"Mampus!"
"Ada apa, Lun?"Aluna menunjuk pada seseorang yang sudah berdiri sambil bersandar di depan pintu gerbang kampus. Terlihat seorang pria mengenakan jaket denim dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang lelaki. Aluna segera menarik Rere dan sembunyi di balik tembok."Ada apa, sih?" Rere semakin penasaran."Mati aku, Re. Dia benar-benar datang.""Siapa?""Doni!"Aluna mengintip sedikit dari balik dinding. Pria bernama Doni itu masih berdiri tegak di sana dan terlihat sedang menyulut batang sigaret. Aluna kembali bersembunyi saat Doni mulai mengarahkan pandangannya ke pintu utama kampus. Dimana Aluna dan Rere sedang bersembunyi."Kita tunggu saja sampai pria itu pergi.""Dia nggak bakalan pergi. Aku tahu dia pria seperti apa." Aluna terlihat panik."Kita cari jalan lain. Bagaimana?" Rere memberi usul."Nggak bisa. Kampus ini cuma punya satu pintu gerbang dan dia ada di sana. Aku harus apa sekarang, Re?" Aluna semakin frustasi.Dirga, nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran Aluna. Buru-buru ia mengambil ponsel dari dalam tas lalu segera menghubungi sang CEO. Sesuai perjanjian, Dirga harus bersedia menjadi pacar pura-pura Aluna. Hari ini Aluna akan menagih janji itu."Nelpon siapa?" tanya Rere."Dirga."Rere mengernyitkan dahi, tidak tahu siapa nama pria yang Aluna maksud. Selama mereka bersahabat, baru kali ini Aluna menyebut sebuah nama yang terdengar asing. Setahu Rere, Aluna tidak memiliki mantan atau teman pria bernama Dirga. Mungkinkah Dirga pria yang semalam Aluna temui? Rere mulai terlihat cemas."Halo, Om. Om di mana sekarang?""Saya ada di kantor." Terdengar suara Dirga dari dalam ponsel."Om harus datang ke kampusku. Sekarang! Sesuai perjanjian kita semalam," cerocos Aluna."Sekarang juga?""Iya, Om. Sekarang!" seru Aluna."Oke, Saya meluncur sekarang ke sana.""Jangan lupa, Om harus berdandan seperti anak muda. Aku sherlock alamat kampus aku."Aluna menutup telepon dan kembali mengintip ke luar dimana Doni berada. Namun, alangkah terkejut Aluna saat mendapati Doni sedang berjalan memasuki area kampus. Jarak Aluna dan pria itu semakin dekat. Aluna semakin panik dan tidak bisa mengendalikan diri."Aku harus apa, Re? Aku nggak mau balik ke kampung. Aku nggak mau dijodohin," rengek Aluna."Tenang, Luna. Lebih baik kita pergi sekarang. Kita sembunyi di toilet wanita. Tidak mungkin pria itu mencari kita sampai ke toilet wanita, bukan?"Aluna mengangguk, setuju dengan usulan Rere. Baru saja mengambil dua langkah, tangan Aluna ditarik dari belakang oleh seorang pria. Saat Aluna menoleh, netranya dibuat terbelalak saat melihat presensi Doni yang menyeringai karena berhasil menemukan Aluna."Mau lari ke mana, Cantik?" Doni menyeringai."Lepasin, Don. Sakit." Aluna meringis kesakitan akibat cekalan tangan Doni yang kuat."Ikut aku sekarang juga. Nggak usah gaya-gayaan kuliah. Kalau cuma mau jadi kaya, kamu cukup nikah sama aku." Doni menarik kasar tangan Aluna."Nggak mau. Lepasin!" teriak Aluna."Hei, lepasin Aluna. Kamu nggak boleh kasar sama wanita." Rere mencoba melerai."Diam kamu! Jangan ikut campur."Rere tercengang saat Doni meninggikan suara. Pria itu kembali menarik Aluna dan mulai menyeret sang sahabat. Pantas saja Aluna menolak dijodohkan, Doni pria yang sangat kasar."Lepasin, Don. Jangan bikin malu aku.""Makanya nurut!"Aluna terus memberontak akan tetapi Doni juga tak mau kalah. Sehingga terjadi aksi tarik menarik dan sekarang Aluna sudah menjadi tontonan warga kampus. Demi apa, Aluna malu setengah mati karena sudah berbuat gaduh di area kampus."Lepasin Aluna atau saya laporkan kamu ke pihak kampus karena sudah berbuat onar." Rere mengancam Doni."Lapor saja, aku nggak takut. Kamu belum tahu siapa saya." Doni tertawa remeh."Lepasin pacar saya."Baritone suara itu tegas meminta Doni untuk melepas Aluna. Melihat sosok gagah itu, Aluna mulai menyunggingkan senyum. Akhirnya Dirga muncul. Pria itu benar-benar menepati janji."Siapa kamu? Aluna itu calon istri saya." Doni menatap nyalang pada Dirga."Calon, belum resmi. Lepaskan Aluna atau kamu akan merasakan akibatnya," ancam Dirga."Mau apa kamu, hah? Mau hajar saya? Berani kamu sama saya?" ejek Doni."Kenapa nggak?"Tanpa basa basi Dirga menarik kerah baju Doni dan dalam sekali pukul pria kampung itu langsung jatuh tersungkur. Apa yang dilakukan Dirga sukses membuat Aluna dan Rere membuka mulut lebar-lebar karena syok. Bukan hanya kedua gadis itu, Doni terkejut saat darah segar keluar dari sudut bibirnya."Kurang ajar!"Doni bangkit dengan sedikit tertatih. Belum sempat berdiri dengan sempurna, Dirga menendang Doni sehingga lagi-lagi pria itu terjerembab ke tanah. Dirga menyeringai, sudah lama sekali dia tidak menghajar seseorang. Jiwa mudanya terasa terpanggil. Jika mengikuti hati, Dirga ingin menghajar pria itu habis-habisan sampai puas. Namun, Aluna menahan Dirga agar berhenti."Sudah cukup. Jangan membuat keributan di kampus. Aku malu."Dirga mulai mengedarkan pandangan. Benar saja, semua mata tertuju pada mereka. Dirga menghela napas, dia meraih tangan Aluna lalu menarik gadis itu agar berdiri di sampingnya."Dengar, ya … saya ini pacar sekaligus calon suami Aluna. Jadi, kamu jangan pernah ganggu Aluna apalagi bersikap kasar seperti tadi. Saya bisa jeblosin kamu ke penjara atas tuduhan kekerasan dan perbuatan tidak menyenangkan. Paham kamu?" tegas Dirga."Cih, preman seperti kamu sok mau masukin saya ke penjara. Ngerti apa kamu soal hukum, hah!" Doni menyeka sudut bibirnya.Aluna menoleh dan benar apa yang dikatakan Doni. Pria mapan yang tengah menggandeng tangannya itu mengenakan leather jacket berwarna hitam dan ripped jeans berwarna senada. Yang paling mencengangkan Dirga menggunakan piercing di telinga kanan. Demi apa Dirga terlihat sangat cocok dengan style ini meskipun usia pria itu sudah kepala tiga."Terserah. Yang pasti saya tidak main-main dengan ucapan saya."Dirga segera menarik Aluna dan membawa gadis itu pergi dari kekacauan ini. Aluna semakin dibuat melongo saat Dirga mengajaknya masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan mata. Mobil Porsche 718 Cayman warna hitam metalik sukses membuat netra Aluna membola sempurna."Gimana? Akting saya bagus, 'kan?"Dirga melepas jaket yang ia kenakan. Menyisakan kaos hitam ketat yang mana membuat roti sobek pria itu tercetak jelas. Aluna sampai menelan ludah saat sosok gagah itu mengarahkan pandangan pada Aluna dengan tangan masih memegang setir mobil."I-iya. Terima kasih." Aluna mendadak gugup."Keputusan kamu sudah tepat. Jangan pernah menikah dengan pria kasar. Sifat seperti itu sulit untuk dirubah," tutur Dirga."Kamu pasti ketakutan tadi. Jaman sudah maju tapi masih saja ada acara jodoh-jodohan," imbuhnya lagi.Aluna terdiam, dia memang makhluk tersial di dunia. Orang tuanya terus memaksa ia agar menikah dengan Doni. Aluna sudah mengatakan jika Doni memiliki perangai yang buruk tapi orang tua Aluna tidak peduli. Orang tua Aluna malah berhenti membiayai kuliah kecuali Aluna mau dijodohkan. Itulah yang membuat Aluna harus bekerja keras dan melihat sosok Dirga yang kaya raya membuat Aluna berpikir jika ia bisa memanfaatkan pria yang sedang fokus menyetir itu."Kita mau kemana, Om?"Aluna menoleh dengan dahi mengernyit. Merasa asing dengan jalanan yang dilalui, Aluna kembali bertanya pada Dirga. Pria itu menoleh kemudian mengurai senyum pada gadis yang ada di hadapannya."Ke hotel," ucap Dirga."Hotel? Lagi?" Aluna mulai panik."Iya. Saya sudah nolong kamu. Sekarang giliran kamu bayar jasa saya barusan.""Baiklah." Aluna hanya bisa pasrah.Aluna menarik napas dalam. Sempat terpesona beberapa saat, Aluna kembali sadar jika Dirga sama saja dengan pria lain. Pria itu kembali menagih janji karena semalam mereka gagal check in di hotel. Semalam Dirga tiba-tiba pergi setelah mendapatkan telepon dari seseorang. Meninggalkan Aluna sendirian di cafe dengan sebuah cek berisi nominal uang yang lumayan. Cukup untuk membeli sebuah ponsel keluaran terbaru."Keluar dari kandang harimau, sekarang malah masuk ke kandang buaya," batin Aluna"Astaga, saya lupa sesuatu." Dirga menepuk jidatnya. Mereka sudah sampai di hotel mewah bintang lima."Lupa apa, Om.""Saya lupa beli obat. Kita ke minimarket sebentar, ya. Sekalian kita beli makanan sebelum tempur." Dirga menaik turunkan kedua alisnya."Hah! Obat? Tempur?" Aluna mengutuk dirinya yang mulai berpikiran kotor."Bisa bantu saya bawakan ini?"Aluna mengangguk lalu meraih satu kantong kresek berwarna putih yang berisi banyak snack dan camilan. Aluna tidak ikut Dirga masuk ke minimarket dan lebih memilih untuk menunggu di luar. Sampai saat ini pikirannya masih belum bisa berpikir jernih. Entah obat apa yang pria itu beli. Entah untuk siapa obat itu. Mengingat mungkin saja hari ini mereka berdua akan melakukan aktivitas yang memerlukan sebuah obat. "Argh …." Aluna mengusak rambutnya. "Kamu kenapa?" tanya Dirga bingung. "Nggak.""Kamu nggak lagi sakit, 'kan?" tanya Dirga sekali lagi. "Nggak, Om.""Bagus kalau begitu. Ayo, kita pergi."Dirga meraih tangan Aluna lalu mengaitkan pada lengannya. Hal yang membuat Aluna mengernyitkan dahi. Terlebih saat melihat Dirga sedang mengedipkan sebelah mata. "Gandeng tangan saya, ya. Sekarang 'kan kamu pacar saya," goda Dirga. Aluna menghela napas, pasrah saat Dirga sudah menggandeng tangannya. Mereka berdua mulai berjalan menuju ruang hotel yang Dirga pe
Seminggu setelah kejadian itu, Dirga dan Aluna tidak saling menghubungi satu sama lain. Hal yang Aluna syukuri karena sampai saat ini mahkotanya masih terjaga dengan baik. Walau jauh dari dalam lubuk hati, Aluna masih sedih dengan perlakuan Dirga tempo hari. Gadis dengan rambut diikat bun itu kembali mengetik. Mengerjakan tugas kuliah yang sempat terbengkalai. Namun, pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, wajah Dirga terus terbesit dalam isi kepala. "Dia mirip serigala," celetuknya. Dirga Aryatama, dua kali bertemu dan pria itu seperti memiliki dualitas yang berbeda di mata Aluna. Sikap ramah yang sempat membuat Aluna nyaman dan tidak takut sekalipun mereka baru saling kenal. Akan tetapi, di sisi lain sifat dingin yang ditunjukkan pria itu mampu membuat Aluna bergidik ngeri. Sorot mata tajam dengan tatapan mengintimidasi, hanya sekali ucap siapapun akan dibuat takut oleh CEO tampan itu. "Kenapa aku peduli? Kamu pasti sudah tidak waras, Aluna." Gadis itu memukul dahi pelan, lal
"Dasar gila!"Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah. Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu? "Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran. "Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan. "Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar. "Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal. "Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga. Takut, Bagas s
Aluna menelan saliva saat pria itu meloloskan kemeja putih dari tubuh atletisnya. Dirga sudah duduk membelakangi Aluna. Menyodorkan punggung putih mulus tersebut untuk mendapatkan terapi dari sang pacar rahasia. "Aku mulai, ya, Om."Aluna membalur minyak angin yang baru dia beli beberapa saat lalu pada punggung Dirga. Secara perlahan ia mengolesi minyak angin agar terbalur dengan rata. Tanpa Aluna sadari sentuhan lembut yang dia lakukan menimbulkan desiran asing pada aliran darah pria itu.. "Kalau sakit bilang, ya."Dirga mengangguk paham dan Aluna mulai mengerok punggung sang CEO dengan koin. Garis merah kini menghiasi punggung Dirga. Pria itu benar-benar sedang sakit. "Istri saya sudah mengakui kalau dia selingkuh. Kami berdua bertengkar."Aluna berhenti sejenak saat Dirga membuka suara. Pria itu tiba-tiba saja menceritakan permasalahannya dengan sang istri. Aluna tidak menanggapi, dia kembali mengerok punggung Dirga. "Sampai saat ini, kami belum dikaruniai seorang anak. Dia men
Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar. "Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?""Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam. "Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana. "Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung. "Satu … dua … ti …."Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini. "Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."Sat
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa malam sudah tiba. Aluna dan Dirga tengah duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Seharian bermain di pantai ternyata menyenangkan dan cukup menguras energi. Mereka tengah makan malam berdua di salah satu restoran yang ada di kawasan pantai Ancol. "Bagaimana laptopnya, sudah kamu coba?" "Sudah. Bagus, Om. Terima kasih. Saya tinggal pindahin semua filenya." Aluna nampak sumringah. "Papi, Papi Dirga. Jangan panggil Om lagi, oke!" Dirga mengingatkan. "Iya, Papi."Dirga tersenyum melihat sikap patuh Aluna. Tidak pernah sekalipun gadis itu menolak apapun yang Dirga minta. Jika diperhatikan lebih teliti lagi, Aluna cukup cantik, tidak kalah cantik dengan Mayang semasa muda dulu. Gadis berpenampilan sederhana itu terlihat menggemaskan dengan kedua lesung pipi. Menambah kesan manis apalagi ketika Aluna sedang tersenyum."Bagaimana kabar pria itu? Pria yang dijodohin sama kamu itu, apa dia datang lagi?" Dirga kembali membuka percakapan."Nggak
Dirga berjalan cepat setelah sampai di rumah sakit yang dituju. Setelah beberapa saat akhirnya Dirga sampai di ruangan tempat Mayang dirawat. Terlihat sang istri tengah terbaring dengan tangan di gips dan perban di kepala. "Mayang, kamu baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini?"Dirga sudah tidak bisa membendung lagi perasaan khawatir. Meraih sebuah kursi yang ada di sana, Dirga segera mengambil tempat di samping ranjang milik Mayang. Pria itu meraih tangan sang istri lalu mengusap punggung tangan mulus itu dengan lembut. "Pak Ilham tadi mengantuk. Jadi, ya gitu, deh. Seperti yang kamu lihat sekarang."Mayang sama sekali tidak berminat melihat kehadiran Dirga. Andai saja sebelah tangannya tidak di gips, mungkin dia akan mengambil posisi memunggungi sang suami. Meski mendapat perlakuan dingin dari sang istri, Dirga tetap berusaha memasang senyum dihadapan wanita terkasihnya. "Kamu udah makan? Mau aku belikan sesuatu?" bujuk Dirga. "Tidak usah. Aku nggak lapar," jawab Mayang seperlun
"Sudah sadar, Bro? Syukurlah."Bagas yang baru saja membuka curtain jendela bernapas lega saat melihat sang sahabat sudah sadarkan diri. Bagas berbalik, terlihat Dirga sedang membenahi posisi bersandar di punggung ranjang seraya mengurut pelipis. Melihat itu Bagas langsung mengambil segelas air kemudian memberikannya kepada Dirga. "Ini, Bro. Diminum dulu. Pak Bos kalau lagi patah hati nyusahin," keluh Bagas. "Terima kasih."Air tersebut habis dalam sekali teguk, pria itu kemudian menaruh gelas kosong tersebut di atas nakas. Dirga kembali bersandar, kepalanya masih terasa pusing. Mungkin ini akibat karena dia mabuk semalam. "Kamu yang antar saya balik ke apartemen, Gas?" tanya Dirga. "Menurutmu, siapa lagi?" cebik Bagas. Pria itu melipat tangan di dada. "Untung aja aku aktifin GPS, kalau nggak kamu bakal habis digerayangi sama cewek-cewek gatel disana." Bagas terlihat kesal. "Kamu kenapa, Bro? Ada masalah?"Dirga terlihat menghela napas, kejadian semalam masih teringat jelas dalam
"Papi takut?""Ng-nggak! S-siapa yang takut?""Buktinya ini!"Aluna mengangkat tangannya yang digenggam erat oleh Dirga. Sejak tadi Aluna tak henti tertawa saat melihat Dirga yang terus menutup mata bahkan menggenggam kuat-kuat tangannya saat sosok makhluk astral muncul di layar lebar. Mereka berdua sedang menonton film horor."Aku tidak takut." Dirga segera melepaskan cengkramannya."Kalau takut juga gak apa-apa, Pi. Jangan malu," kekeh Aluna. "Sudah aku bilang, aku tidak takut."Tidak mau kalah, Dirga lekas melipat tangannya di dada. Pandangannya serius menatap lurus ke depan. Bertepatan dengan itu, sosok menyeramkan muncul kembali di layar. Seketika Dirga berteriak seperti anak kecil. "Aku tidak takut, ya. Cuma kaget saja sama musiknya," kilah Dirga segera karena gengsi. "Iya, iya. Papi emang pemberani." Aluna kembali tertawa. Aluna kembali fokus melihat ke depan. Menonton dengan seksama sembari memasukan beberapa berondong jagung ke dalam mulutnya. Gadis itu memang sangat men
Senyum simpul itu tak henti terpancar dari wajah Aluna. Di tengah kesibukannya mengerjakan tugas dari sang dosen killer, pikirannya dibuat sibuk dengan rencananya bersama Dirga malam nanti. "Kelas saya cukupkan sampai disini. Jangan lupa kerjakan tugas yang saya berikan. Saya tidak akan menerima alasan apapun jika tidak ada yang mengerjakan tugas."Sang dosen killer itu lekas keluar dari dalam kelas. Masih dengan senyum yang belum luntur, Aluna membereskan semua buku juga laptopnya. Tanpa Aluna sadari, sejak tadi Rere memperhatikan gelagat aneh Aluna. "Senyum-senyum terus. Dapat hadiah baru dari Papi-mu, ya?" tanya Rere dengan nada mengejek. "Apaan, sih. Kepo!" cebik Aluna. "Mentang-mentang punya orang baru, sahabat lama dilupain." Rere tak jalah kesal. "Siapa yang lupain kamu, Rere Naima …."Aluna mencubit gemas pipi Rere seperti anak kecil. Jelas Rere langsung berontak. Aluna yang melihat itu langsung tertawa karena tidak tahan melihat wajah kesal Rere. "Nanti sore aku ada ac
Wanita itu menutup pintu mobil dengan kasar. Dengan jalan yang dihentakkan, Mayang segera memasuki lift. Dadanya bergemuruh hebat, suara wanita di telepon tadi sukses membuatnya murka luar biasa. "Krisna!"Tidak ada kata-kata sayang. Tidak ada nada yang lemah lembut dan manja. Mayang lekas masuk ke dalam lalu mencari pria itu ke segala arah. Hingga terakhir dia berada di depan pintu kamar. Dia tidak langsung masuk, tangannya tertahan di handle pintu. Suara cekikikan dan tawa seorang wanita nyaring terdengar. Disusul dengan suara menjijikan yang Mayang yakin itu adalah suara Krisna. Kepalanya sudah tidak bisa berpikir jernih. Dia yakin Krisna sedang berbuat mesum dengan seorang wanita. "Br*ngsek!"Kata itu yang pertama keluar dari mulut Mayang saat netranya menyaksikan sesuatu yang luar biasa di hadapannya. Dimana Krisna sedang berada di atas tubuh seorang wanita muda yang pakaian atasnya sudah tanggal. Begitupun Krisna yang sudah bertelanjang dada. Semua mata dibuat terbelalak."D
"Suami kamu memang sudah gila, Sayang.""Makanya, kamu jangan seperti suamiku. Sudah sibuk, sekalinya ketemu bikin emosi," cebik wanita itu. Mayang duduk bersandar di bahu Krisna."Percaya sama aku. Kamu bakalan jadi wanita paling bahagia jika bersamaku." Krisna mengelus lembut kepala Mayang."Kalau begitu, bagaimana kalau secepatnya kita menikah? Aku sudah tidak tahan terus terjebak dengan pria menyebalkan itu."Krisna menghela napas dalam, ini yang tidak ia sukai dari Mayang. Terus mendesaknya menikahi wanita itu. Padahal sedikitpun Krisna tidak memiliki niat untuk menikahi Mayang. Dia hanya ingin bersenang-senang saja."Kita baru saja memulai bisnis kita, Mayang. Bahkan kita belum memulai. Aku mohon sabar sebentar, ya. Aku janji setelah bisnis kita lancar aku akan segera menikahimu," bujuk Krisna. Tentu itu hanya bohong belaka. "Baiklah. Tapi janji, ya. Secepatnya kamu harus nikahin aku." Mayang menoleh, menatap sang kekasih dengan tatapan memelas. "Tentu saja, Honey. Sekarang ak
Aluna dan Dirga sedang duduk berdua di sofa yang ukurannya lumayan besar. Cukup bagi mereka untuk berbaring dengan posisi saling berpelukan. Sekarang sudah jam tujuh malam dan Aluna masih berada di apartemen Dirga. "Jadi mulai sekarang, perjanjian kita berakhir"Satu kalimat itu terlontar dari mulut Dirga. Aluna tersenyum senang, Bagaimana tidak, hal yang dia takutkan tidak terjadi. Bahkan saat ini Dirga sudah setuju jika perjanjian mereka sudah berakhir. "Mulai sekarang, saya adalah teman kamu. Kamu mau 'kan punya teman seperti saya yang sudah tua bangka?" Dirga terkekeh. "Asal jangan pakai minyak angin, nggak akan ada yang tau kalau Papi sudah tua." Aluna ikut tertawa. Keduanya saling menertawakan lalu saling mengeratkan pelukan. Setelah apa yang terjadi, semua berakhir dengan baik. Walau setelah ini Aluna harus bertemu dengan Bagas dan mengatakan jika ia tidak akan melepaskan Dirga untuk saat ini. Flashback .... Dirga meraih bibir kecil Aluna dengan bibirnya, mulai mencumbui
Aluna bukan anak 15 tahun yang tidak tahu benda apa yang sedang ia pegang. Dia hanya bingung, bagaimana pakaian seksi ini ada di kamar Dirga. Baju tipis yang begitu menerawang dengan warna menantang. Lingerie merah, tidak mungkin jika itu hadiah untuknya,'kan? Aluna bahkan menelan ludah saking tidak percaya."I-itu …." Dirga garuk-garuk kepala. Dia mulai kikuk karena malu. "Ini hadiahku? Lingerie ini? Buatku?" ucap Aluna dengan penuh penekanan dan tatapan mengintimidasi. Dirga semakin gelagapan. Dia semakin malu mendapati kenyataan pakaian itu memang sebenarnya untuk Aluna. Namun, melihat ekspresi Aluna yang seperti itu, Dirga ragu jika harus memberikan lingerie merah itu pada sang kekasih rahasianya itu. "Atau buat istri Papi? Kalau buat istri Papi harusnya Papi bungkus, bukan ditaruh sembarangan seperti ini. Biar aku yang-,""Itu memang buat kamu!"Hening, mendadak suasana menjadi canggung saat pria itu dengan gamblang mengatakan kebenaran. Aluna terdiam bak patung, tetapi wajahn
"Kamu terlambat. Kamu saya pecat!"Semua pandangan mengarah pada Dirga dan salah satu HRD yang terlambat datang selama dua menit. Tidak ada angin tidak ada hujan pria itu langsung memecat sang karyawan tanpa alasan. Karyawan itu memohon dan memberi alasan jika keterlambatannya akibat motornya yang mogok."Saya bilang, kamu dipecat. Tidak ada tawar menawar. Pak Hasan, bawakan kopi ke ruangan saya."Dirga lekas berlalu setelah memberi perintah kepada salah satu office boy. Meninggalkan karyawan yang terduduk lemas setelah dipecat oleh sang bos. Dirga yang sudah sampai segera duduk dan menyalakan laptop. Memeriksa laporan mengenai tender barunya."Permisi, Pak. Ini kopinya," ucap pak Hasan. "Taruh saja disitu."Pak Hasan segera menaruh secangkir kopi di atas meja lalu cepat-cepat pergi dari ruangan. Takut nasibnya akan sama seperti karyawan tadi. Raut wajah Dirga sangat tidak bersahabat hari ini. Hal itu juga disadari oleh Bagas yang baru saja masuk ke dalam ruangan Dirga. "Kenapa, Bro
Tubuhnya menggeliat pelan seraya mata yang terbuka perlahan. Rasa pusing spontan membuatnya segera mengurut pelipis. Pandangan masih sedikit kabur, tetapi Mayang yakin jika ia masih berada di dalam kamar. "S*alan!"Kata umpatan yang pertama kali terlontar dari mulut Mayang saat netranya mendapati sosok sang suami tengah terlelap di sampingnya. Tidur dengan kepala terantuk pada lipatan tangan. Bukan tersentuh melihat sang suami yang setia menunggunya, tatapan bencilah yang Mayang layangkan pada pria itu. "Gara-gara dia aku jadi tidak bisa bertemu Mas Krisna."Samar-samar suara Mayang terdengar, Dirga segera bangun dari tidurnya. Ia begitu senang melihat sang istri yang sudah sadarkan diri. Dengan cepat Dirga meraih satu tangan Mayang lalu mengelusnya dengan lembut. Namun, Mayang malah menepisnya dengan kasar. Tak suka jika tangan indahnya disentuh oleh pria yang masih berstatus suaminya itu. "Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang. Aku sangat khawatir." Dirga tersenyum meski sempat mend
Semangat yang sempat menggebu kini berubah menjadi sebuah kebingungan. Dirga masih memandangi lingerie merah yang dia beli tempo hari. Baju tipis menggoda yang terhampar di atas ranjang ia tatap lekat-lekat. Dia sudah pulang dan hari ini ia berada di apartemen. "Bagaimana aku memberikannya? Dia pasti menyebutku pria mesum."Menggaruk kepala yang tak gatal, Dirga masih belum mengalihkan pandangannya. Hari ini Dirga berniat memberikan semua hadiah yang dia beli pada Aluna termasuk pakaian itu. Namun, tiba-tiba saja dia menjadi ragu, bingung apakah baju itu harus dia berikan atau tidak. "Tapi aku penasaran. Apa yang kamu pikirkan, Dirga!"Bingung, akhirnya Dirga memutuskan untuk pulang kerumah tanpa membereskan pakaian yang tergeletak di atas kasur. Dia hampir saja lupa tentang Mayang yang ia sekap di kamar saking sibuk memikirkan perkara baju tipis itu. Ini sudah hari ketiga sejak Mayang ia sekap dengan paksa. Siang ini jalanan tidak terlalu macet mungkin karena akhir pekan. Tidak me