Roni langsung terburu-buru masuk kamar mandi begitu melihat Dewi keluar, panggilan alam katanya.
"Kok, gak sholat?" tanya suami Dewi itu. Yang terlihat ganteng dengan memakai sarung, baju koko dan kopiah.
"Lagi kedatangan tamu Mas."
"Oh."
Selama menunggu Roni sholat, Dewi membuka gawainya. Berselancar ke dunia maya. Rindu dengan adik-adiknya di Panti. Dewi mengintip akun mereka. 'Alhamdulillah, sepertinya adik-adikku sehat' kata Dewi di dalam hatinya. Mereka semalam pergi jalan-jalan ke kolam renang yang tak jauh dari Panti. Itulah yang di lihat Dewi dari postingan salah satu anak Panti di media sosialnya. Bu Yanti memang rajin membawa anak-anak Panti refresing. Paling tidak sebulan sekali. "Nanti siang, aku akan video call mereka. Kangen dengar celotehan mereka," gumam Dewi.
Tiba-tiba, Dewi seperti melihat siluet orang di jendela kamar. Dengan berjingkat Dewi bangkit dari tempat tidur, dan berjalan pelan ke arah jende
"Mas, ini kan hari Minggu. Apa gak libur ke ke kebunnya.""Oh iya, Mas lupa. Biasanya sih, Bapak gak ke kebun kalau hari Minggu. Kalau nanti Mas gak diajak ke kebun sama Bapak. Kita ke rumah Iwan lagi.""Ngapain Mas?" Agak heran Dewi, apa hubungannya masalah ini dengan bang Iwan, pikirnya."Mas kan pernah bilang, kalau Iwan itu bisa melihat yang tidak bisa kita lihat. Iwan dulu juga pernah di Pesantren selama enam tahun. Siapa tau, dia bisa membantu kita."Dewi mulai mengerti, padahal baru kemarin Roni cerita padanya tentang Iwan."Iya ya Mas, mudah-mudahan dia bisa membantu kita. Mencari tau, apa yang sebenarnya terjadi sama Bapak dan Ibu."Mereka terus berlari kecil, sesekali berhenti untuk melakukan peregangan. Kembali mata Dewi tertuju ke arah Ibu penjual tiwul, yang mengambil daun-daun jati untuk membungkus tiwul-tiwulnya."Mas, itu Ibu penjual tiwul di Pekan," tunjuk Dewi ke arah
"Mas sekarang percaya kan? Ada yang aneh di rumah kita." Dewi menyambung pembicaraan mereka tadi."Iya, kita harus cari tau hal itu juga. Banyak misteri yang harus diungkap.""Ibu tadi juga aneh, ya Mas. Dia kok kayak mengenalku. Tapi, bagaimana bisa?""Mas rasa, Ibu itu mengetahui jati diri kamu sebenarnya."'Apa benar, Ibu itu tau jati diriku sebenarnya? Apa orang tua kandungku, juga berasal dari kampung ini. Ah, aku tak begitu perduli tentang jati diriku. Buat apa aku mencari mereka! Mereka juga sudah membuangku, bahkan … mungkin mereka mau aku mati saat itu. Berarti mereka tak menginginkan diriku. Ada rasa sakit di hati ini, bila mengingat aku hanya lah anak yang dibuang' batin Dewi terus berkecamuk sendiri."Mas, kalau memang benar Ibu itu tau tentang jati diriku. Biarkan saja lah, tak usah kita cari tau lagi." Roni menghentikan langkahnya ketika mendengar apa istrinya itu katakan."Kamu yaki
"Kebelet pipis." Dewi berdalih lalu masuk ke kamar mandi.Gantian Roni masuk kamar mandi setelah melihat Dewi keluar."Kita sarapan dulu," ajak Roni.Sebenarnya Dewi belum lapar, tapi gak enak juga menolak ajakan Roni. Apalagi Bik Jum sudah repot menyiapkannya buat mereka. Memang itu sudah menjadi tugas Bik Jum, tapi tentunya dia akan berkecil hati, bila ternyata sang majikan tak berkenan menyentuh makanan yang telah disiapkan. Dengan malas, Dewi bangkit juga dari ranjang memenuhi ajakan Roni."Bapak sama Ibuk kemana Bik?" tanya Roni pada Bik Jum, seraya menikmati sarapannya."Gak tau Mas, siap sarapan tadi langsung keluar," jawab bik Jum. Tangannya sibuk mengelap setiap furnit
Suara-suara itu terus bersahutan di telinga Dewi, rasanya gendang telinganya hampir pecah. Kadang suara itu terdengar jelas, kadang seperti desauan angin. Dewi mencoba menutup telinganya, tapi suara itu seolah sudah menempel di kepalanya.Dewi pejamkan matanya kuat-kuat, tiba-tiba ada sesuatu yang dingin menyentuh tangannya. Dewi buka matanya perlahan, matanya langsung membeliak. Melihat dua orang anak itu, anak laki-laki dan perempuan yang dilihat di mimpinya.Tangan mereka memegang tangan Dewi, menarik dan mengajaknya ke suatu tempat. Dewi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut saja dengan mereka. Dewi melihat ke arah Roni yang masih tertidur. Dewi ingin minta tolong dengannya, tapi suaranya seperti hilang. Dewi tak mampu mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya. Pun tak mampu menepis tangan mereka dari tangannya.'Mas, bangun! Tolong aku' Dewi coba berteriak, namun suaranya tak keluar. Dewi hanya bisa me
melakukannya. Kalau memang sangat dibutuhkan, nanti aku minta tolong sahabatku di pesantren.""Kalau bisa secepatnya Bung. Aku takut terjadi sesuatu dengan istriku.""Sabar Bung. Saat ini istrimu sedang berhalangan." Dahi Dewi mengernyit merasa heran, kenapa Iwan bisa tau kalau dia sedang berhalangan. Tapi Dewi hanya diam, merasa tak enak kalau bertanya hal seperti ini."Sebab itu mereka bisa lebih leluasa mengganggu istrimu. Banyak kan dzikir di rumah kalian. Aura rumahmu itu terlalu gelap Bung." Kata-kata Iwan cukup masuk akal bagi mereka.Rumah mertua Dewi memang megah, tapi suram. Siapapun yang masuk untuk pertama kalinya, pasti akan bergidik.
"Malah melamun, mau pulang gak?" tanya Roni yang sudah di atas motor, sementara Dewi masih saja sibuk bermonolog dengan dirinya sendiri.Tanpa menjawab, Dewi pun naik ke atas boncengan, dia merasa malas mau pulang. Rasa takut mulai menyergap, padahal mereka belum lagi sampai di rumah.Masih lagi di luar gerbang, mata mereka melihat Pak Darma dan Bu Wati sedang menikmati suasana sore di teras rumah. Tentu saja, dengan patung kuda menjadi objek utama pandangan mereka.Pak Dirman langsung membukakan gerbang, saat mendengar klakson sepeda motor anak majikannya itu. Roni langsung melajukan sepeda motor ke arah garasi. Setelah sepeda motor diparkirkan di garasi, mereka berjalan ke arah depan rumah.
"Aaaarrghh!" Dewi dan Roni terkejut mendengar ada suara jeritan.Gegas mereka berlari kecil, dengan cepat menuruni anak tangga. Mereka langsung menuju ke kamar Bu Wati. Suara itu berasal dari kamar Bu Wati."Bu! Ibu! Ibu kenapa?" Roni memanggil-manggil, sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar orangtuanya. Gurat khawatir tergambar jelas di wajahnya. Takut terjadi apa-apa dengan orangtuanya."Eng–gak papa. Ma–matiin tivinya." Suara Bu Wati terbata dari dalam kamar.Dewi cepat berlari lagi ke atas, segera mematikan tivi. Lalu balik lagi, pintu kamar Bu Wati belum dibuka juga ternyata."Ibu, buka dulu pintunya," pinta Roni.
"Mas memikirkan Bapak dan Ibu," kata Roni dengan pandangan nanar ke dinding kamar.Dewi memahami maksud Roni, hatinya pasti sedang dilanda kegalauan saat ini. Melihat hubungan yang semakin dingin dengan orangtuanya. Juga banyaknya kejanggalan yang terjadi."Apa yang ingin Mas lakukan?""Entahlah, terlalu banyak misteri di rumah ini.""Bapak dan Ibu sepertinya menyembunyikan sesuatu yang besar dari Mas," ucap Roni.Ya, di rumah itu banyak misteri yang belum terungkap.★★★KARTIKA DEKA★★★Sudah dua hari ini, De
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa