"Begini Bung. Memang harta yang didapatkan dengan cara-cara yang tak lazim apalagi sampai menyekutukan Allah, adalah haram. Sementara Allah tak menerima zakat dari yang haram. Kau kan tau, berzakat adalah salah satu upaya kita untuk membersihkan harta. Seperti di riwayatkan hadis riwayat Muslim, Allah itu Maha baik dan hanya menerima yang baik-baik." Roni terhenyak mendengar perkataan Iwan. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Jelas harta yang diperoleh Bapaknya, tak baik asalnya.
"Jadi aku harus bagaimana Wan?"
"Sebaiknya kau gunakan untuk fasilitas umum, seperti perbaikan jalan yang rusak, bikin jembatan penyebrangan sungai misalnya. Kan, bisa bermanfaat juga untuk kemaslahatan orang banyak. Mudah-mudahan dengan cara ini, paling tidak bisa mengurangi beban hatimu." Roni tersenyum mendengar ucapan Iwan barusan. Tak salah dia berdisk
Roni terus melangkahkan kaki ke arah gudang. Dia berhenti di depan taman mini milik Bu Wati. Di taman itu lah, Ibunya itu sering menghabiskan waktu. Roni lama memandang taman itu. Membayangkan Bu Wati yang membersihkan rumput liar di setiap pot tanamannya. Bu Wati bisa tahan berlama-lama, berada di antara tanaman-tanaman hias koleksinya. Ada rasa rindu menyusup di hati Roni, kala mengingat almarhumah Ibunya itu.Roni melangkah lagi ke arah gudang. Ingin melihat pekerjaan Pak Dirman. "Lah, Pak. Belum kelar juga?" tanya Roni yang melihat gudang masih berantakan."Em, anu Mas." Pak Dirman nyengir, bingung mau jawab apa. Sebenarnya dia masih takut, bila mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu. Tapi malu kalau harus berterus terang."Ya sudah, kita kerjaka
[Mas, bisa kemari. Ada masalah di kebun!] Suara Joko terdengar panik."Masalah apa?""Mas kemari aja, lihat sendiri." Joko enggan menyampaikan masalah apa kiranya yang sedang terjadi. Sepertinya ada hal yang serius sedang terjadi di kebun Pak Darma."Ya sudah, saya segera ke sana. Assalamualaikum!" Klik, Roni matikan sambungan telepon. Tanpa menunggu jawaban dari Joko lagi."Pak, saya tinggal ya. Tolong bereskan semua. Tinggal sedikit lagi," kata Roni pada Pak Dirman."Baik, Mas." Pak Dirman kali ini menyanggupi, karena memang tinggal bagian gudang saja yang belum beres. Tinggal menggeser barang-barang yang biasa di pakai untuk bertukang d
Roni berjongkok, memperhatikan lebih detail setiap janjangan sawit. Pangkal batangnya tampak sehat, tapi kenapa buahnya busuk? Ini sungguh mengherankan bagi Roni. Juga bagi para pekerja, yang sebagian sudah berpengalaman. Baru kali ini mereka menghadapi masalah seperti ini."Sudah di cek pohonnya? Mungkin ada hama," tanya Roni pada semua karyawan.Dia berdiri dengan menepuk ringan kedua tangannya, yang kotor karena baru memegang janjangan sawit."Sudah Mas. Semua baik-baik saja," sahut beberapa dari mereka.Roni mengangguk, Roni sangat percaya pada mereka semua. Mereka sudah sangat lama ikut Bapak, dan selama ini mereka sangat bertanggung jawab dengan pekerjaan mereka.
Pagi ini Roni, Dewi, Bulek dan Dodo berencana akan ke rumah Bu Wiyah. Untuk mencari tau kebenaran tentang orang tua kandung Dewi. Hanya Bu Wiyah lah satu-satunya yang diharapkan bisa memberi informasi yang sebenarnya saat ini. Karena Bu Ipah, sama sekali tak tahu menahu tentang hal itu.Mereka sengaja tak bawa mobil, karena jalan menuju ke rumah Bu Wiyah, harus melalui jalan setapak yang ada di tengah perkebunan sawit. Tentu akan sangat menyulitkan bila membawa mobil.Roni bersama Dodo mengeluarkan motornya dari dalam garasi. Memanaskan mesinnya sebentar di halaman depan rumahnya. Selagi Roni memanaskan mesin motor, Dewi dan Bu Ipah menunggu di teras rumah.Bu Ipah memandang ke sekeliling rumah, mencari sesuatu. Dia merasa ada yang lain dari rumah mendiang Kakaknya. Dia coba
Mereka mulai memasuki jalan setapak menuju ke rumah Bu Wiyah. Tak ada lagi dialog antara Roni dan Dewi. Mungkin pikiran mereka saat ini sedang carut marut. Kalau benar kecurigaan mereka, Dewi adalah anak Bu Minati adik Bapak yang bungsu. Berarti Dewi keponakan kandung Bapak. Apa hal itu yang membuat Dewi sering diganggu? Karena masih adanya hubungan darah dengan Pak Darma.Dari jauh, mereka sudah melihat rumah Bu Wiyah. Rumah yang sangat sederhana namun nampak asri. Keadaan di sekitarnya sangat sepi, karena jarak rumah yang satu dengan yang lainnya lumayan jauh.Mereka turun dari motor setelah memarkirkannya di halaman rumah Bu Wiyah. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Tak mungkin Bu Wiyah tak mendengar deru suara mesin motor mereka. Walaupun suaranya halus, tapi di tengah suasana yang sunyi begini, pasti a
"Ada," jawab Pak Marno."Siapa Pak? Apa Bapak mengenalnya?" tanya Dewi. Dewi sangat tak sabaran dan penasaran, ternyata benar dugaannya. Apa yang mencari Bu Wiyah punya kepentingan yang sama dengan mereka?"Pak Darma. Orang paling kaya di kampung ini," kata Pak Marno.Mereka semua saling pandang, ternyata Pak Darma yang mencari Bu Wiyah. Kenapa Bu Wiyah juga menghindar bertemu dengan Pak Darma? Tapi anehnya, kenapa dia justru memilih tinggal di kampung yang sama dengan Pak Darma. Kalau tak ingin berjumpa dengannya."Apa Bu Wiyah gak pernah cerita sama Bapak. Kenapa dia menghindar dari Pak Darma?" tanya Roni tanpa memberitahukan kalau dia anak Pak Darma.
Terlihat Bu Wiyah berjalan seorang diri. Sesekali dia melihat ke belakang, seolah takut ada yang menguntitnya. Rasanya mereka tak sabar ingin mendengar cerita dari mulut Bu Wiyah."Bulek, itu kan, Bu Wiyah adik Bapak?" tanya Roni pada Bu Ipah."Iya, tak salah lagi. Itu Wiyah," kata Bu Ipah, dimatanya sudah mengambang bening kristal yang siap merangsek untuk keluar. Haru juga sedih berbaur menjadi satu di hati Bu Ipah saat ini.Sudah sangat lama dia tak bertemu dengan Bu Wiyah, ipar sekaligus sahabat sejak dia masih kecil. Juga sedih, melihat keadaan Bu Wiyah yang sangat miris. Hidup dalam serba keterbatasan, juga kesepian seorang diri.Sejatinya, Bu Ipah pun sama, hidup seorang diri di kampungnya. Karena
Mereka mendengar suara langkah kaki. Juga suara pintu yang dibuka. Bu Wiyah membuka pintu tak terlalu lebar, hanya untuk melihat siapa yang datang saja. Dia mematung melihat orang-orang yang ada di depan rumahnya."Wiyah, ya Allah Wiyah. Ini aku, Ipah," kata Bu Ipah langsung merangsek ke dalam. Tanpa aba-aba, Bu Ipah langsung memeluk Bu Wiyah.Bu Wiyah masih terpaku, serasa tak percaya atas apa yang dilihatnya. Bu Ipah menangis haru, rasa rindu Bu Ipah akhirnya bisa terobati. Orang yang dipeluknya saat ini, adalah benar sahabatnya."Ipah?" Hanya sepenggal nama yang meluncur dari mulut Bu Wiyah. Seolah tak percaya, bahwa benar Bu Ipah yang ada di hadapannya."Iya, Wiyah. Ini aku," kata Bu Ipah mencoba mey
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa