Dewi mencoba melirik dengan ekor matanya ke arah belakang, jantungnya berpacu melebihi batas normal membuat dadanya bergerak naik turun mengikuti irama jantungnya yang berpacu dengan sangat kencang. Perlahan dia palingkan kepalanya untuk melihat ke belakang. Diabaikan, keringat yang mengalir di pelipisnya.
Astaga, Dewi menutup mulutnya, dia langsung menjauh dengan merangkak. Tak mungkin untuk berlari, dengan kondisi kakinya yang terkilir. Dewi melihat makhluk dengan tubuh yang sangat besar sekali, ada di belakangnya. Makhluk itu sangat menyeramkan. Matanya merah, kulitnya hitam legam, hanya sinar bulan yang mengintip dari balik awan yang membantu Dewi memberi penerangan. Makhluk apa lagi itu, rambutnya acak-acakan dengan perut yang sangat buncit.
"Huahahahaha."
"Hahahahaha "<
Dewi berhasil. Makhluk itu menghentikan langkahnya. Untuk sejenak, dia diam memperhatikan Dewi. Matanya nyalang melihat ke arah Dewi, membuat siapa pun akan jatuh pingsan bila berhadapan dengannya. Dewi mencoba untuk bangkit, dia harus bisa berdiri, dibantu kayu di tangannya sebagai tongkat."Hihihihihhihi."Makhluk itu tertawa lagi, cekikikan. Jauh lebih menyeramkan daripada tadi.Dewi harus bisa mengalahkan rasa takutnya. Atau akan mati konyol di tempat itu. Dewi tak mau hal itu terjadi. Setelah Roni berhasil bangkit, Roni berusaha lari menjauh. Namun … bagaimana dia bisa lari? Dengan kondisi kaki terkilir seperti itu. Dewi, orang yang pantang menyerah, dia seret paksa kakinya. Dia terus berjalan dengan susah payah, dibantu kayu di tangannya. Mumpung makhluk itu
"Saya tak tau makhluk apa itu. Seperti hantu," kata Dewi, rasa takut itu hadir kembali di hatinya kala mengingat makhluk-makhluk tadi."Kamu sudah pernah kerasukan. Gerbang mereka untuk masuk mengganggumu sudah terbuka. Sebab itu mereka mudah menunjukkan diri di hadapanmu." Dahi Dewi mengernyit mendengar perkataan Ibu itu. 'Bagaimana dia bisa tau, kalau aku pernah kerasukan?' batin Dewi."Ibu kok tau, saya pernah kerasukan?" tanya Dewi. Dewi sangat tak sabaran, dia sudah bosan banyak menyimpan tanya hanya di dalam hati. Ada baiknya langsung bertanya saja pikirnya."Tak perlu tau, saya tau darimana. Istirahat saja lah dulu," kata Ibu itu."Ini dimana Buk?"
Roni pun terpaksa masuk ke kamar. Dia harus bersabar menunggu besok. Kamar itu sudah seperti kamarnya sendiri. Sejak dulu, kalau dia datang menginap, dia selalu tidur di kamar ini. Tak ada yang berubah dari kamar ini. Masih seperti dulu. Makanya Bu Ipah tak lagi memberi tahu nya, dia harus tidur dimana.Roni mengganti bajunya, dengan baju yang benar-benar kering. Walaupun baju yang dikenakannya tak basah, tapi terasa lembab dipakai."Yang, ganti baju dulu. Baju yang ini agak terasa lembab. Nanti masuk angin.""Gak papa Mas, masih kering kok. Aku tidur duluan ya. Ngantuk sekali." Dewi langsung tidur memunggungi Roni."Sholat Isya dulu Yang," ajak Roni. Hening tak ada jawaban. Hanya terdengar suara d
"Dewi, Bulek. Tadi waktu kita ke Masjid, dia masih tidur," sahut Roni kebingungan."Dewi? Kapan dia datang?" Bu Ipah malah bertanya. Membuat Roni semakin bingung."Sama Roni tadi malam, Bulek," jjawab RoniBu Ipah justru semakin heran melihat Roni. Hingga alisnya bertaut. "Kamu datang sendirian, Roni," kata Bu Ipah, mungkin Roni lupa pikirnya.'Hah, apa maksud Bulek aku datang sendirian?' batin Roni. Jelas jelas dia datang sama Dewi. Bahkan tadi masih dia lihat Dewi tertidur di sebelahnya."Roni datang berdua sama Dewi, Bulek. Masak Bulek gak lihat Dewi." Roni mencoba meyakinkan Bu Ipah. Barangkali Buleknya yang lupa.
Roni merasa tubuhnya lemas sekali. Siapa yang bersamanya tadi malam? Bagaimana nasib Dewi sekarang? Pasti dia sangat ketakutan saat ini. Kenapa dia bisa lengah menjaga istriku. Seharusnya dia menyadari sejak awal keanehannya. Pantas dia tak banyak bicara semalam. Dan keberatan saat diajak naik motor. Apa Dewi sudah mendapat firasat buruk? Banyak pertanyaan kini tersemat di benak Roni."Apa yang harus kita lakukan Ustad?" tanya Bu Ipah. Dari Nada pertanyaannya, Bu Ipah jelas juga sangat mengkhawatirkan Dewi."Kita harus segera mencarinya. Saya harap banyak warga yang ikut mencarinya. Kita memohon kepada Allah semoga di permudahkan. Sebaiknya banyak warga yang ikut, kita harus membuat kegaduhan. Biasanya suara yang terlalu bising mampu menembus alam mereka," papar Ustad Sidik.
"Iya, berondolan sekarung nanti Bapak bawa," jawab suaminya. GERRRR, sontak banyak yang tertawa. Di saat genting seperti ini, memang perlu ada yang menghibur sedikit. Biar tak terlalu tegang dan stres.Ustad Sidik geleng-geleng kepala melihatnya, tapi juga tak tahan untuk tak mengembangkan senyum di bibirnya."Sudah. Sudah selesai ... siapa lagi yang mau nitip oleh-oleh. Biar saya catat, takut suaminya lupa," kata Ustad Sidik. Para warga berusaha menyembunyikan tawa mereka."Kalau gak ada lagi, kita berangkat sekarang." Ustad Sidik berjalan paling depan. Memulai pencarian Dewi. Tasbih tetap berada di genggamannya. Hatinya terus memanggil nama Allah, seiring dengan biji tasbih yang ditarik satu persatu.
Sementara itu, Dewi lamat-lamat mendengar ada suara bising. Suaranya masih terdengar samar. Suara itu semakin terdengar jelas di telinga Dewi. Bahkan dia mendengar ada yang memanggil-manggil namanya. Suaranya sangat dikenal oleh Dewi. Seperti suara suaminya.Susah payah Dewi bangkit, untuk mendengarkan lebih jelas suara itu. "Itu benar suara Mas Roni," gumam Dewi, dengan senyum merekah di bibirnya. Hatinya senang sekali, akhirnya suaminya mencarinya."Bu, itu suami saya Bu," katanya pada Ibu itu.Ibu itu diam saja memperhatikan Dewi. Tanpa berniat untuk membantu Dewi jalan. Padahal Dewi sangat membutuhkan bantuannya. Namun untuk meminta pun, Dewi sungkan. Dipegangi dinding tepas rumah ini dengan hati-hati, Dewi takut rumah ini rubuh, kalau dia terlalu kuat memega
"Ustad, lihat itu!" teriak salah seorang warga. Sontak mereka melihat ke arah yang ditunjuknya.Mereka melihat ada sebuah gubuk terbuat dari tepas beratap nipah. Bentuknya sudah sangat reot, sampai-sampai sudah miring. Roni merasa aneh, sepertinya mereka beberapa kali melewati daerah itu, tapi baru kali ini melihat ada gubuk.Ustad Sidik berjalan menuju ke arah gubuk itu, mereka semua mengikutinya dari belakang. Mereka menyoroti gubuk itu dengan sinar dari senter yang mereka bawa. Semakin dekat ke gubuk, semakin jelas terlihat kalau gubuk ini jelas tak berpenghuni. Kondisinya sangat memprihatinkan, tanpa ada penerangan. Siapa orang yang sudi tinggal di tempat seperti itu.Perlahan Ustad Sidik membuka pintu itu, karena reyotnya, hingga pintu itu terlepas saat dibu
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa