Malam itu, saat Li Feng tertidur lelap di kamarnya, bayangan hitam melompat masuk melalui jendela tanpa suara. Belati tajamnya terhunus, mengarah tepat ke leher Li Feng yang terlelap. Namun, tepat sebelum belati itu menyentuh kulitnya, mata Li Feng terbuka lebar. Dengan refleks kilat, ia menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari serangan mematikan itu. "Siapa kau?!" seru Li Feng sambil melompat bangun, matanya menatap tajam ke arah penyerang. Bayangan itu tidak menjawab, hanya melangkah maju dengan gerakan lincah, menyerang kembali dengan kecepatan yang menakjubkan. Li Feng menghunus pedangnya yang terletak di samping tempat tidur, menangkis serangan demi serangan dalam kegelapan malam. Pertarungan sengit terjadi di dalam kamar sempit itu. Kedua belah pihak menunjukkan keahlian bela diri yang tinggi. Li Feng merasakan bahwa lawannya bukanlah penyerang biasa; gerakannya terlatih dan mematikan. Tiba-tiba, penyerang melompat mundur, berdiri di dekat jendela. Cahaya bulan yang mas
Sebelum Li Feng sempat bereaksi, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dari balik punggung Jenderal Zhao, sebuah senjata rahasia melesat menuju dadanya. Mata Li Feng membelalak. Jarum beracun! Refleksnya bekerja lebih cepat dari pikirannya. Dengan gerakan secepat kilat, ia memiringkan tubuhnya, nyaris menghindari serangan itu. Namun, satu jarum berhasil menggores bahunya, meninggalkan sensasi panas yang langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. "Heh, kau pikir aku akan membiarkanmu menang begitu saja?" Jenderal Zhao menyeringai, tatapannya penuh kemenangan. Li Feng merasakan tubuhnya melemah seketika. Racun! Napasnya mulai tersengal, sementara keringat dingin membasahi pelipisnya. Namun, ia tidak bisa kalah sekarang. Tidak di hadapan begitu banyak orang yang menyaksikan pertarungan ini. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menggenggam pedangnya lebih erat. Tatapan matanya masih tajam, meski tubuhnya mulai kehilangan kendali. Zhao mengangkat pedangnya tinggi, bersiap memberikan
Kelelahan dan Bayangan yang Mengintai Langit malam menampakkan sinar rembulan yang redup saat Li Feng berjalan tertatih kembali ke asramanya. Tubuhnya terasa berat, tidak hanya karena pertarungan sengit yang baru saja ia jalani, tetapi juga karena efek sisa racun yang masih mengendap dalam darahnya. Meskipun ia telah mengonsumsi penawar, sisa-sisa racun itu masih menimbulkan kelelahan dan sedikit rasa mual. Li Feng duduk di atas tikar jerami di dalam kamarnya. Cahaya lilin yang redup menari-nari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Ia menatap tangannya. Telapak tangannya masih gemetar ringan, bukan karena ketakutan, tetapi karena tubuhnya masih dalam kondisi belum pulih sepenuhnya. Aku menang, tetapi aku tidak boleh lengah. Ini baru awal dari turnamen. Namun, satu hal yang lebih mengganggunya adalah perasaan tidak nyaman yang terus mengikutinya sejak ia meninggalkan arena. Ia merasa diawasi. Dengan cepat, ia menajamkan indranya, memperluas kesada
Sorak-sorai penonton masih menggema di udara saat Li Feng berjalan keluar dari arena. Napasnya masih sedikit berat setelah pertarungan sengit melawan Wei Han. Namun, yang lebih mengganggunya adalah perasaan tidak nyaman yang terus membayangi pikirannya.Ia tahu ada seseorang yang mengawasinya. Dan kali ini, ia semakin yakin bahwa orang itu bukan sekadar penonton biasa.Saat ia melewati lorong menuju asramanya, seorang pria bertubuh kekar dengan jubah coklat berdiri di ujung lorong, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Li Feng, seolah menunggu kedatangannya.Li Feng memperlambat langkahnya, tetap waspada.“Li Feng,” pria itu akhirnya berbicara, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Kau masih ingat Kedai Tianxiang?”Mata Li Feng menyipit. Itu adalah nama sebuah kedai di kota kecil yang pernah ia kunjungi beberapa bulan lalu. Saat itu, ia terlibat perkelahian dengan seorang pendekar bayaran
Li Feng berdiri di tengah arena, napasnya masih teratur meskipun tubuhnya sudah mulai merasakan kelelahan setelah melewati beberapa pertarungan sebelumnya. Lawannya kali ini bukan orang sembarangan—seorang pendekar terkenal dengan teknik pedang yang begitu cepat hingga nyaris tidak terlihat oleh mata biasa. Orang-orang yang berkumpul di sekitar arena bergumam, sebagian besar yakin bahwa kali ini Li Feng tidak akan mampu menang. “Li Feng benar-benar sudah di ujung tanduk. Lawannya kali ini adalah Bai Shen, pendekar yang pernah membunuh sepuluh orang dalam satu serangan,” bisik seorang pria berbaju biru di antara penonton. Bai Shen, lelaki bertubuh ramping dengan pakaian serba putih, tersenyum tipis. Pedangnya, yang tipis dan panjang, mengeluarkan suara berdengung saat digerakkan dengan kecepatan tinggi. “Kau telah membuat keajaiban, anak muda,” ucap Bai Shen dengan suara yang terdengar tenang, tetapi penuh tekanan. “Tapi di
Sorakan membahana di arena. Ribuan pasang mata tertuju ke tengah gelanggang, tempat Li Feng berdiri dengan napas memburu. Keringat menetes di pelipisnya, sementara lawannya, seorang pendekar berbadan besar bernama Huang Jie, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan luar biasa. Huang Jie bukan lawan sembarangan. Ia bukan hanya kuat secara fisik, tetapi juga memiliki pengalaman bertarung yang jauh lebih banyak dibandingkan Li Feng. Tapi bukan itu yang membuat Li Feng curiga. Ada sesuatu yang aneh dalam pertandingan ini—sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Di bangku kehormatan, Jenderal Zhao duduk dengan ekspresi dingin. Senyum samar tersungging di bibirnya saat melihat Li Feng berada dalam posisi sulit. Tak jauh dari sana, Kaisar memperhatikan pertandingan dengan tatapan tajam, seolah sedang menilai sesuatu yang lebih dari sekadar pertarungan. Li Feng menarik napas dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya. Ia tahu, jika ia tidak berhati
Hujan tipis mengguyur halaman belakang istana, menambah kesan muram pada malam yang semakin larut. Bayangan lentera berayun pelan, menyorot sosok seorang gadis berpakaian sutra merah dengan tudung menutupi kepalanya. Putri Ling’er melangkah hati-hati di antara koridor yang gelap, sesekali menoleh ke belakang memastikan tak ada yang mengikuti. Di sebuah sudut yang terlindung dari pandangan penjaga, seorang pria berdiri tegak dengan pedang tersarung di punggungnya. Matanya tajam mengamati sosok yang mendekat. “Putri Ling’er…” Li Feng menundukkan kepala dengan hormat. “Kenapa Anda memintaku datang ke tempat ini di tengah malam?” Ling’er menatapnya dengan ekspresi tegang, seakan ada beban berat yang ia pikul. “Li Feng, aku tak punya banyak waktu. Aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting.” Li Feng mengernyit. “Tentang apa?” Putri Ling’er menarik napas dalam, suaranya bergetar. “Jenderal Zhao… Dia berenc
Angin dingin dari utara berhembus kencang, membawa butiran salju yang menyelimuti medan pertempuran. Li Feng berdiri tegap, tatapan matanya tajam menatap lawannya yang datang dari kejauhan. Di hadapannya berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, mengenakan mantel bulu tebal dengan lambang suku utara di dada. "Aku telah mendengar tentangmu, pendekar dari selatan," suara pria itu berat dan dalam, menggema di antara tiupan angin. "Namaku Batu Temur, salah satu dari lima panglima perang Suku Serigala Salju. Kaisarmu mengira kau bisa menghentikan kami? Aku akan buktikan sebaliknya." Li Feng tetap diam, membiarkan angin menggoyangkan ujung jubahnya. Dari cara Batu Temur berdiri, ia tahu lawannya adalah tipe petarung berbasis kekuatan. Seorang pejuang dari suku utara biasanya memiliki tubuh yang lebih besar, tenaga yang luar biasa, dan ketahanan terhadap rasa sakit yang mengerikan. Melawan lawan seperti ini, kekuatan fisik saja tak cukup. "Apa
Li Feng berjalan perlahan, kaki terasa berat seperti membawa beban dunia. Di depannya, langit senja perlahan berubah menjadi kelam, menyelimuti desa yang telah lama ia tinggalkan. Suasana kedai Tianxiang kini terasa sangat berbeda. Tanpa orang-orang yang biasa berkerumun, tanpa suara tawa atau canda, semuanya terasa sunyi dan hampa. Sudah lama sekali sejak Li Feng meninggalkan tempat ini. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan pertarungan dan penderitaan, ia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi titik awal hidupnya yang baru. Tempat yang, meskipun tidak besar, menyimpan kenangan akan masa-masa yang telah berlalu. Setiap langkah terasa seakan membawa kembali semua kenangan pahit dan manis yang pernah ia alami di sini. Bagaimana ia dulu bekerja sebagai tukang cuci piring, berjuang untuk sekadar bertahan hidup, dan bagaimana semua itu berubah setelah pertemuannya dengan Putri Ling’er, Pedang Naga Langit, dan semua musuh yang mengejarnya.
Hutan berkabut itu terasa lebih pekat dari biasanya. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dengan cabang-cabangnya yang rapat, menghalangi cahaya matahari yang hanya sedikit menembus. Udara dingin dan lembap menyelimuti sekujur tubuh Li Feng, membuatnya merasa seolah-olah hutan ini bukan tempat biasa. Sesuatu yang gelap, yang tak terlihat, mengintai setiap gerakannya. Jantungnya berdegup kencang, dan dalam keheningan yang mencekam itu, ia bisa merasakan adanya mata yang terus mengawasi. "Apa yang kau rasakan, Li Feng?" suara itu muncul dalam benaknya, suara yang sama yang tidak pernah ia lupakan—suara Pedang Naga Langit. Suara yang seolah-olah berasal dari dalam jiwanya sendiri, namun selalu berhasil membuatnya terperangah. Kali ini, suara itu terdengar seperti bisikan yang penuh desakan. "Aku merasakan bahaya. Sesuatu yang mengintai... yang akan datang." Li Feng menatap pedang di tangannya dengan penuh keraguan. Selama ini pedang itu selalu
Li Feng merasakan hawa dingin yang menusuk tulang menembus tubuhnya. Malam itu, langit di atas Gunung Esmeralda begitu gelap, hanya diterangi oleh pendar cahaya redup dari pedangnya yang kini tergeletak di tanah. Dalam keheningan yang hampir mencekam, pikirannya terperangkap oleh bayang-bayang yang terus menghantuinya. Bayang-bayang yang berasal dari kutukan Pedang Naga Langit, dan lebih lagi, bayang-bayang yang berasal dari dirinya sendiri.Tapi saat ini, ada sesuatu yang lebih besar yang mengancamnya. Sesuatu yang lebih mengerikan dari apapun yang pernah ia hadapi sebelumnya.Di kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Lambat, namun pasti. Semakin mendekat, semakin jelas. Langkah itu datang dari arah yang tak terduga. Dari kegelapan yang penuh misteri. Hanya suara itu yang terdengar, meski segala sesuatu di sekelilingnya tetap sunyi. Li Feng mendongak dan melihat sosok yang berdiri di atas batu besar, memandang ke arahnya. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang mel
Malam itu, angin dingin berhembus kencang di Gunung Ranjing, membawa aroma hutan basah dan keheningan yang dalam. Li Feng berdiri di tepi jurang, memandangi langit yang gelap, di mana bintang-bintang tampak pudar di balik kabut yang mulai turun. Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah mengingatkan akan beban yang harus ia tanggung. Tangannya gemetar, namun ia tetap menggenggam erat, tak mau melepaskannya.Putri Ling’er berdiri di belakangnya, dengan mata yang penuh keraguan. Ia tahu betul bahwa perjalanan ini sudah berada di ujungnya. Namun, yang membuat hatinya semakin berat adalah kenyataan bahwa Li Feng kini berada di persimpangan jalan yang tak bisa lagi dihindari. Kutukan pedang itu semakin mencekik mereka berdua.“Li Feng…” suara Ling’er terdengar pelan, namun mengandung beban yang begitu besar. Ia berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di belakangnya, dan menatap punggung pemuda itu. “Kita harus berhenti. Kau tak bisa terus sepert
Hujan gerimis masih mengguyur hutan lebat di perbatasan utara Kekaisaran. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Di antara kabut yang menggantung rendah, tiga sosok berdiri dalam lingkaran batu kuno yang terukir dengan simbol-simbol tua. Li Feng menggenggam Pedang Naga Langit erat-erat. Di depannya, dua orang tua berjubah hitam berdiri diam bagaikan arca. Mata mereka—tajam dan penuh kenangan—menatapnya tanpa berkedip. Mereka adalah pemilik dua pedang kembar: Pedang Angin dan Pedang Petir. Merekalah dua penjaga rahasia terdalam dunia persilatan. Dan kini, rahasia itu terkuak. "Jadi... kalian bilang darahku berasal dari garis keturunan yang mengikat tiga pedang ini?" Li Feng bertanya, suaranya lirih namun bergetar. Orang tua berjanggut putih, pemilik Pedang Angin, mengangguk pelan. "Bukan sekadar berasal. Kau adalah warisan terakhir dari klan Leluhur Langit. Tiga pedang ini—Naga, Angin, dan Petir—diciptakan untuk sat
Kabut tipis menyelimuti puncak Gunung Ranjing saat matahari mulai tergelincir ke balik cakrawala. Udara menggigit tulang, dan hembusan angin yang menusuk seolah ingin menyingkap rahasia yang telah lama terkubur di puncak sunyi ini.Li Feng berdiri mematung di sisi tebing, memandangi cakrawala yang perlahan memerah. Tubuhnya masih terasa dingin oleh penglihatan mengerikan yang ia lihat sebelumnya — penglihatan tentang dirinya sendiri, membunuh Putri Ling’er dengan tangannya sendiri. Dada Li Feng sesak, napasnya memburu. "Apa... apa semua ini hanya mimpi buruk...?""Tidak, ini adalah peringatan," bisik suara dari dalam Pedang Naga Langit."Diam kau!" Li Feng menggertakkan gigi, menahan amarah yang naik dari dalam dirinya. Tangannya mencengkeram gagang pedang erat-erat, seolah berharap bisa membungkam suara itu selamanya. Tapi pedang itu bergetar pelan... seolah merasa gelisah.Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di antara bebatuan. Suara itu tenan
Langit di atas Gunung Esmeralda tampak kelabu, seolah menyatu dengan kabut pekat yang menggulung di sekitar kaki gunung. Aroma tanah basah dan darah yang lama mengering menyelimuti udara. Li Feng berdiri tegak, matanya menatap tajam sosok berjubah hitam di hadapannya—Penjaga Gerbang Neraka. Di tangan kanannya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggerogoti udara."Hancurkan pedang itu sekarang juga, sebelum terlambat," ujar si Penjaga, suaranya datar namun tegas. Tak ada emosi, hanya keyakinan.Li Feng menggeleng perlahan. "Tidak. Pedang ini telah membawaku sejauh ini. Ia bukan hanya senjata, tapi saksi dari segala pengorbanan.""Pengorbanan? Hmph," suara si Penjaga merendah seperti gemuruh jauh di bawah tanah. "Itu hanya awal. Kutukan pedang itu tidak mengenal belas kasihan. Ia akan membunuh semua yang kau cintai. Satu demi satu.""Bohong!""Apakah kau benar-benar yakin?"Tiba-tiba, dunia d
Kabut hitam yang menggulung lembah seakan berhenti bergerak. Angin mendadak lenyap. Suasana di makam kuno itu seperti membeku. Suara langkah kaki menggema… pelan, berat, dan dalam. Duk… Duk… Duk… Li Feng berdiri membatu. Tubuhnya masih terbungkus jubah yang koyak oleh pertempuran sebelumnya, darah kering di bahunya belum sempat dibersihkan. Di hadapannya, dari balik gerbang batu yang setengah runtuh, muncul sosok berjubah hitam. "Siapa… kau?" gumam Li Feng, nafasnya terengah. Sosok itu tak menjawab langsung. Ia melangkah perlahan ke tengah altar batu yang dikelilingi patung pendekar tua. Suara langkahnya seperti gema dari dunia lain. "Hahh… Astaga… hawa ini…" Li Feng memegangi dadanya. Pedang Naga Langit di punggungnya mulai bergetar. Tidak seperti biasa. Getaran itu terasa… seperti ketakutan. Lalu, suara berat itu terdengar. "Aku adalah Penjaga Gerbang Neraka." Apa?!
Langit malam dipenuhi awan gelap, seperti menutupi bisikan alam yang tahu bahwa sesuatu besar akan terjadi. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Li Feng berdiri terpaku di hadapan sosok berjubah hitam, di tengah hutan sunyi di perbatasan wilayah musuh. Nafasnya terengah, tubuhnya dipenuhi debu dan luka dari perjalanan panjang. Namun matanya—ya, matanya—tetap tajam, penuh tekad. Sosok itu tidak bergerak. Hanya helai jubahnya yang berkibar lembut mengikuti angin malam. Di kedua sisi pinggangnya tergantung dua pedang: satu berwarna hitam kelam dengan gagang berukir naga, satunya lagi keperakan dengan kilau samar seperti cahaya bulan. "Siapa kau?" tanya Li Feng dengan suara serak, tangannya menggenggam erat sarung Pedang Naga Langit di punggungnya. "Namaku tak penting," jawab sosok itu, suaranya dalam dan bergema, seperti datang dari dua arah sekaligus. "Yang penting adalah—kau membawa pedang itu."