Beranda / Pendekar / PEDANG NAGA LANGIT / Bab 34 - Sahabat yang Gugur

Share

Bab 34 - Sahabat yang Gugur

Penulis: Andi Iwa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 08:20:21

Hujan turun deras di Lembah Berdarah, menciptakan genangan lumpur yang bercampur dengan darah para prajurit yang telah gugur. Aroma besi memenuhi udara, bercampur dengan bau anyir yang menusuk. Angin bertiup kencang, menggoyangkan bendera perang yang robek dan terhuyung di tengah-tengah mayat yang bergelimpangan.

Di antara puing-puing pertempuran yang masih mengepulkan asap, seorang pemuda berdiri dengan tubuh berlumuran darah. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun dalam ritme yang tidak beraturan.

Li Feng.

Tangannya yang kokoh masih menggenggam Pedang Naga Langit, bilahnya berkilau dalam semburat merah keunguan, seolah menyerap kematian di sekelilingnya.

Namun, tatapannya kosong.

Di hadapannya, Xu Jian—sahabatnya, saudara seperjuangannya—tergeletak tak bernyawa. Dada Xu Jian berlubang, darah masih mengalir dari luka menganga di tubuhnya.

Li Feng jatuh berlutut, kedua tangannya gemetar saat me
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 35 - Bangkit dari Kesedihan

    Hujan turun dengan deras di atas medan perang yang masih berbau darah. Mayat-mayat berserakan, sebagian sudah tidak bisa dikenali, tertutup lumpur dan debu pertempuran. Li Feng berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang bercampur darah. Tangan kanannya masih menggenggam Pedang Naga Langit, sementara tangan kirinya mengepal kuat, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri. Xu Jian telah gugur. Tubuh sahabatnya yang setia kini tergeletak tak bernyawa di dekat kakinya. Mata Xu Jian masih terbuka, seakan masih ingin mengatakan sesuatu. Li Feng berlutut, menatap wajah sahabatnya yang kini kehilangan cahaya kehidupan. "Tidak… Ini tidak seharusnya terjadi… Xu Jian…" Li Feng menggigit bibirnya hingga berdarah. Dadanya sesak, amarah dan kesedihan bergejolak dalam dirinya. Mengapa harus Xu Jian? Bukankah merekalah yang seharusnya pulang bersama sebagai pahlawan? Bukankah mereka sudah bermi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 36 - Jenderal Zhao Mulai Bergerak

    Angin dingin menyapu lorong-lorong panjang di Istana Kekaisaran. Malam telah jatuh, dan cahaya lentera yang menggantung di sepanjang jalan setapak hanya menambah kesan suram pada suasana. Di dalam sebuah aula megah, seorang pria paruh baya dengan jubah perang hitam berdiri membelakangi jendela. Tangannya terlipat di belakang punggungnya, menatap keluar ke arah langit malam dengan sorot mata tajam penuh perhitungan. Jenderal Zhao. "Hmph, bocah itu semakin menjadi-jadi!" Suaranya menggelegar, membuyarkan keheningan ruangan. Di hadapannya, dua pria berpakaian hitam berlutut dengan kepala tertunduk dalam. Salah satunya mengangkat wajah, matanya penuh kehati-hatian. "Jenderal, kabar dari medan perang mengatakan bahwa Li Feng berhasil merebut benteng pemberontak dengan kemenangan telak. Bahkan Panglima Wei kini mulai berpihak padanya." Jenderal Zhao mengepalkan tangan, ekspresinya mengeras. "Panglima Wei... Apa aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 37 - Pengkhianatan di Kamp Pasukan

    Hujan rintik turun membasahi perkemahan pasukan Kekaisaran di pinggiran Lembah Guang. Bara api yang menyala di beberapa tungku membuat suasana sedikit lebih hangat, tetapi hawa malam tetap menggigit hingga ke tulang. Li Feng duduk di dalam tendanya, memandangi peta yang terbuka di atas meja kayu sederhana. Garis-garis merah yang tergambar di atasnya menunjukkan posisi pasukan pemberontak yang bersembunyi di hutan berbukit di sisi barat lembah. Ia tahu, pertempuran belum berakhir. "Xu Jian... seandainya kau masih di sini, pasti kita sudah tertawa bersama merencanakan serangan berikutnya." Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Duka atas kematian sahabatnya masih terasa berat di dadanya, tetapi ia tak bisa tenggelam dalam kesedihan. Sebagai pemimpin, ia harus tetap berdiri. Suara gemerisik di luar tenda membuatnya menoleh. Langkah kaki mendekat, dan seseorang berhenti di depan pintu tenda. "Jenderal Li Fen

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 38 - Serangan Balik ke Benteng Musuh

    Darah masih berceceran di tanah. Udara malam yang dingin terasa menusuk, membawa aroma anyir pertempuran yang belum usai. Li Feng berdiri di tengah medan perkemahan dengan napas memburu, tangannya masih mencengkeram gagang Pedang Naga Langit yang berkilauan redup dalam cahaya obor. Pengkhianatan di kamp pasukan nyaris merenggut nyawanya. Salah satu perwira kepercayaannya, Luo Jian, telah menusuknya dari belakang—bukan secara harfiah, tetapi dengan menjual informasi ke pihak pemberontak. Serangan mendadak yang seharusnya membantai pasukan Li Feng dalam tidur mereka kini berubah menjadi malapetaka bagi musuh. "Jenderal, apa perintahmu selanjutnya?" tanya Aokai, salah satu komandan kepercayaannya. Li Feng mengangkat kepalanya, menatap tajam ke arah benteng musuh yang menjulang di kejauhan. Cahaya merah membara menyala dari atas menara penjagaan, menandakan kesiagaan mereka. Namun, setelah pukulan besar malam ini, kekuatan mereka pasti telah

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 39 - Pemberontakan yang Belum Selesai

    Angin malam berembus dingin di atas benteng yang baru saja direbut. Li Feng berdiri di puncak menara pengawas, matanya menatap ke arah cakrawala yang masih kelam. Bau darah dan asap masih menyelimuti udara, tanda pertempuran yang belum lama usai. Pasukannya baru saja meraih kemenangan besar atas pasukan pemberontak Serigala Hitam, dan pemimpin mereka telah tumbang di tangannya. Namun, hati Li Feng tak bisa merasa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Terlalu mudah… "Apa benar ini sudah berakhir?" pikirnya. Di kejauhan, langkah kaki mendekat. Aldi, tangan kanan Li Feng yang setia, naik ke menara dengan wajah serius. "Li Feng, ini buruk… Sangat buruk!" Li Feng menoleh. "Ada apa?" Aldi menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Kami menangkap beberapa tahanan musuh yang menyerah. Setelah diinterogasi, mereka mengatakan bahwa Serigala Hitam hanyalah bagian dari kekuatan yang lebih bes

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 40 - Kembali ke Ibu Kota dengan Nama Besar

    Langit di ufuk barat berpendar keemasan ketika Li Feng dan pasukannya akhirnya melewati gerbang ibu kota. Sorakan bergemuruh dari rakyat yang memenuhi jalanan, menyambut mereka dengan sukacita. Panji kekaisaran berkibar, menandakan kemenangan besar atas pemberontakan di perbatasan. "Hidup Jenderal Muda Li Feng!" "Prajurit Kekaisaran tidak terkalahkan!" "Pahlawan sejati telah kembali!" Suara-suara itu menggema di udara, membuat hati Li Feng bergetar. Namun, di balik semua sorakan, hatinya terasa berat. Ia tahu kemenangan ini hanyalah awal dari pertempuran lain—bukan di medan perang, melainkan di dalam istana, di mana pedang yang paling berbahaya adalah kata-kata dan tipu daya. Kedatangan yang Menggetarkan Istana Kereta kuda yang membawa Li Feng dan perwira-perwiranya perlahan memasuki halaman istana. Para pejabat tinggi telah berkumpul di depan aula utama, menunggu kedatangannya. Kaisar sendiri duduk di a

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 41 - Kedudukan yang Berbahaya

    "Apakah kau akan menerimanya, Li Feng?" Pertanyaan itu menggantung di udara. Kaisar duduk di singgasananya, memandangnya dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak. Seisi ruangan sunyi, hanya suara napas para pejabat yang terdengar. Li Feng menundukkan kepala, pikirannya berputar. Tawaran ini bukan sekadar penghargaan atas jasanya di medan perang. Ini adalah jebakan. Jabatan tinggi berarti ia semakin dekat dengan pusat kekuasaan, dan semakin dekat pula dengan bahaya yang mengintai dari dalam istana. Ia bisa merasakan tatapan tajam Jenderal Zhao dari sudut ruangan. Pria itu jelas tidak senang dengan keputusan Kaisar. Jika ia menerima jabatan ini, maka ia resmi menjadi ancaman bagi Jenderal Zhao dan para pejabat lain yang ingin mempertahankan kekuasaan mereka. "Hamba..." Li Feng menarik napas panjang. Ia harus berhati-hati. Jenderal Zhao tiba-tiba menyela, suaranya tenang tapi menusuk. "Yang Mulia, apakah tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 42 - Dendam Jenderal Zhao

    Li Feng terkejut. Bayangan hitam yang melesat masuk bagaikan angin malam yang dingin, menebarkan aura kematian di dalam kamarnya yang remang-remang. Pedangnya telah terlepas dari tangannya bahkan sebelum ia sempat melihat siapa lawannya. "Tch!" Li Feng melompat mundur, matanya nanar mencari celah dalam kegelapan. Sosok itu berdiri tegak, hanya siluetnya yang tampak samar diterpa cahaya lilin yang bergetar. Napasnya nyaris tak terdengar, tetapi tekanan yang ia pancarkan cukup untuk membuat udara terasa lebih berat. Li Feng tak bisa tinggal diam. Ia menggeser kakinya ke belakang, mencoba mengatur keseimbangan sambil tetap waspada. "Siapa kau?" suaranya tajam, menusuk keheningan malam. Tak ada jawaban. Namun, sesaat kemudian— Sreeet! Sebuah kilatan perak berkelebat menuju lehernya! Li Feng melompat ke samping, nyaris saja serangan itu menggorok lehernya. Tangannya lan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21

Bab terbaru

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 122 – Pemburu Bayaran Terbaik

    Malam menggantung pekat di atas langit Kekaisaran, seakan menyembunyikan aib dan darah yang tumpah dari intrik para penguasa. Tak ada bintang malam itu. Hanya awan kelabu yang mengambang, menebar hawa dingin yang menusuk ke tulang. Di ruang bawah tanah Istana Utara, aroma lilin dan tinta bercampur menjadi satu, menggantung di udara bersama bisikan pembunuhan. "Bawa surat ini ke dia. Tak seorang pun boleh tahu kecuali kalian yang ada di ruangan ini," ucap Kaisar, nadanya lebih dingin dari biasanya. Mata-mata Dewan Perang menunduk hormat. Di balik tirai merah gelap, sesosok bayangan melangkah keluar—rambut panjang tergerai seperti air malam, mata tajam berkilat bagai pisau yang terhunus. Ia tak berbicara. Tak perlu. Semua sudah tahu siapa dia. Mei Yue. Pemburu bayaran terbaik di daratan timur. "Targetmu bernama Li Feng," kata Jenderal Liang, sambil meletakkan gulungan berisi informasi. "Namun berhati-hatilah… i

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 121 – Rapat Rahasia di Istana Utara

    Udara pagi itu menggigit seperti ujung tombak yang tajam. Kabut tebal menyelimuti jalan-jalan menuju Istana Utara, tempat yang biasanya sepi dan jarang disentuh langkah manusia kecuali saat-saat genting. Dan pagi itu... adalah salah satu saat yang sangat genting. Li Feng berdiri mematung di bawah gerbang berukir naga perak yang mulai aus dimakan waktu. Ia tak memakai jubah kebesarannya. Hanya pakaian kelabu tua tanpa lencana pangkat. Diam-diam, ia berharap kehadirannya tak terlalu menarik perhatian. Tapi bagaimana mungkin? Di mata dunia, ia kini bukan hanya pendekar, bukan hanya pembawa Pedang Naga Langit—ia adalah simbol. "Yang Mulia memanggilnya secara pribadi," ujar Pengawal Istana dengan suara menunduk. "Tak ada yang lain tahu, kecuali tujuh orang." Li Feng hanya mengangguk pelan. Di dalam pikirannya, suara Putri Ling’er masih menggema dari malam sebelumnya: “Jangan percayai siapa pun. Bahkan para menteri yang selama ini tampak setia.

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 120 – Darah yang Sama, Jalan yang Berbeda

    Li Feng terdiam di puncak bukit, memandangi panorama kekaisaran yang terbentang di bawah kaki. Matahari terbenam di balik pegunungan yang jauh, melukiskan langit dengan semburat oranye yang redup. Semua yang telah ia lalui terasa seperti mimpi yang mengabur, tetapi rasa berat yang terpendam di dadanya, rasa tak terhindarkan, adalah kenyataan yang tidak bisa ia elakkan. Di balik kegelapan malam yang datang, Li Feng tahu bahwa takdirnya telah digariskan oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya—sebuah permainan politik yang ia tak pernah inginkan. "Aku... aku hanya seorang pemuda desa," gumamnya pelan, hampir seperti sebuah doa. "Mengapa aku harus terjerat dalam semua ini?" Suaranya penuh kebingungan, seolah menanyakan pada dunia yang tak memberi jawaban. Namun, jawaban itu sudah ia temui, meski pahit. Pedang Naga Langit, senjata yang membawa kutukan yang mengekangnya, bukan hanya sebuah pusaka yang diperebutkan oleh para penguasa. Ia kini tahu bahwa ta

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 119 – Satu Rahasia Terakhir

    Li Feng berdiri tegak di ruang bawah tanah yang remang, cahaya samar dari lentera yang tergantung di langit-langit memberi kilau redup pada dinding batu yang dingin. Udara terasa berat, seakan dipenuhi dengan beban masa lalu yang telah lama terkubur di tempat ini. Dalam sekejap, sebuah suara yang familiar—yang selama ini terpendam dalam benaknya—terdengar lagi. Suara itu datang dari arah belakang, jauh dari tempat ia berdiri, dan hati Li Feng berdebar kencang. Langkah kaki yang lambat namun pasti, diikuti dengan suara napas berat, membawa Li Feng pada ingatan-ingatan yang ia coba lupakan. Tidak salah lagi. Itu adalah suara yang sudah lama tidak ia dengar. "Guru Liang…" kata Li Feng perlahan, mengucapkan nama yang sudah lama ia anggap hilang bersama bayangan masa lalu. Suaranya serak, penuh kebingungannya sendiri. Guru Liang muncul dari balik bayang-bayang, sosok yang seakan keluar dari dimensi waktu itu sendiri. Pakaian peluhnya yang dulu

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 118 – Kembali ke Kedai Tianxiang

    Li Feng berjalan perlahan, kaki terasa berat seperti membawa beban dunia. Di depannya, langit senja perlahan berubah menjadi kelam, menyelimuti desa yang telah lama ia tinggalkan. Suasana kedai Tianxiang kini terasa sangat berbeda. Tanpa orang-orang yang biasa berkerumun, tanpa suara tawa atau canda, semuanya terasa sunyi dan hampa. Sudah lama sekali sejak Li Feng meninggalkan tempat ini. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan pertarungan dan penderitaan, ia akhirnya kembali ke tempat yang pernah menjadi titik awal hidupnya yang baru. Tempat yang, meskipun tidak besar, menyimpan kenangan akan masa-masa yang telah berlalu. Setiap langkah terasa seakan membawa kembali semua kenangan pahit dan manis yang pernah ia alami di sini. Bagaimana ia dulu bekerja sebagai tukang cuci piring, berjuang untuk sekadar bertahan hidup, dan bagaimana semua itu berubah setelah pertemuannya dengan Putri Ling’er, Pedang Naga Langit, dan semua musuh yang mengejarnya.

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 117 – Pengendus Jiwa Menyerang

    Hutan berkabut itu terasa lebih pekat dari biasanya. Pohon-pohon besar menjulang tinggi dengan cabang-cabangnya yang rapat, menghalangi cahaya matahari yang hanya sedikit menembus. Udara dingin dan lembap menyelimuti sekujur tubuh Li Feng, membuatnya merasa seolah-olah hutan ini bukan tempat biasa. Sesuatu yang gelap, yang tak terlihat, mengintai setiap gerakannya. Jantungnya berdegup kencang, dan dalam keheningan yang mencekam itu, ia bisa merasakan adanya mata yang terus mengawasi. "Apa yang kau rasakan, Li Feng?" suara itu muncul dalam benaknya, suara yang sama yang tidak pernah ia lupakan—suara Pedang Naga Langit. Suara yang seolah-olah berasal dari dalam jiwanya sendiri, namun selalu berhasil membuatnya terperangah. Kali ini, suara itu terdengar seperti bisikan yang penuh desakan. "Aku merasakan bahaya. Sesuatu yang mengintai... yang akan datang." Li Feng menatap pedang di tangannya dengan penuh keraguan. Selama ini pedang itu selalu

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 116 – Perburuan Para Penjaga

    Li Feng merasakan hawa dingin yang menusuk tulang menembus tubuhnya. Malam itu, langit di atas Gunung Esmeralda begitu gelap, hanya diterangi oleh pendar cahaya redup dari pedangnya yang kini tergeletak di tanah. Dalam keheningan yang hampir mencekam, pikirannya terperangkap oleh bayang-bayang yang terus menghantuinya. Bayang-bayang yang berasal dari kutukan Pedang Naga Langit, dan lebih lagi, bayang-bayang yang berasal dari dirinya sendiri.Tapi saat ini, ada sesuatu yang lebih besar yang mengancamnya. Sesuatu yang lebih mengerikan dari apapun yang pernah ia hadapi sebelumnya.Di kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Lambat, namun pasti. Semakin mendekat, semakin jelas. Langkah itu datang dari arah yang tak terduga. Dari kegelapan yang penuh misteri. Hanya suara itu yang terdengar, meski segala sesuatu di sekelilingnya tetap sunyi. Li Feng mendongak dan melihat sosok yang berdiri di atas batu besar, memandang ke arahnya. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang mel

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 115 – Jalan yang Terbelah

    Malam itu, angin dingin berhembus kencang di Gunung Ranjing, membawa aroma hutan basah dan keheningan yang dalam. Li Feng berdiri di tepi jurang, memandangi langit yang gelap, di mana bintang-bintang tampak pudar di balik kabut yang mulai turun. Pedang Naga Langit terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah mengingatkan akan beban yang harus ia tanggung. Tangannya gemetar, namun ia tetap menggenggam erat, tak mau melepaskannya.Putri Ling’er berdiri di belakangnya, dengan mata yang penuh keraguan. Ia tahu betul bahwa perjalanan ini sudah berada di ujungnya. Namun, yang membuat hatinya semakin berat adalah kenyataan bahwa Li Feng kini berada di persimpangan jalan yang tak bisa lagi dihindari. Kutukan pedang itu semakin mencekik mereka berdua.“Li Feng…” suara Ling’er terdengar pelan, namun mengandung beban yang begitu besar. Ia berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di belakangnya, dan menatap punggung pemuda itu. “Kita harus berhenti. Kau tak bisa terus sepert

  • PEDANG NAGA LANGIT   Bab 114: Rahasia Darah Leluhur

    Hujan gerimis masih mengguyur hutan lebat di perbatasan utara Kekaisaran. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Di antara kabut yang menggantung rendah, tiga sosok berdiri dalam lingkaran batu kuno yang terukir dengan simbol-simbol tua. Li Feng menggenggam Pedang Naga Langit erat-erat. Di depannya, dua orang tua berjubah hitam berdiri diam bagaikan arca. Mata mereka—tajam dan penuh kenangan—menatapnya tanpa berkedip. Mereka adalah pemilik dua pedang kembar: Pedang Angin dan Pedang Petir. Merekalah dua penjaga rahasia terdalam dunia persilatan. Dan kini, rahasia itu terkuak. "Jadi... kalian bilang darahku berasal dari garis keturunan yang mengikat tiga pedang ini?" Li Feng bertanya, suaranya lirih namun bergetar. Orang tua berjanggut putih, pemilik Pedang Angin, mengangguk pelan. "Bukan sekadar berasal. Kau adalah warisan terakhir dari klan Leluhur Langit. Tiga pedang ini—Naga, Angin, dan Petir—diciptakan untuk sat

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status