenderal Zhao yang berdiri di sisi kanan Kaisar menyeringai tipi
Matahari baru saja beranjak dari peraduannya, menyinari atap-atap jerami yang basah oleh embun pagi. Desa Ping An masih terlelap dalam keheningan, kecuali satu tempat—balai desa, tempat para tetua berkumpul untuk membicarakan hal yang dianggap penting. Dan pagi ini, yang menjadi bahan pembicaraan mereka adalah seorang pemuda bernama Li Feng. “Anak itu benar-benar keras kepala! Sudah tahu dirinya miskin, malah bermimpi tinggi!” seru salah satu tetua, wajahnya dipenuhi kerutan yang mencerminkan usianya yang telah senja. “Apa yang bisa diharapkan dari bocah seperti dia?” sahut yang lain, disambut anggukan dari para hadirin. “Ayahnya sudah mati di medan perang, ibunya sakit-sakitan, dan dia sendiri tidak punya keahlian apa pun selain menghabiskan nasi.” Di sudut ruangan, seorang pemuda berdiri dengan tangan mengepal. Wajahnya masih muda, tetapi sorot matanya tajam, penuh tekad yang belum goyah meski dihujani hinaan. Itulah Li Feng. “Aku tidak akan selamanya jadi orang miskin,” katanya
Langit masih gelap saat Li Feng meninggalkan Desa Ping An. Udara pagi menusuk tulang, embun menggantung di ujung dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur dengan harum kayu bakar yang masih menyala dari rumah-rumah warga. Ia melangkah mantap, meski hatinya masih berat meninggalkan ibunya yang sakit. "Ibu, aku berjanji akan kembali dengan membawa kehormatan," bisiknya dalam hati. Langkah kakinya terdengar di jalan berbatu yang mulai menjauh dari desa. Ia hanya membawa sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga, selembar kain yang membungkus beberapa potong roti kering, dan kantong kecil berisi koin perak yang ia kumpulkan dari bekerja di ladang. Itu saja bekalnya untuk perjalanan yang entah akan berakhir di mana. Di Tepi Hutan Guangming Setelah berjalan hampir seharian, Li Feng tiba di tepi Hutan Guangming. Hutan ini terkenal dengan jalurnya yang berliku dan rumor tentang bandit yang sering merampok para pelancong. Namun, tak ada jalan lain menuju ibu kota tanpa melewati tempat ini. "
Malam itu, angin musim gugur berembus lembut di sepanjang jalanan ibu kota. Cahaya lentera berpendar keemasan, menerangi trotoar batu yang ramai oleh pedagang kaki lima dan pengunjung kedai. Li Feng berdiri di depan Kedai Tianxiang, sebuah bangunan dua lantai yang cukup besar, dengan aroma harum masakan yang menguar dari dapurnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Di dalam, suasana penuh riuh rendah. Para pelanggan menikmati makanan mereka sambil bercakap-cakap, sementara pelayan berlalu-lalang membawa nampan penuh mangkuk dan teko arak. Seorang pria bertubuh kekar, dengan lengan tergulung dan celemek yang tampak kotor karena percikan minyak, menatap Li Feng dengan mata tajam. "Kau siapa?" suara pria itu berat dan berwibawa. Li Feng membungkuk dengan hormat. "Nama saya Li Feng. Saya datang untuk mencari pekerjaan." Pria itu menyipitkan mata, mengamati pakaian Li Feng yang lusuh dan wajahnya yang terlihat lelah setelah perjalanan panjang. "Hah! Apa kau bisa bek
Angin malam berembus pelan di istana kekaisaran, membawa aroma dupa yang masih menyala di sudut aula utama. Li Feng berdiri tegak di hadapan Kaisar, matanya penuh keteguhan. Di sekelilingnya, para pejabat tinggi dan jenderal terkemuka memperhatikannya dengan ekspresi beragam—ada yang penasaran, ada yang khawatir, dan ada pula yang jelas-jelas mengharapkan kehancurannya. Kaisar sendiri tampak tenang, wajahnya sulit terbaca. Di tangannya, cawan emas berisi anggur merah berkilauan di bawah cahaya lentera. Tawaran yang baru saja ia lontarkan masih menggantung di udara, menunggu jawaban dari Li Feng. "Yang Mulia," Li Feng membuka suara, nadanya penuh hormat, namun tak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. "Saya menghargai anugerah yang diberikan kepada saya, tetapi saya harus menolak tawaran ini." Ruangan mendadak hening. Beberapa pejabat terkejut, beberapa lainnya menahan napas. Jenderal Zhao yang berdiri di sisi kanan Kaisar menyeringai tipi
Langit ibu kota tampak kelabu saat Li Feng berjalan melewati gerbang istana. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seakan mencerminkan suasana hatinya yang tengah dipenuhi kegelisahan. Ia dipanggil oleh Kaisar secara mendadak, sebuah kejadian yang jarang terjadi kecuali ada hal penting yang harus dibahas. Di sepanjang koridor istana, para kasim dan pelayan menundukkan kepala saat ia lewat, tetapi Li Feng dapat merasakan tatapan-tatapan tersembunyi di antara mereka. Bisik-bisik lirih terdengar di kejauhan, tetapi ia mengabaikannya. Pikirannya terlalu dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang akan ia hadapi di hadapan Kaisar. Ketika akhirnya ia tiba di Balairung Naga Emas, dua prajurit penjaga membuka pintu besar itu. Di dalamnya, sang Kaisar duduk di atas singgasana megahnya, mengenakan jubah kuning keemasan yang memancarkan kewibawaan. Di sebelahnya, Jenderal Zhao berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata mereka bertemu sejenak, dan dalam tata
Kegelapan menyelimuti ibu kota ketika Jenderal Zhao berdiri di balkon kediamannya, menatap bulan yang separuh tertutup awan. Malam itu, pikirannya dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Li Feng. Ia telah menunggu terlalu lama, dan kini saatnya bertindak sebelum pemuda itu semakin berkuasa. Di dalam ruangan, beberapa pejabat berpangkat tinggi telah berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Jenderal Zhao, mereka yang merasa terancam dengan kehadiran Li Feng yang semakin dekat dengan Kaisar. “Kita tidak bisa lagi menunggu,” kata Jenderal Zhao dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan. “Li Feng harus disingkirkan sebelum ia memiliki pengaruh lebih besar di istana.” Seorang pejabat tua, Menteri Lu, mengangguk. “Kaisar tampaknya semakin mempercayai bocah itu. Jika ia diberi kekuasaan lebih, kita semua dalam bahaya.” “Bagaimana rencana kita?” tanya seorang jenderal lain, alisnya berkerut. Jenderal Zhao
Li Feng berdiri dengan pedang di tangannya, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuhnya, seolah-olah ribuan jarum menusuk kulitnya. Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Sorak sorai para prajurit di sekelilingnya terdengar samar di telinganya. Kemenangan telah diraih, tetapi sesuatu yang mengerikan menggerogoti tubuhnya dari dalam. "Li Feng!" suara Panglima Wei menggema di tengah medan pertempuran yang telah reda. Ia berlari ke arah pemuda itu, ekspresinya penuh kekhawatiran. Li Feng membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba pandangannya mengabur. Lututnya melemas dan tubuhnya ambruk ke tanah. "Li Feng!" Para prajurit yang baru saja bersorak kini bergegas menghampiri pemimpin mereka yang jatuh tak sadarkan diri. Pedang Naga Langit yang ia genggam pun tergelincir dari tangannya dan tertanam di tanah berlumuran darah. Di dalam istana kekaisar
Angin malam berdesir dingin, membelai wajah para prajurit yang terpaku di tempat mereka. Kilauan perak Pedang Naga Langit memantulkan sinar bulan, menciptakan bayangan yang bergetar di tanah berdebu. Li Feng berdiri di tengah lingkaran pasukan Kekaisaran, dadanya naik turun, sementara matanya memerah, terperangkap dalam bisikan yang terus menghantui pikirannya. “BUNUH… HABISI MEREKA… TIDAK ADA YANG BISA DIPERCAYA…” Bisikan itu bergema di telinganya, mengiris kesadarannya dengan kejam. Jari-jarinya menggenggam gagang pedang dengan erat, tetapi lengannya bergetar seolah bertarung melawan dirinya sendiri. “Li Feng… jangan lakukan ini…” salah satu perwira pasukan Kekaisaran bersuara, suaranya dipenuhi ketakutan dan kebimbangan. Wu Tian, dengan senyum miringnya, melangkah maju. "Haha! Lihatlah! Pendekar besar Kekaisaran, sang pahlawan perang, kini berubah menjadi algojo bagi pasukannya sendiri!" serunya, suaranya bergema di anta
