Suara-suara itu terus bersahutan di telinga Dewi, rasanya gendang telinganya hampir pecah. Kadang suara itu terdengar jelas, kadang seperti desauan angin. Dewi mencoba menutup telinganya, tapi suara itu seolah sudah menempel di kepalanya.
Dewi pejamkan matanya kuat-kuat, tiba-tiba ada sesuatu yang dingin menyentuh tangannya. Dewi buka matanya perlahan, matanya langsung membeliak. Melihat dua orang anak itu, anak laki-laki dan perempuan yang dilihat di mimpinya.
Tangan mereka memegang tangan Dewi, menarik dan mengajaknya ke suatu tempat. Dewi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut saja dengan mereka. Dewi melihat ke arah Roni yang masih tertidur. Dewi ingin minta tolong dengannya, tapi suaranya seperti hilang. Dewi tak mampu mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya. Pun tak mampu menepis tangan mereka dari tangannya.
'Mas, bangun! Tolong aku' Dewi coba berteriak, namun suaranya tak keluar. Dewi hanya bisa me
melakukannya. Kalau memang sangat dibutuhkan, nanti aku minta tolong sahabatku di pesantren.""Kalau bisa secepatnya Bung. Aku takut terjadi sesuatu dengan istriku.""Sabar Bung. Saat ini istrimu sedang berhalangan." Dahi Dewi mengernyit merasa heran, kenapa Iwan bisa tau kalau dia sedang berhalangan. Tapi Dewi hanya diam, merasa tak enak kalau bertanya hal seperti ini."Sebab itu mereka bisa lebih leluasa mengganggu istrimu. Banyak kan dzikir di rumah kalian. Aura rumahmu itu terlalu gelap Bung." Kata-kata Iwan cukup masuk akal bagi mereka.Rumah mertua Dewi memang megah, tapi suram. Siapapun yang masuk untuk pertama kalinya, pasti akan bergidik.
"Malah melamun, mau pulang gak?" tanya Roni yang sudah di atas motor, sementara Dewi masih saja sibuk bermonolog dengan dirinya sendiri.Tanpa menjawab, Dewi pun naik ke atas boncengan, dia merasa malas mau pulang. Rasa takut mulai menyergap, padahal mereka belum lagi sampai di rumah.Masih lagi di luar gerbang, mata mereka melihat Pak Darma dan Bu Wati sedang menikmati suasana sore di teras rumah. Tentu saja, dengan patung kuda menjadi objek utama pandangan mereka.Pak Dirman langsung membukakan gerbang, saat mendengar klakson sepeda motor anak majikannya itu. Roni langsung melajukan sepeda motor ke arah garasi. Setelah sepeda motor diparkirkan di garasi, mereka berjalan ke arah depan rumah.
"Aaaarrghh!" Dewi dan Roni terkejut mendengar ada suara jeritan.Gegas mereka berlari kecil, dengan cepat menuruni anak tangga. Mereka langsung menuju ke kamar Bu Wati. Suara itu berasal dari kamar Bu Wati."Bu! Ibu! Ibu kenapa?" Roni memanggil-manggil, sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar orangtuanya. Gurat khawatir tergambar jelas di wajahnya. Takut terjadi apa-apa dengan orangtuanya."Eng–gak papa. Ma–matiin tivinya." Suara Bu Wati terbata dari dalam kamar.Dewi cepat berlari lagi ke atas, segera mematikan tivi. Lalu balik lagi, pintu kamar Bu Wati belum dibuka juga ternyata."Ibu, buka dulu pintunya," pinta Roni.
"Mas memikirkan Bapak dan Ibu," kata Roni dengan pandangan nanar ke dinding kamar.Dewi memahami maksud Roni, hatinya pasti sedang dilanda kegalauan saat ini. Melihat hubungan yang semakin dingin dengan orangtuanya. Juga banyaknya kejanggalan yang terjadi."Apa yang ingin Mas lakukan?""Entahlah, terlalu banyak misteri di rumah ini.""Bapak dan Ibu sepertinya menyembunyikan sesuatu yang besar dari Mas," ucap Roni.Ya, di rumah itu banyak misteri yang belum terungkap.★★★KARTIKA DEKA★★★Sudah dua hari ini, De
Roni sulit untuk menjelaskan keadaan Dewi, dia membuka pintu kamar perlahan. Untuk menunjukkan langsung pada Bapaknya, apa yang sedang terjadi pada istrinya. Pak Darma melihat Dewi masih berdiri bergelantungan di langit-langit kamar. Tanpa rasa takut, Pak Darma masuk."Siapa kamu?!" tanya Pak Darma tegas. Dewi memandang Pak Darma dengan bola matanya yang tetap saja putih."Bapak jahat!" Roni terperanjat mendengar suara yang keluar dari mulut Dewi. Seperti suara anak kecil. Suaranya begitu menggema. Dan seperti buka berasal dari satu orang, tapi suara dua orang."Keluar dari tubuh Dewi!" titah Pak Darma."Gak mau!" Dia yang saat ini sedang menguasai tubuh Dew
Terdengar suara gaduh di dalam kamar Bu Wati. Mereka semua saling pandang. Pintu kamar Bu Wati terkunci. Roni mencoba mendobraknya."Ibuk, Bapak!" Roni memanggil dengan suara yang kuat. Tapi tak ada sahutan, hanya suara rintihan dan erangan yang terdengar.Roni coba dobrak lagi, kali ini dibantu Iwan. Beberapa kali mereka mendobrak, sempat mengalami kesulitan karena pintu yang sangat kokoh, akhirnya setelah hampir menyerah, pintu berhasil juga didobrak. Mereka semua terperanjat melihat kondisi kamar Bu Wati yang sangat berantakan.Roni melihat Bapaknya menggeliat di dekat lemari, seperti menahan sakit yang teramat sangat. Iwan segera menolong Pak Darma yang terus mengerang kesakitan.Hal ta
Terdengar suara gaduh di dalam kamar Bu Wati. Mereka semua saling pandang. Pintu kamar Bu Wati terkunci. Roni mencoba mendobraknya."Ibuk, Bapak!" Roni memanggil dengan suara yang kuat. Tapi tak ada sahutan, hanya suara rintihan dan erangan yang terdengar.Roni coba dobrak lagi, kali ini dibantu Iwan. Beberapa kali mereka mendobrak, sempat mengalami kesulitan karena pintu yang sangat kokoh, akhirnya setelah hampir menyerah, pintu berhasil juga didobrak. Mereka semua terperanjat melihat kondisi kamar Bu Wati yang sangat berantakan.Roni melihat Bapaknya menggeliat di dekat lemari, seperti menahan sakit yang teramat sangat. Iwan segera menolong Pak Darma yang terus mengerang kesakitan.Hal tak jauh berbeda pun terjadi dengan Bu Wati, dia mengge
Roni segera mendekati istrinya, membantunya berjalan dengan memapahnya. Dewi kelihatan begitu lemah. Wajahnya pun masih terlihat pucat. Roni membantunya duduk di sofa."Bik, tolong ambilkan air minum buat Dewi," kata Roni pada Bik Jum."Air yang di botol tadi. sudah habis Bung?" tanya Iwan."Masih ada," jawab Roni."Itu saja minumkan. Air itu sudah dibacakan doa ruqyah, sama santri-santri di Pesantren. Kami sengaja membawa beberapa botol," ucap Iwan. Roni segera beranjak masuk ke kamarnya, mengambil sisa air di botol mineral yang tadi buat membasuh wajah Dewi.Segera diminumkan air itu perlahan ke istrinya. "Ada apa denganku Mas?" tanya Dewi dengan suara yang masih terdengar le
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa