Dewi tampak diam berusaha mencerna kata-kata Iwan. Sebenarnya, Roni ingin Dewi yang dulu, yang normal. Roni takut akan terjadi hal yang tak diinginkan lagi.
"Tutup saja Wi. Bulek juga gak mau, kalau kamu mengalami kejadian kayak kemaren lagi," kata Bu Ipah ikut meyakinkan Dewi untuk membatalkan niatnya yang ingin, mata batinnya tetap terbuka.
"Ya sudah Bang, nanti saya coba ruqyah diri sendiri." Akhirnya Dewi menurut.
"Kalau nanti kamu masih melihat penampakan, lawan rasa takutnya. Ingat, kita lebih tinggi derajatnya dari mereka. Kalau kamu berani, mereka justru tak berani ganggu dan menampakkan diri di hadapan kamu," pesan Iwan.
"Iya Bang. Insha Allah," jawab Dewi yakin. Semoga kali ini tak
"Begini Bung. Memang harta yang didapatkan dengan cara-cara yang tak lazim apalagi sampai menyekutukan Allah, adalah haram. Sementara Allah tak menerima zakat dari yang haram. Kau kan tau, berzakat adalah salah satu upaya kita untuk membersihkan harta. Seperti di riwayatkan hadis riwayat Muslim, Allah itu Maha baik dan hanya menerima yang baik-baik." Roni terhenyak mendengar perkataan Iwan. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Jelas harta yang diperoleh Bapaknya, tak baik asalnya."Jadi aku harus bagaimana Wan?""Sebaiknya kau gunakan untuk fasilitas umum, seperti perbaikan jalan yang rusak, bikin jembatan penyebrangan sungai misalnya. Kan, bisa bermanfaat juga untuk kemaslahatan orang banyak. Mudah-mudahan dengan cara ini, paling tidak bisa mengurangi beban hatimu." Roni tersenyum mendengar ucapan Iwan barusan. Tak salah dia berdisk
Roni terus melangkahkan kaki ke arah gudang. Dia berhenti di depan taman mini milik Bu Wati. Di taman itu lah, Ibunya itu sering menghabiskan waktu. Roni lama memandang taman itu. Membayangkan Bu Wati yang membersihkan rumput liar di setiap pot tanamannya. Bu Wati bisa tahan berlama-lama, berada di antara tanaman-tanaman hias koleksinya. Ada rasa rindu menyusup di hati Roni, kala mengingat almarhumah Ibunya itu.Roni melangkah lagi ke arah gudang. Ingin melihat pekerjaan Pak Dirman. "Lah, Pak. Belum kelar juga?" tanya Roni yang melihat gudang masih berantakan."Em, anu Mas." Pak Dirman nyengir, bingung mau jawab apa. Sebenarnya dia masih takut, bila mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu. Tapi malu kalau harus berterus terang."Ya sudah, kita kerjaka
[Mas, bisa kemari. Ada masalah di kebun!] Suara Joko terdengar panik."Masalah apa?""Mas kemari aja, lihat sendiri." Joko enggan menyampaikan masalah apa kiranya yang sedang terjadi. Sepertinya ada hal yang serius sedang terjadi di kebun Pak Darma."Ya sudah, saya segera ke sana. Assalamualaikum!" Klik, Roni matikan sambungan telepon. Tanpa menunggu jawaban dari Joko lagi."Pak, saya tinggal ya. Tolong bereskan semua. Tinggal sedikit lagi," kata Roni pada Pak Dirman."Baik, Mas." Pak Dirman kali ini menyanggupi, karena memang tinggal bagian gudang saja yang belum beres. Tinggal menggeser barang-barang yang biasa di pakai untuk bertukang d
Roni berjongkok, memperhatikan lebih detail setiap janjangan sawit. Pangkal batangnya tampak sehat, tapi kenapa buahnya busuk? Ini sungguh mengherankan bagi Roni. Juga bagi para pekerja, yang sebagian sudah berpengalaman. Baru kali ini mereka menghadapi masalah seperti ini."Sudah di cek pohonnya? Mungkin ada hama," tanya Roni pada semua karyawan.Dia berdiri dengan menepuk ringan kedua tangannya, yang kotor karena baru memegang janjangan sawit."Sudah Mas. Semua baik-baik saja," sahut beberapa dari mereka.Roni mengangguk, Roni sangat percaya pada mereka semua. Mereka sudah sangat lama ikut Bapak, dan selama ini mereka sangat bertanggung jawab dengan pekerjaan mereka.
Pagi ini Roni, Dewi, Bulek dan Dodo berencana akan ke rumah Bu Wiyah. Untuk mencari tau kebenaran tentang orang tua kandung Dewi. Hanya Bu Wiyah lah satu-satunya yang diharapkan bisa memberi informasi yang sebenarnya saat ini. Karena Bu Ipah, sama sekali tak tahu menahu tentang hal itu.Mereka sengaja tak bawa mobil, karena jalan menuju ke rumah Bu Wiyah, harus melalui jalan setapak yang ada di tengah perkebunan sawit. Tentu akan sangat menyulitkan bila membawa mobil.Roni bersama Dodo mengeluarkan motornya dari dalam garasi. Memanaskan mesinnya sebentar di halaman depan rumahnya. Selagi Roni memanaskan mesin motor, Dewi dan Bu Ipah menunggu di teras rumah.Bu Ipah memandang ke sekeliling rumah, mencari sesuatu. Dia merasa ada yang lain dari rumah mendiang Kakaknya. Dia coba
Mereka mulai memasuki jalan setapak menuju ke rumah Bu Wiyah. Tak ada lagi dialog antara Roni dan Dewi. Mungkin pikiran mereka saat ini sedang carut marut. Kalau benar kecurigaan mereka, Dewi adalah anak Bu Minati adik Bapak yang bungsu. Berarti Dewi keponakan kandung Bapak. Apa hal itu yang membuat Dewi sering diganggu? Karena masih adanya hubungan darah dengan Pak Darma.Dari jauh, mereka sudah melihat rumah Bu Wiyah. Rumah yang sangat sederhana namun nampak asri. Keadaan di sekitarnya sangat sepi, karena jarak rumah yang satu dengan yang lainnya lumayan jauh.Mereka turun dari motor setelah memarkirkannya di halaman rumah Bu Wiyah. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Tak mungkin Bu Wiyah tak mendengar deru suara mesin motor mereka. Walaupun suaranya halus, tapi di tengah suasana yang sunyi begini, pasti a
"Ada," jawab Pak Marno."Siapa Pak? Apa Bapak mengenalnya?" tanya Dewi. Dewi sangat tak sabaran dan penasaran, ternyata benar dugaannya. Apa yang mencari Bu Wiyah punya kepentingan yang sama dengan mereka?"Pak Darma. Orang paling kaya di kampung ini," kata Pak Marno.Mereka semua saling pandang, ternyata Pak Darma yang mencari Bu Wiyah. Kenapa Bu Wiyah juga menghindar bertemu dengan Pak Darma? Tapi anehnya, kenapa dia justru memilih tinggal di kampung yang sama dengan Pak Darma. Kalau tak ingin berjumpa dengannya."Apa Bu Wiyah gak pernah cerita sama Bapak. Kenapa dia menghindar dari Pak Darma?" tanya Roni tanpa memberitahukan kalau dia anak Pak Darma.
Terlihat Bu Wiyah berjalan seorang diri. Sesekali dia melihat ke belakang, seolah takut ada yang menguntitnya. Rasanya mereka tak sabar ingin mendengar cerita dari mulut Bu Wiyah."Bulek, itu kan, Bu Wiyah adik Bapak?" tanya Roni pada Bu Ipah."Iya, tak salah lagi. Itu Wiyah," kata Bu Ipah, dimatanya sudah mengambang bening kristal yang siap merangsek untuk keluar. Haru juga sedih berbaur menjadi satu di hati Bu Ipah saat ini.Sudah sangat lama dia tak bertemu dengan Bu Wiyah, ipar sekaligus sahabat sejak dia masih kecil. Juga sedih, melihat keadaan Bu Wiyah yang sangat miris. Hidup dalam serba keterbatasan, juga kesepian seorang diri.Sejatinya, Bu Ipah pun sama, hidup seorang diri di kampungnya. Karena