Kelelahan dan Bayangan yang Mengintai Langit malam menampakkan sinar rembulan yang redup saat Li Feng berjalan tertatih kembali ke asramanya. Tubuhnya terasa berat, tidak hanya karena pertarungan sengit yang baru saja ia jalani, tetapi juga karena efek sisa racun yang masih mengendap dalam darahnya. Meskipun ia telah mengonsumsi penawar, sisa-sisa racun itu masih menimbulkan kelelahan dan sedikit rasa mual. Li Feng duduk di atas tikar jerami di dalam kamarnya. Cahaya lilin yang redup menari-nari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin. Ia menatap tangannya. Telapak tangannya masih gemetar ringan, bukan karena ketakutan, tetapi karena tubuhnya masih dalam kondisi belum pulih sepenuhnya. Aku menang, tetapi aku tidak boleh lengah. Ini baru awal dari turnamen. Namun, satu hal yang lebih mengganggunya adalah perasaan tidak nyaman yang terus mengikutinya sejak ia meninggalkan arena. Ia merasa diawasi. Dengan cepat, ia menajamkan indranya, memperluas kesada
Sorak-sorai penonton masih menggema di udara saat Li Feng berjalan keluar dari arena. Napasnya masih sedikit berat setelah pertarungan sengit melawan Wei Han. Namun, yang lebih mengganggunya adalah perasaan tidak nyaman yang terus membayangi pikirannya.Ia tahu ada seseorang yang mengawasinya. Dan kali ini, ia semakin yakin bahwa orang itu bukan sekadar penonton biasa.Saat ia melewati lorong menuju asramanya, seorang pria bertubuh kekar dengan jubah coklat berdiri di ujung lorong, bersandar pada dinding dengan tangan terlipat. Matanya yang tajam menatap langsung ke arah Li Feng, seolah menunggu kedatangannya.Li Feng memperlambat langkahnya, tetap waspada.“Li Feng,” pria itu akhirnya berbicara, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Kau masih ingat Kedai Tianxiang?”Mata Li Feng menyipit. Itu adalah nama sebuah kedai di kota kecil yang pernah ia kunjungi beberapa bulan lalu. Saat itu, ia terlibat perkelahian dengan seorang pendekar bayaran
Li Feng berdiri di tengah arena, napasnya masih teratur meskipun tubuhnya sudah mulai merasakan kelelahan setelah melewati beberapa pertarungan sebelumnya. Lawannya kali ini bukan orang sembarangan—seorang pendekar terkenal dengan teknik pedang yang begitu cepat hingga nyaris tidak terlihat oleh mata biasa. Orang-orang yang berkumpul di sekitar arena bergumam, sebagian besar yakin bahwa kali ini Li Feng tidak akan mampu menang. “Li Feng benar-benar sudah di ujung tanduk. Lawannya kali ini adalah Bai Shen, pendekar yang pernah membunuh sepuluh orang dalam satu serangan,” bisik seorang pria berbaju biru di antara penonton. Bai Shen, lelaki bertubuh ramping dengan pakaian serba putih, tersenyum tipis. Pedangnya, yang tipis dan panjang, mengeluarkan suara berdengung saat digerakkan dengan kecepatan tinggi. “Kau telah membuat keajaiban, anak muda,” ucap Bai Shen dengan suara yang terdengar tenang, tetapi penuh tekanan. “Tapi di
Sorakan membahana di arena. Ribuan pasang mata tertuju ke tengah gelanggang, tempat Li Feng berdiri dengan napas memburu. Keringat menetes di pelipisnya, sementara lawannya, seorang pendekar berbadan besar bernama Huang Jie, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan luar biasa. Huang Jie bukan lawan sembarangan. Ia bukan hanya kuat secara fisik, tetapi juga memiliki pengalaman bertarung yang jauh lebih banyak dibandingkan Li Feng. Tapi bukan itu yang membuat Li Feng curiga. Ada sesuatu yang aneh dalam pertandingan ini—sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Di bangku kehormatan, Jenderal Zhao duduk dengan ekspresi dingin. Senyum samar tersungging di bibirnya saat melihat Li Feng berada dalam posisi sulit. Tak jauh dari sana, Kaisar memperhatikan pertandingan dengan tatapan tajam, seolah sedang menilai sesuatu yang lebih dari sekadar pertarungan. Li Feng menarik napas dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya. Ia tahu, jika ia tidak berhati
Hujan tipis mengguyur halaman belakang istana, menambah kesan muram pada malam yang semakin larut. Bayangan lentera berayun pelan, menyorot sosok seorang gadis berpakaian sutra merah dengan tudung menutupi kepalanya. Putri Ling’er melangkah hati-hati di antara koridor yang gelap, sesekali menoleh ke belakang memastikan tak ada yang mengikuti. Di sebuah sudut yang terlindung dari pandangan penjaga, seorang pria berdiri tegak dengan pedang tersarung di punggungnya. Matanya tajam mengamati sosok yang mendekat. “Putri Ling’er…” Li Feng menundukkan kepala dengan hormat. “Kenapa Anda memintaku datang ke tempat ini di tengah malam?” Ling’er menatapnya dengan ekspresi tegang, seakan ada beban berat yang ia pikul. “Li Feng, aku tak punya banyak waktu. Aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting.” Li Feng mengernyit. “Tentang apa?” Putri Ling’er menarik napas dalam, suaranya bergetar. “Jenderal Zhao… Dia berenc
Angin dingin dari utara berhembus kencang, membawa butiran salju yang menyelimuti medan pertempuran. Li Feng berdiri tegap, tatapan matanya tajam menatap lawannya yang datang dari kejauhan. Di hadapannya berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, mengenakan mantel bulu tebal dengan lambang suku utara di dada. "Aku telah mendengar tentangmu, pendekar dari selatan," suara pria itu berat dan dalam, menggema di antara tiupan angin. "Namaku Batu Temur, salah satu dari lima panglima perang Suku Serigala Salju. Kaisarmu mengira kau bisa menghentikan kami? Aku akan buktikan sebaliknya." Li Feng tetap diam, membiarkan angin menggoyangkan ujung jubahnya. Dari cara Batu Temur berdiri, ia tahu lawannya adalah tipe petarung berbasis kekuatan. Seorang pejuang dari suku utara biasanya memiliki tubuh yang lebih besar, tenaga yang luar biasa, dan ketahanan terhadap rasa sakit yang mengerikan. Melawan lawan seperti ini, kekuatan fisik saja tak cukup. "Apa
Langit malam di perkemahan militer kelam tanpa bintang. Api unggun menyala redup, menari-nari dalam hembusan angin dingin yang membawa aroma besi dan darah. Li Feng duduk di dalam tendanya, memijat pelipisnya yang terasa berat. Kabut kegelisahan menyelubungi pikirannya setelah mendengar kabar dari mata-mata. Panglima Agung dari Utara sedang dalam perjalanan ke medan perang. Bibirnya mengerut tipis, matanya menyipit, menatap peta strategi yang terbentang di hadapannya. "Jika Batu Temur saja sekuat ini... lalu seperti apa kekuatan Panglima Agung?" Bayangan sosok lawan yang belum pernah ia lihat membayangi benaknya. Ia telah melihat sendiri kedahsyatan Batu Temur, seorang jenderal yang tak hanya memiliki kekuatan fisik luar biasa, tetapi juga strategi pertempuran yang licik. Panglima Agung pasti jauh lebih menakutkan. Li Feng menghela napas panjang. Ia butuh istirahat sebelum pertempuran esok hari
Langit di atas medan perang berwarna kelam, seakan menyerap aura mencekam yang menyelimuti seluruh pasukan. Angin bertiup kencang, membawa aroma darah dan baja yang bercampur dengan debu pertempuran. Li Feng berdiri tegak di garis depan, menggenggam Pedang Naga Langit dengan erat. Namun, kata-kata panglima musuh tadi masih bergema di dalam pikirannya. "Binatang liar yang akan membantai semua orang, termasuk pasukanmu sendiri…" Darahnya berdesir. Apakah benar? Apakah ia akan kehilangan kendali? Namun, tak ada waktu untuk ragu. Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh tegap dengan jubah merah menyala menunggangi kuda hitam. Dia adalah Pangeran Wu Tian, putra mahkota dari Kerajaan Selatan—seorang ahli pedang yang dikenal kejam dan tak kenal ampun. Wu Tian tersenyum sinis, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Li Feng, mari kita lihat apakah kau benar-benar layak disebut legenda!" Tanpa aba-aba, Wu Tian me
Kegelapan menyelimuti ibu kota ketika Jenderal Zhao berdiri di balkon kediamannya, menatap bulan yang separuh tertutup awan. Malam itu, pikirannya dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Li Feng. Ia telah menunggu terlalu lama, dan kini saatnya bertindak sebelum pemuda itu semakin berkuasa. Di dalam ruangan, beberapa pejabat berpangkat tinggi telah berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Jenderal Zhao, mereka yang merasa terancam dengan kehadiran Li Feng yang semakin dekat dengan Kaisar. “Kita tidak bisa lagi menunggu,” kata Jenderal Zhao dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan. “Li Feng harus disingkirkan sebelum ia memiliki pengaruh lebih besar di istana.” Seorang pejabat tua, Menteri Lu, mengangguk. “Kaisar tampaknya semakin mempercayai bocah itu. Jika ia diberi kekuasaan lebih, kita semua dalam bahaya.” “Bagaimana rencana kita?” tanya seorang jenderal lain, alisnya berkerut. Jenderal Zhao
Li Feng berdiri dengan pedang di tangannya, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuhnya, seolah-olah ribuan jarum menusuk kulitnya. Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Sorak sorai para prajurit di sekelilingnya terdengar samar di telinganya. Kemenangan telah diraih, tetapi sesuatu yang mengerikan menggerogoti tubuhnya dari dalam. "Li Feng!" suara Panglima Wei menggema di tengah medan pertempuran yang telah reda. Ia berlari ke arah pemuda itu, ekspresinya penuh kekhawatiran. Li Feng membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba pandangannya mengabur. Lututnya melemas dan tubuhnya ambruk ke tanah. "Li Feng!" Para prajurit yang baru saja bersorak kini bergegas menghampiri pemimpin mereka yang jatuh tak sadarkan diri. Pedang Naga Langit yang ia genggam pun tergelincir dari tangannya dan tertanam di tanah berlumuran darah. Di dalam istana kekaisar
Angin malam berdesir dingin, membelai wajah para prajurit yang terpaku di tempat mereka. Kilauan perak Pedang Naga Langit memantulkan sinar bulan, menciptakan bayangan yang bergetar di tanah berdebu. Li Feng berdiri di tengah lingkaran pasukan Kekaisaran, dadanya naik turun, sementara matanya memerah, terperangkap dalam bisikan yang terus menghantui pikirannya. “BUNUH… HABISI MEREKA… TIDAK ADA YANG BISA DIPERCAYA…” Bisikan itu bergema di telinganya, mengiris kesadarannya dengan kejam. Jari-jarinya menggenggam gagang pedang dengan erat, tetapi lengannya bergetar seolah bertarung melawan dirinya sendiri. “Li Feng… jangan lakukan ini…” salah satu perwira pasukan Kekaisaran bersuara, suaranya dipenuhi ketakutan dan kebimbangan. Wu Tian, dengan senyum miringnya, melangkah maju. "Haha! Lihatlah! Pendekar besar Kekaisaran, sang pahlawan perang, kini berubah menjadi algojo bagi pasukannya sendiri!" serunya, suaranya bergema di anta
Langit di atas medan perang berwarna kelam, seakan menyerap aura mencekam yang menyelimuti seluruh pasukan. Angin bertiup kencang, membawa aroma darah dan baja yang bercampur dengan debu pertempuran. Li Feng berdiri tegak di garis depan, menggenggam Pedang Naga Langit dengan erat. Namun, kata-kata panglima musuh tadi masih bergema di dalam pikirannya. "Binatang liar yang akan membantai semua orang, termasuk pasukanmu sendiri…" Darahnya berdesir. Apakah benar? Apakah ia akan kehilangan kendali? Namun, tak ada waktu untuk ragu. Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh tegap dengan jubah merah menyala menunggangi kuda hitam. Dia adalah Pangeran Wu Tian, putra mahkota dari Kerajaan Selatan—seorang ahli pedang yang dikenal kejam dan tak kenal ampun. Wu Tian tersenyum sinis, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Li Feng, mari kita lihat apakah kau benar-benar layak disebut legenda!" Tanpa aba-aba, Wu Tian me
Langit malam di perkemahan militer kelam tanpa bintang. Api unggun menyala redup, menari-nari dalam hembusan angin dingin yang membawa aroma besi dan darah. Li Feng duduk di dalam tendanya, memijat pelipisnya yang terasa berat. Kabut kegelisahan menyelubungi pikirannya setelah mendengar kabar dari mata-mata. Panglima Agung dari Utara sedang dalam perjalanan ke medan perang. Bibirnya mengerut tipis, matanya menyipit, menatap peta strategi yang terbentang di hadapannya. "Jika Batu Temur saja sekuat ini... lalu seperti apa kekuatan Panglima Agung?" Bayangan sosok lawan yang belum pernah ia lihat membayangi benaknya. Ia telah melihat sendiri kedahsyatan Batu Temur, seorang jenderal yang tak hanya memiliki kekuatan fisik luar biasa, tetapi juga strategi pertempuran yang licik. Panglima Agung pasti jauh lebih menakutkan. Li Feng menghela napas panjang. Ia butuh istirahat sebelum pertempuran esok hari
Angin dingin dari utara berhembus kencang, membawa butiran salju yang menyelimuti medan pertempuran. Li Feng berdiri tegap, tatapan matanya tajam menatap lawannya yang datang dari kejauhan. Di hadapannya berdiri seorang pria bertubuh tinggi besar, mengenakan mantel bulu tebal dengan lambang suku utara di dada. "Aku telah mendengar tentangmu, pendekar dari selatan," suara pria itu berat dan dalam, menggema di antara tiupan angin. "Namaku Batu Temur, salah satu dari lima panglima perang Suku Serigala Salju. Kaisarmu mengira kau bisa menghentikan kami? Aku akan buktikan sebaliknya." Li Feng tetap diam, membiarkan angin menggoyangkan ujung jubahnya. Dari cara Batu Temur berdiri, ia tahu lawannya adalah tipe petarung berbasis kekuatan. Seorang pejuang dari suku utara biasanya memiliki tubuh yang lebih besar, tenaga yang luar biasa, dan ketahanan terhadap rasa sakit yang mengerikan. Melawan lawan seperti ini, kekuatan fisik saja tak cukup. "Apa
Hujan tipis mengguyur halaman belakang istana, menambah kesan muram pada malam yang semakin larut. Bayangan lentera berayun pelan, menyorot sosok seorang gadis berpakaian sutra merah dengan tudung menutupi kepalanya. Putri Ling’er melangkah hati-hati di antara koridor yang gelap, sesekali menoleh ke belakang memastikan tak ada yang mengikuti. Di sebuah sudut yang terlindung dari pandangan penjaga, seorang pria berdiri tegak dengan pedang tersarung di punggungnya. Matanya tajam mengamati sosok yang mendekat. “Putri Ling’er…” Li Feng menundukkan kepala dengan hormat. “Kenapa Anda memintaku datang ke tempat ini di tengah malam?” Ling’er menatapnya dengan ekspresi tegang, seakan ada beban berat yang ia pikul. “Li Feng, aku tak punya banyak waktu. Aku harus memberitahumu sesuatu yang sangat penting.” Li Feng mengernyit. “Tentang apa?” Putri Ling’er menarik napas dalam, suaranya bergetar. “Jenderal Zhao… Dia berenc
Sorakan membahana di arena. Ribuan pasang mata tertuju ke tengah gelanggang, tempat Li Feng berdiri dengan napas memburu. Keringat menetes di pelipisnya, sementara lawannya, seorang pendekar berbadan besar bernama Huang Jie, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan luar biasa. Huang Jie bukan lawan sembarangan. Ia bukan hanya kuat secara fisik, tetapi juga memiliki pengalaman bertarung yang jauh lebih banyak dibandingkan Li Feng. Tapi bukan itu yang membuat Li Feng curiga. Ada sesuatu yang aneh dalam pertandingan ini—sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Di bangku kehormatan, Jenderal Zhao duduk dengan ekspresi dingin. Senyum samar tersungging di bibirnya saat melihat Li Feng berada dalam posisi sulit. Tak jauh dari sana, Kaisar memperhatikan pertandingan dengan tatapan tajam, seolah sedang menilai sesuatu yang lebih dari sekadar pertarungan. Li Feng menarik napas dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya. Ia tahu, jika ia tidak berhati
Li Feng berdiri di tengah arena, napasnya masih teratur meskipun tubuhnya sudah mulai merasakan kelelahan setelah melewati beberapa pertarungan sebelumnya. Lawannya kali ini bukan orang sembarangan—seorang pendekar terkenal dengan teknik pedang yang begitu cepat hingga nyaris tidak terlihat oleh mata biasa. Orang-orang yang berkumpul di sekitar arena bergumam, sebagian besar yakin bahwa kali ini Li Feng tidak akan mampu menang. “Li Feng benar-benar sudah di ujung tanduk. Lawannya kali ini adalah Bai Shen, pendekar yang pernah membunuh sepuluh orang dalam satu serangan,” bisik seorang pria berbaju biru di antara penonton. Bai Shen, lelaki bertubuh ramping dengan pakaian serba putih, tersenyum tipis. Pedangnya, yang tipis dan panjang, mengeluarkan suara berdengung saat digerakkan dengan kecepatan tinggi. “Kau telah membuat keajaiban, anak muda,” ucap Bai Shen dengan suara yang terdengar tenang, tetapi penuh tekanan. “Tapi di