Langit di atas medan perang berwarna kelam, seakan menyerap aura mencekam yang menyelimuti seluruh pasukan. Angin bertiup kencang, membawa aroma darah dan baja yang bercampur dengan debu pertempuran. Li Feng berdiri tegak di garis depan, menggenggam Pedang Naga Langit dengan erat. Namun, kata-kata panglima musuh tadi masih bergema di dalam pikirannya. "Binatang liar yang akan membantai semua orang, termasuk pasukanmu sendiri…" Darahnya berdesir. Apakah benar? Apakah ia akan kehilangan kendali? Namun, tak ada waktu untuk ragu. Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh tegap dengan jubah merah menyala menunggangi kuda hitam. Dia adalah Pangeran Wu Tian, putra mahkota dari Kerajaan Selatan—seorang ahli pedang yang dikenal kejam dan tak kenal ampun. Wu Tian tersenyum sinis, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Li Feng, mari kita lihat apakah kau benar-benar layak disebut legenda!" Tanpa aba-aba, Wu Tian me
Langit malam di perkemahan militer kelam tanpa bintang. Api unggun menyala redup, menari-nari dalam hembusan angin dingin yang membawa aroma besi dan darah. Li Feng duduk di dalam tendanya, memijat pelipisnya yang terasa berat. Kabut kegelisahan menyelubungi pikirannya setelah mendengar kabar dari mata-mata. Panglima Agung dari Utara sedang dalam perjalanan ke medan perang. Bibirnya mengerut tipis, matanya menyipit, menatap peta strategi yang terbentang di hadapannya. "Jika Batu Temur saja sekuat ini... lalu seperti apa kekuatan Panglima Agung?" Bayangan sosok lawan yang belum pernah ia lihat membayangi benaknya. Ia telah melihat sendiri kedahsyatan Batu Temur, seorang jenderal yang tak hanya memiliki kekuatan fisik luar biasa, tetapi juga strategi pertempuran yang licik. Panglima Agung pasti jauh lebih menakutkan. Li Feng menghela napas panjang. Ia butuh istirahat sebelum pertempuran esok hari
Angin dingin dari utara berhembus kencang, membawa butiran salju yang menyelimuti medan pertempuran. Li Feng berdiri tegap, tatapan matanya tajam menatap lawannya yang datang dari kejauhan. Di hadapannya berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, mengenakan mantel bulu tebal dengan lambang suku utara di dada. "Aku telah mendengar tentangmu, pendekar dari selatan," suara pria itu berat dan dalam, menggema di antara tiupan angin. "Namaku Batu Temur, salah satu dari lima panglima perang Suku Serigala Salju. Kaisarmu mengira kau bisa menghentikan kami? Aku akan buktikan sebaliknya." Li Feng tetap diam, membiarkan angin menggoyangkan ujung jubahnya. Dari cara Batu Temur berdiri, ia tahu lawannya adalah tipe petarung berbasis kekuatan. Seorang pejuang dari suku utara biasanya memiliki tubuh yang lebih besar, tenaga yang luar biasa, dan ketahanan terhadap rasa sakit yang mengerikan. Melawan lawan seperti ini, kekuatan fisik saja tak cukup. "Apa
Hujan tipis mengguyur halaman belakang istana, menambah kesan muram pada malam yang semakin larut. Bayangan lentera berayun pelan, menyorot sosok seorang gadis berpakaian sutra merah dengan tudung menutupi kepalanya. Putri Ling’er melangkah hati-hati di antara koridor yang gelap, sesekali menoleh ke belakang memastikan tak ada yang mengikuti. Di sebuah sudut yang terlindung dari pandangan penjaga, seorang pria berdiri tegak dengan pedang tersarung di punggungnya. Matanya tajam mengamati sosok yang mendekat. “Putri Ling’er…” Li Feng menundukkan kepala dengan hormat. “Kenapa Anda memintaku datang ke tempat ini di tengah malam?” Ling’er menatapnya dengan ekspresi tegang, seakan ada beban berat yang ia pikul. “Li Feng, aku tak punya banyak waktu. Aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting.” Li Feng mengernyit. “Tentang apa?” Putri Ling’er menarik napas dalam, suaranya bergetar. “Jenderal Zhao… Dia berenc