Dua hari kemudian, Arlesa turun kembali ke penjara bawah tanah. Dia ingin mengetahui kondisi tragis Cusi. Adik ipar Rajab saat itu sudah tak mampu bersuara lagi. Tiga hari dia menjerit kesakitan karena bekas gigitan serangga.
"Apa kau sudah melihat ajalamu?" tanya Arlesa.Cusi melempar tatapan tajam padanya. Dia bahkan belum sudi meminta ampun atas kejahatannya."Kau memang perwujudan iblis! Aku akan membuat kamu mati perlahan," kata Arlesa."Dendam kami tidak akan berhenti pada kalian, kamu seoranh calon Raja! Tapi bodoh! Kau mempertahankan perempuan yang tidak setia padamu, yang rela di nikmati tubuhnya pada pria lain!" Cusi lagi-lagi ingin mendoktrin Arlesa.Suami Maysa itu tergugu. Dia berusaha agar tidak mempercayai itu, namun perkataan Cusi selalu saja menggodanya untuk marah."Tanyakan sendiri pada Jeval, dan kedua kakakmu, apa yang mereka sudah ketahui, " lanjut Cusi."PenjRajab dan Istrinya di bawah ke penjara bawah tanah. Di samping sel mereka ada Cusi yang merintih kesakitan karena tubuhnya di penuhi luka gigitan berbagai macam serangga. Istri Rajab berusaha menagajak adiknya itu bicara."Cusi, ini Kakak Cia, Dek," kata Istri Rajab pada adiknya itu.Cusi mendengar suara kakaknya membalikkan wajah. Dia merayap sedikit demi sedikit ke arah pembatas sel yang mengantarai mereka."Kak, badanku semua sakit," keluh Cusi. Istri Rajab melihat tubuh adiknya bentol di di penuhi darah. Semuat itu masih banyak menempel di tubuh Cusi."Cusi, maafkan Kakak, karena kami, kamu tersiksa seperti ini," lirih Cia menyesal melibatkan adiknya.Cusi menangis tersedu-sedu. Dia tidak menyesali semuanya. Melainkan karena mengapa harus gagal membantu kakaknya. Karena dia gagal sehingga mereka semua tertangkap."Rajab, adikku kesakitan, itu karena kamu!" Cia membentak suaminya. Ini baru pertama kali
Dalisah masih tetap terkurung di kamar tamu, dia belum berani menampakkan diri pada keluarga istana. Hanya Jeval yang sesekali menjenguknya, membawakan makanan. Dalisah juga sudah tahu dengan apa yang menimpa Maysa dan Inara. "Dalisah," suara Jeval nampak di balik pintu kamarnya. "Keadaan Kak Maysa dan Inara baik-baik saja 'kan?" tanyanya. "Keduanya sudah membaik,aku dari melihat Inara, lukanya masih nyeri tapi kata dokter sisa menunggu kering saja," sahut Jeval. Dia menghempaskan tubuhnya di atas kasur itu. Dua hari tak tidur di kasur Dalisah buat dia rindu berlebihan. Mengurus dan memikirkan resiko kemarahan Arlesa, Jeval hampir gila saat ini, reaksi Arlesa penuh misteri, tak ada yang bisa menebak apakah adiknya tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu. "Dalisah, pijit kepalaku," pinta Jeval. Perempuan cantik itu hanya mematung. Dia tahu keinginan Jeval lagi, Dalisah enggan beranjak ke arah Jeval.
Dua hari berselang, Maysa sudah lebih baik. Dia sudah di perbolehkan untuk kembali ke istana. Namun dokter akan setiap saat mengecek kondisinya yang masih dalam pemulihan secara total. Begitu bahagianya, sebentar lagi dia akan bertemu Inara.Sebagai suami yang baik, Arlesa tetap mendampingi. Dia begitu gesit mengarahkan semua kebutuhan istrinya."Jangan terlalu begitu, Kak. Aku sudah merasa tidak perlu di tuntun jalannya," ujar Maysa. Arlesa tetap saja menuntunnya. Dia hanya bisa mengeleng dengan perhatian suaminya yang berlebihan.Di istana penyambutan kedatangannya di adakan secara meriah, seluruh keluarga kerajan menyambutnya penuh suka cita. Sebagai calon Ratu utama Wandara, Maysa begitu di hormati.Setibanya di pintu gerbang, Maysa di hujani bunga-bunga dari rakyat wandara. Suara seru namanya menggelegar terucap oleh bibir rakyatnya."Aku sepertu berasa jadi Ratu sungguhan," gumma Maysa."
Shera gamang. Dia bahkan tidak berani berbohong apabila itu tentang kebenaran ayahnya. Sebagai anak, dia sangat menyadari kesalahan ayahnya yang memang tak memiliki hati nurani."Ayah Shera baik-baik saja Yah," timpal Gala yang ingin meringankan beban Shera."Apa dia mengetahui hubungan kalian?" tanya Pak Salim pada keduanya."Sudah tahu, Pak. Tapi .." uajr Shera tak mampu melanjutkan kalimatnya."Om paham maksud kamu, kalian pelan-pelan saja, buat kami ini memang tidak mudah, tapi yakinlah kalian akan tetap bersama," tutur Pak Salim dengan segala kalimat kebijakannya.Setelah memberi sepatah kalimat wejangan, Pak Salim pamit dari kedua sejoli yang di mabuk cnta itu, dia kembali menemui istrinya, membujuk perempuan yang berwatak keras itu untuk menemui Shera."Sayang, ayah kamu orang yang sangat baik," bisik Shera.Gala mengusap lutut kekasihnya, " Dia memang baik, makanya aku berani membawa k
Setelah Maysa tenang, Arlesa pamit keluar dari kamar, dia beralasan untuk ke kantor kerajaan, tapi itu hanya sebuah alasan agar Maysa tidak mengetahui bahwa dia akan menemui Jeval.Sembari mengepal tangan, Arlesa melangkah penuh amarah. Jeval dan Rexa sedang ada di ruangan Foland, mereka sedang meyusun pembagunan jembatan layang.Drak!Pintu ruangan itu terdobrak, di baliknya ada Arlesa yang menampakkan kemarahan yang berapi-api. Tatapannya tersorot tajam ke Jeval. Arlesa menuju ke kakaknya itu lalu menonjok wajah Jeval dengan keras."Brengsek kamu! Biadab!" Arlesa mengumpat sembari memukul.Jeval terjatuh ke lantai, pukulan Arlesa sangat keras sehingga darah kuning mengalir di sela kening Jeval. Reza dan Foland berusaha menahan tubuh Arelsa namun adiknya itu mengerahkan semua tenaga dalamnya saat ini, sulit menaklukkan Arlesa yang terbilang kuat karena kekuatan yang langka dari Raja Al Chamy turun pada anak bungsu Raj
Makan malam atas pemulihan Maysa dan Inara di rayakan oleh Raja Garsan. Di meja makan itu tersusun romantis buat keluarga tercintanya. Ketiga bunda ratu sudah duduk di kursi masing-masing, Foland dan Rexa juga ada di samping istrinya masing-masing. Sisa Jeval dan Arlesa belum jua nampak dengan istrinya. "Mana dua pasangan ini?" tanya Raja Garsan. Rexa dan Foland saling melirik, keduanya tak mampu menjawab takut bila jawban mereka memancing kerusuhan di meja makan lagi. "Risani, mana Arlesa dan Maysa, Inara juga?:" tanya Raja Garsan pada ibu kandung Arlesa itu. "Mungkin mereka masih di kamar, Ayah." "Biarkan saya memanggilnya yang mulia," kata Bun Great. Kepala pelayan andalan kerajaan itu menuju ke bagian tengah istana, tepatnya ke kamar Arlesa dan Jeval. Sebelum ke kamar Arlesa, Bun Great menyinggahi kamar Jeval terlebih dulu, di ketuknya beberapa kali. Dalisah nampak d balik pintu dengan keadaan yang sudah rap
Seminggu kemudian ..Arlesa dan Maysa sudah tiba di rumah pribadi mereka di kota P tersebut. Di rumah yang memiliki banyak kenangan juga tempat mengukir kenangan baru lagi. Disana tak ada Gala, Gus Alam pun juga tak ada, hanya asisten rumah tangganya yang masih sampai sekarang setia mengurus rumah itu di kala Gala dan Gus Alam sibuk.Maysa membawa Inara naik ke atas kamarnya. Sementara Arlesa mengecek semua keamanan yang ada du rumah itu, mulau dari cctv dan dua security yang sudah Gus Alam siapkan."Inara bobo ya, ini rumah kita sayang," ujar Maysa mmeperlihatkan Inara pemandangan dari atas kamarnya."Inara, sini ayah gendong," pinta Arlesa."Setahun kita tinggalkan rumah kita, dan kita kembali setelah bawa Inara," kata Maysa mengenang saat di culik oleh Shera."Kita akan mulai hidup normal seperti manusia pada umumnya, tetapi Inara dan kamu harus tetap aku utamakan, sesekali bawa dia ke Cafe
Maysa meninggalkan Luna di kamar tamu, dia menyusul Arlesa naik ke kamar. Rambu-rambu dari ibunya ia tak simpan dalam hati. Rasa percaya pada suaminya sudah sempurna, tak ada lagi ketakutan tentang kesetiaan Arlesa yang bisa saja di uji oleh perempuan lain. "Inara tadi rewel ya?" tanya Arlesa. "Kayaknya dia cari kamu, kebiasaan dia saat di wandara selalunya tidur sama kamu," kata Maysa. "Oh ya sayang, kita harus sembunyikan tentang wandara pada perempuan di bawah, aku takut jika dia membocorkan pada orang lain identitasku," pinta Arlesa. "Berapa lama da harus tinggal disini? maksudku dia sedang hamil kalau kita biarkan tinggal sendiri." Arlesa berpikir sejenak, dia juga merasa risih bila Luna lama tinggal bersama mereka. Selain tak leluasa, dia takut bila Luan mengetahui jari diri mereka sebagai mahluk wandara. "Bagaimana sayang?" tanya Maysa menantu jawaban. "Kita tunggu Gala mendapatkan tempat yang lay
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal