Seminggu setelah kejadian itu, Dirga dan Aluna tidak saling menghubungi satu sama lain. Hal yang Aluna syukuri karena sampai saat ini mahkotanya masih terjaga dengan baik. Walau jauh dari dalam lubuk hati, Aluna masih sedih dengan perlakuan Dirga tempo hari.
Gadis dengan rambut diikat bun itu kembali mengetik. Mengerjakan tugas kuliah yang sempat terbengkalai. Namun, pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, wajah Dirga terus terbesit dalam isi kepala."Dia mirip serigala," celetuknya.Dirga Aryatama, dua kali bertemu dan pria itu seperti memiliki dualitas yang berbeda di mata Aluna. Sikap ramah yang sempat membuat Aluna nyaman dan tidak takut sekalipun mereka baru saling kenal. Akan tetapi, di sisi lain sifat dingin yang ditunjukkan pria itu mampu membuat Aluna bergidik ngeri. Sorot mata tajam dengan tatapan mengintimidasi, hanya sekali ucap siapapun akan dibuat takut oleh CEO tampan itu."Kenapa aku peduli? Kamu pasti sudah tidak waras, Aluna." Gadis itu memukul dahi pelan, lalu kembali melanjutkan tugas kuliahnya.Sementara itu, di sebuah hunian elite kawasan Jakarta Pusat tepatnya di salah satu rumah mewah bak istana dengan dominasi warna putih. Seorang pria duduk di atas sofa dengan tangan dilipat di dada. Beberapa foto berjejer di atas meja. Potret perselingkuhan sang istri dengan pria lain yang Bagas ambil saat memata-matai Mayang."Istrimu aneh, Dirga. Pria bernama Krisna itu seorang pengangguran. Dia sempat memiliki usaha yang cukup maju tetapi belakangan diketahui usaha pria itu mengalami kebangkrutan. Pria itu bahkan dikabarkan baru saja bercerai dengan istrinya karena selain jatuh miskin, Krisna juga pria yang tempramental. Apa mungkin Mayang kena guna-guna?"Dirga mengurut pelipis, otaknya seperti mau pecah ketika mengingat penjelasan Bagas saat di kantor tadi siang. Sahabat sekaligus kepercayaan Dirga itu sangat menyayangkan perselingkuhan yang dilakukan Mayang. Mengingat bagaimana Dirga begitu mencinta Mayang. Dirga sampai rela menanggung biaya kuliah Mayang saat itu karena Mayang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Dirga juga rela untuk menikah muda demi Mayang, agar bisa mengurus dan menjaga Mayang."Baru pulang? Darimana saja? Tidak lihat ini sudah jam berapa?" Dirga menunjuk jam yang berhenti di angka dua belas."Tentu saja aku baru pulang kerja."Wanita bertubuh ramping itu kembali melangkahkan kaki menuju kamar. Namun, Dirga segera menahan sang istri. Dia perlu membahas masalah perselingkuhan yang dilakukan istrinya."Tunggu sebentar, ada yang perlu aku bicarakan.""Ada apa, Mas? Aku lelah, mau istirahat. Besok saja bicaranya.""Aku bilang, aku perlu bicara."Mayang mendengus kesal saat sang suami meninggikan suaranya. Terpaksa dia menuruti keinginan sang suami. Mayang berjalan ke tempat dimana Dirga sedang duduk. Betapa terkejut Mayang saat melihat sesuatu yang berserakan di atas meja. Hal yang sukses membuat netra Mayang membulat sempurna."Kenapa? Kaget?" ejek Dirga."A-apa ini?" gagap Mayang."Harusnya aku yang bertanya. Bukan kamu.""A-aku nggak tahu, Mas. Siapa yang ambil foto ini? Ini pasti editan." Mayang semakin gelagapan."Bagaimana ini editan? Aku sendiri yang mengambil foto ini!"Dirga sudah tidak tahan lagi. Dia meluapkan emosi yang sudah ia tahan sejak tadi. Kabar perselingkuhan Mayang sudah terdengar sejak lama. Dirga bahkan pernah menemukan chat mesra Mayang dengan pria lain di ponsel wanita itu. Namun, saat itu Dirga mencoba menutup mata. Dia mencoba meyakinkan diri jika chat tersebut hanya salah kirim."Apa?""Iya, aku sendiri yang mengambil foto itu saat di Langham Hotel. Sedang apa kamu disana dengan pria lain? Di hotel? Apa yang kalian lakukan disana?" tanya Dirga dengan penuh penekanan.Raut wajah Mayang mendadak pucat pasi. Dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Dirga bahkan tahu nama hotel yang Mayang kunjungi untuk bersenang-senang bersama selingkuhannya itu. Hal yang juga menimbulkan tanya dalam diri Mayang. Sedang apa sang suami di hotel tersebut?"Kenapa Mas bisa tahu? Lalu, kenapa Mas bisa ada di sana? Apa yang sedang Mas lakukan di hotel?""Jangan mengalihkan pembicaraan!" Dirga kembali meninggikan suara.Mayang semakin bungkam. Otaknya mulai berpikir keras, alasan apa yang harus ia katakan pada sang suami. Terlebih saat ini Dirga terlihat sangat marah. Mayang belum pernah melihat sang suami semarah ini."Kalau iya, kenapa? Kalau aku selingkuh, kenapa? Aku begini gara-gara kamu, Mas."Dengan segenap keberanian, Mayang mengakui perbuatannya dengan dagu terangkat. Tidak ada keraguan pada diri Mayang saat memutuskan untuk mengaku pada sang suami. Kali ini dia tidak akan menyangkal lagi."Kau sudah gila, Mayang." Dirga tercengang tidak percaya."Iya, aku begini gara-gara Mas. Kamu terlalu sibuk bekerja dan tidak ada waktu sama sekali buat aku. Juga …."Mayang terlihat mengepalkan tangan. Wajahnya merah padam seperti menahan amarah. Wanita itu memutuskan untuk mengatakan alasan dia berselingkuh."Karena kamu tidak bisa memberi aku keturunan. Aku malu selalu ditanya oleh ibu kapan punya anak. Aku juga ingin seperti wanita lain. Bisa merasakan apa itu namanya hamil dan melahirkan. Aku ingin menimang seorang bayi. Tetapi, semua itu tidak akan pernah terjadi karena …." Mayang menarik napas dalam. "Karena kamu mandul, Mas.""Atas dasar apa kamu menuduhku mandul? Kita sudah sering pergi ke dokter bersama dan kita berdua dinyatakan sehat. Kita hanya perlu bersabar, Mayang." Sekuat tenaga Dirga berusaha menahan amarah."Sampai kapan, Mas? Sampai aku tua?""Aku minta kamu hentikan hubungan terlarang kalian. Aku akan menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Tinggalkan lelaki itu, Mayang. Dia bukan pria yang baik."Dirga mulai menurunkan suara dan mencoba membujuk Mayang agar berhenti berselingkuh. Bagaimanapun, Dirga mencintai Mayang dan tidak mau kehilangan wanita terkasihnya itu. Dirga akan mencoba memberi Mayang kesempatan kedua."Dia lebih baik dari kamu, Mas. Dia selalu ada buat aku. Aku nyaman bersama dia. Dia pria yang selalu berhasil membuatku bahagia setiap harinya."Seketika dunia Dirga hancur saat wanita itu mengatakan hal yang sangat menyakiti hati. Segala cinta dan pengorbanan Dirga tak dianggap sama sekali oleh Mayang. Dirga sangat kecewa, dia tidak menyangka Mayang akan mengatakan hal semenyakitkan ini."Sekali lagi, aku minta baik-baik sama kamu, Mayang. Tinggalkan pria itu. Aku akan menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Hubungi pria itu sekarang dan katakan di hadapanku jika kamu ingin mengakhiri perselingkuhan kalian."Nampak pria itu mengusap wajah dengan kasar. Dirga sangat berusaha untuk mengendalikan diri agar tidak emosi menghadapi Mayang. Dirga menyodorkan ponsel pada Mayang, meminta wanita itu untuk menghubungi kekasih gelapnya."Aku nggak mau, Mas," tegas Mayang."Mayang!""Aku nggak mau. Aku mencintai dia, Mas. Jangan urusi hidupku. Urus saja perusahaan sampai kamu tua. Jangan pedulikan aku."Mayang segera menyambar foto yang ada di atas meja lalu menaruh foto itu pada tas merk Chanel miliknya. Dirga yang melihat itu segera meraih tangan Mayang. Namun, wanita itu segera menepis tangan Dirga dengan kasar."Mau ke mana kamu?" Dirga mulai frustasi."Bukan urusan kamu!"Mayang bergegas meninggalkan Dirga. Wanita itu benar-benar keluar dari mansion megah yang ia tinggali. Mayang benar-benar sudah dibutakan oleh cinta sesaat. Sampai-sampai wanita itu mengabaikan Dirga yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Dia melupakan jika kesuksesan yang dia raih sebagai presenter di stasiun TV ternama itu karena ada campur tangan dari Dirga."Argh …."Amarah sudah tidak terbendung, Dirga spontan melemparkan ponsel pada meja yang ada di hadapannya. Meja berbahan kaca itu hancur seketika dan semua serpihan nampak berserakan. Pria itu mengusak rambut dengan kasar diselingi dengan umpatan dan teriakan yang menggema di penjuru ruangan."Ada apa ini, Bro?"Bagas yang baru saja sampai terkejut melihat rumah Dirga yang berantakan. Dirga pun sama berantakannya. Tujuan Bagas datang ke rumah Dirga tidak lain ingin memberi informasi pada pria itu tentang selingkuhan Mayang."Antar aku, Bagas." Dirga mulai melangkahkan kaki."Kemana, Bro?" Bagas mengernyitkan dahi saat sahabatnya itu berjalan melewatinya."Beli apartemen.""Hah?" Spontan mulut Bagas menganga lebar."Dasar gila!"Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah. Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu? "Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran. "Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan. "Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar. "Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal. "Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga. Takut, Bagas s
Aluna menelan saliva saat pria itu meloloskan kemeja putih dari tubuh atletisnya. Dirga sudah duduk membelakangi Aluna. Menyodorkan punggung putih mulus tersebut untuk mendapatkan terapi dari sang pacar rahasia. "Aku mulai, ya, Om."Aluna membalur minyak angin yang baru dia beli beberapa saat lalu pada punggung Dirga. Secara perlahan ia mengolesi minyak angin agar terbalur dengan rata. Tanpa Aluna sadari sentuhan lembut yang dia lakukan menimbulkan desiran asing pada aliran darah pria itu.. "Kalau sakit bilang, ya."Dirga mengangguk paham dan Aluna mulai mengerok punggung sang CEO dengan koin. Garis merah kini menghiasi punggung Dirga. Pria itu benar-benar sedang sakit. "Istri saya sudah mengakui kalau dia selingkuh. Kami berdua bertengkar."Aluna berhenti sejenak saat Dirga membuka suara. Pria itu tiba-tiba saja menceritakan permasalahannya dengan sang istri. Aluna tidak menanggapi, dia kembali mengerok punggung Dirga. "Sampai saat ini, kami belum dikaruniai seorang anak. Dia men
Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar. "Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?""Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam. "Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana. "Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung. "Satu … dua … ti …."Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini. "Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."Sat
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa malam sudah tiba. Aluna dan Dirga tengah duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Seharian bermain di pantai ternyata menyenangkan dan cukup menguras energi. Mereka tengah makan malam berdua di salah satu restoran yang ada di kawasan pantai Ancol. "Bagaimana laptopnya, sudah kamu coba?" "Sudah. Bagus, Om. Terima kasih. Saya tinggal pindahin semua filenya." Aluna nampak sumringah. "Papi, Papi Dirga. Jangan panggil Om lagi, oke!" Dirga mengingatkan. "Iya, Papi."Dirga tersenyum melihat sikap patuh Aluna. Tidak pernah sekalipun gadis itu menolak apapun yang Dirga minta. Jika diperhatikan lebih teliti lagi, Aluna cukup cantik, tidak kalah cantik dengan Mayang semasa muda dulu. Gadis berpenampilan sederhana itu terlihat menggemaskan dengan kedua lesung pipi. Menambah kesan manis apalagi ketika Aluna sedang tersenyum."Bagaimana kabar pria itu? Pria yang dijodohin sama kamu itu, apa dia datang lagi?" Dirga kembali membuka percakapan."Nggak
Dirga berjalan cepat setelah sampai di rumah sakit yang dituju. Setelah beberapa saat akhirnya Dirga sampai di ruangan tempat Mayang dirawat. Terlihat sang istri tengah terbaring dengan tangan di gips dan perban di kepala. "Mayang, kamu baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini?"Dirga sudah tidak bisa membendung lagi perasaan khawatir. Meraih sebuah kursi yang ada di sana, Dirga segera mengambil tempat di samping ranjang milik Mayang. Pria itu meraih tangan sang istri lalu mengusap punggung tangan mulus itu dengan lembut. "Pak Ilham tadi mengantuk. Jadi, ya gitu, deh. Seperti yang kamu lihat sekarang."Mayang sama sekali tidak berminat melihat kehadiran Dirga. Andai saja sebelah tangannya tidak di gips, mungkin dia akan mengambil posisi memunggungi sang suami. Meski mendapat perlakuan dingin dari sang istri, Dirga tetap berusaha memasang senyum dihadapan wanita terkasihnya. "Kamu udah makan? Mau aku belikan sesuatu?" bujuk Dirga. "Tidak usah. Aku nggak lapar," jawab Mayang seperlun
"Sudah sadar, Bro? Syukurlah."Bagas yang baru saja membuka curtain jendela bernapas lega saat melihat sang sahabat sudah sadarkan diri. Bagas berbalik, terlihat Dirga sedang membenahi posisi bersandar di punggung ranjang seraya mengurut pelipis. Melihat itu Bagas langsung mengambil segelas air kemudian memberikannya kepada Dirga. "Ini, Bro. Diminum dulu. Pak Bos kalau lagi patah hati nyusahin," keluh Bagas. "Terima kasih."Air tersebut habis dalam sekali teguk, pria itu kemudian menaruh gelas kosong tersebut di atas nakas. Dirga kembali bersandar, kepalanya masih terasa pusing. Mungkin ini akibat karena dia mabuk semalam. "Kamu yang antar saya balik ke apartemen, Gas?" tanya Dirga. "Menurutmu, siapa lagi?" cebik Bagas. Pria itu melipat tangan di dada. "Untung aja aku aktifin GPS, kalau nggak kamu bakal habis digerayangi sama cewek-cewek gatel disana." Bagas terlihat kesal. "Kamu kenapa, Bro? Ada masalah?"Dirga terlihat menghela napas, kejadian semalam masih teringat jelas dalam
Aluna dan Rere terlihat tergesa. Bagaimana tidak, hari ini si dosen killer mengajar di jam pertama dan mereka sudah terlambat lima menit. Salahkan Aluna yang bangun kesiangan. Bahkan mereka berdua tidak mandi, hanya gosok gigi setelah itu memakai minyak wangi yang banyak agar bau tubuh mereka tersamarkan. "Loh?"Keduanya melongo, kelas ternyata belum dimulai. Aluna dan Rere lekas duduk di bangku masing-masing. Dengan napas terengah Aluna menyandarkan tubuhnya di punggung kursi, detik selanjutnya dia mulai mengeluarkan buku catatan di atas laptop yang ditaruh di atas meja. "Wow!!"Salah satu mahasiswi berjalan menuju tempat duduk Aluna dengan mulut menganga. Aluna memicingkan mata, terlebih saat mahasiswi itu meraih laptop Aluna. Memutar-mutar benda tersebut, memastikan jika ia tidak salah lihat. "Nggak salah, Lun? Ini punya kamu?" tanya mahasiswi yang bernama Rosi. "Iya, memangnya kenapa?" "Dapat uang darimana kamu? Jual diri, ya? Ini 'kan laptop keluaran terbaru. Aku aja nggak m
"Pelan-pelan! Nanti kita bisa jatuh!"Aluna tak peduli, dia terus bergegas menarik Dirga dari area kampus. Jangan sampai teman-temannya tahu ada pria tua yang datang menemui Aluna. Dia akan semakin dicap wanita nakal oleh seluruh mahasiswa."Ngapain Papi kesini? Kenapa tidak menelponku terlebih dahulu?"Gadis itu mendengus kesal, mereka berdua sudah berada di luar area kampus. Hari ini moodnya sudah rusak karena ulah Rosi dan kedatangan Dirga ke kampus semakin memperburuk suasana hati Aluna. Menarik napas dalam, Aluna mencoba menetralkan gemuruh di dada."Seperti yang saya bilang tadi, kita jalan-jalan," ucap Dirga."Harusnya Papi kabarin aku dulu. Lagipula ini jam masuk kelas. Papi nggak bisa seenaknya datang sesuka hati Papi. Aku juga punya kehidupan," cerocosnya. "Saya yang akan minta izin sama dosen kamu. Kamu nggak perlu khawatir.""Bukan begitu maksudku. Astaga …."Menepuk keningnya sendiri, Aluna tidak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki yang sudah memasuki usia kepala tig
"Papi takut?""Ng-nggak! S-siapa yang takut?""Buktinya ini!"Aluna mengangkat tangannya yang digenggam erat oleh Dirga. Sejak tadi Aluna tak henti tertawa saat melihat Dirga yang terus menutup mata bahkan menggenggam kuat-kuat tangannya saat sosok makhluk astral muncul di layar lebar. Mereka berdua sedang menonton film horor."Aku tidak takut." Dirga segera melepaskan cengkramannya."Kalau takut juga gak apa-apa, Pi. Jangan malu," kekeh Aluna. "Sudah aku bilang, aku tidak takut."Tidak mau kalah, Dirga lekas melipat tangannya di dada. Pandangannya serius menatap lurus ke depan. Bertepatan dengan itu, sosok menyeramkan muncul kembali di layar. Seketika Dirga berteriak seperti anak kecil. "Aku tidak takut, ya. Cuma kaget saja sama musiknya," kilah Dirga segera karena gengsi. "Iya, iya. Papi emang pemberani." Aluna kembali tertawa. Aluna kembali fokus melihat ke depan. Menonton dengan seksama sembari memasukan beberapa berondong jagung ke dalam mulutnya. Gadis itu memang sangat men
Senyum simpul itu tak henti terpancar dari wajah Aluna. Di tengah kesibukannya mengerjakan tugas dari sang dosen killer, pikirannya dibuat sibuk dengan rencananya bersama Dirga malam nanti. "Kelas saya cukupkan sampai disini. Jangan lupa kerjakan tugas yang saya berikan. Saya tidak akan menerima alasan apapun jika tidak ada yang mengerjakan tugas."Sang dosen killer itu lekas keluar dari dalam kelas. Masih dengan senyum yang belum luntur, Aluna membereskan semua buku juga laptopnya. Tanpa Aluna sadari, sejak tadi Rere memperhatikan gelagat aneh Aluna. "Senyum-senyum terus. Dapat hadiah baru dari Papi-mu, ya?" tanya Rere dengan nada mengejek. "Apaan, sih. Kepo!" cebik Aluna. "Mentang-mentang punya orang baru, sahabat lama dilupain." Rere tak jalah kesal. "Siapa yang lupain kamu, Rere Naima …."Aluna mencubit gemas pipi Rere seperti anak kecil. Jelas Rere langsung berontak. Aluna yang melihat itu langsung tertawa karena tidak tahan melihat wajah kesal Rere. "Nanti sore aku ada ac
Wanita itu menutup pintu mobil dengan kasar. Dengan jalan yang dihentakkan, Mayang segera memasuki lift. Dadanya bergemuruh hebat, suara wanita di telepon tadi sukses membuatnya murka luar biasa. "Krisna!"Tidak ada kata-kata sayang. Tidak ada nada yang lemah lembut dan manja. Mayang lekas masuk ke dalam lalu mencari pria itu ke segala arah. Hingga terakhir dia berada di depan pintu kamar. Dia tidak langsung masuk, tangannya tertahan di handle pintu. Suara cekikikan dan tawa seorang wanita nyaring terdengar. Disusul dengan suara menjijikan yang Mayang yakin itu adalah suara Krisna. Kepalanya sudah tidak bisa berpikir jernih. Dia yakin Krisna sedang berbuat mesum dengan seorang wanita. "Br*ngsek!"Kata itu yang pertama keluar dari mulut Mayang saat netranya menyaksikan sesuatu yang luar biasa di hadapannya. Dimana Krisna sedang berada di atas tubuh seorang wanita muda yang pakaian atasnya sudah tanggal. Begitupun Krisna yang sudah bertelanjang dada. Semua mata dibuat terbelalak."D
"Suami kamu memang sudah gila, Sayang.""Makanya, kamu jangan seperti suamiku. Sudah sibuk, sekalinya ketemu bikin emosi," cebik wanita itu. Mayang duduk bersandar di bahu Krisna."Percaya sama aku. Kamu bakalan jadi wanita paling bahagia jika bersamaku." Krisna mengelus lembut kepala Mayang."Kalau begitu, bagaimana kalau secepatnya kita menikah? Aku sudah tidak tahan terus terjebak dengan pria menyebalkan itu."Krisna menghela napas dalam, ini yang tidak ia sukai dari Mayang. Terus mendesaknya menikahi wanita itu. Padahal sedikitpun Krisna tidak memiliki niat untuk menikahi Mayang. Dia hanya ingin bersenang-senang saja."Kita baru saja memulai bisnis kita, Mayang. Bahkan kita belum memulai. Aku mohon sabar sebentar, ya. Aku janji setelah bisnis kita lancar aku akan segera menikahimu," bujuk Krisna. Tentu itu hanya bohong belaka. "Baiklah. Tapi janji, ya. Secepatnya kamu harus nikahin aku." Mayang menoleh, menatap sang kekasih dengan tatapan memelas. "Tentu saja, Honey. Sekarang ak
Aluna dan Dirga sedang duduk berdua di sofa yang ukurannya lumayan besar. Cukup bagi mereka untuk berbaring dengan posisi saling berpelukan. Sekarang sudah jam tujuh malam dan Aluna masih berada di apartemen Dirga. "Jadi mulai sekarang, perjanjian kita berakhir"Satu kalimat itu terlontar dari mulut Dirga. Aluna tersenyum senang, Bagaimana tidak, hal yang dia takutkan tidak terjadi. Bahkan saat ini Dirga sudah setuju jika perjanjian mereka sudah berakhir. "Mulai sekarang, saya adalah teman kamu. Kamu mau 'kan punya teman seperti saya yang sudah tua bangka?" Dirga terkekeh. "Asal jangan pakai minyak angin, nggak akan ada yang tau kalau Papi sudah tua." Aluna ikut tertawa. Keduanya saling menertawakan lalu saling mengeratkan pelukan. Setelah apa yang terjadi, semua berakhir dengan baik. Walau setelah ini Aluna harus bertemu dengan Bagas dan mengatakan jika ia tidak akan melepaskan Dirga untuk saat ini. Flashback .... Dirga meraih bibir kecil Aluna dengan bibirnya, mulai mencumbui
Aluna bukan anak 15 tahun yang tidak tahu benda apa yang sedang ia pegang. Dia hanya bingung, bagaimana pakaian seksi ini ada di kamar Dirga. Baju tipis yang begitu menerawang dengan warna menantang. Lingerie merah, tidak mungkin jika itu hadiah untuknya,'kan? Aluna bahkan menelan ludah saking tidak percaya."I-itu …." Dirga garuk-garuk kepala. Dia mulai kikuk karena malu. "Ini hadiahku? Lingerie ini? Buatku?" ucap Aluna dengan penuh penekanan dan tatapan mengintimidasi. Dirga semakin gelagapan. Dia semakin malu mendapati kenyataan pakaian itu memang sebenarnya untuk Aluna. Namun, melihat ekspresi Aluna yang seperti itu, Dirga ragu jika harus memberikan lingerie merah itu pada sang kekasih rahasianya itu. "Atau buat istri Papi? Kalau buat istri Papi harusnya Papi bungkus, bukan ditaruh sembarangan seperti ini. Biar aku yang-,""Itu memang buat kamu!"Hening, mendadak suasana menjadi canggung saat pria itu dengan gamblang mengatakan kebenaran. Aluna terdiam bak patung, tetapi wajahn
"Kamu terlambat. Kamu saya pecat!"Semua pandangan mengarah pada Dirga dan salah satu HRD yang terlambat datang selama dua menit. Tidak ada angin tidak ada hujan pria itu langsung memecat sang karyawan tanpa alasan. Karyawan itu memohon dan memberi alasan jika keterlambatannya akibat motornya yang mogok."Saya bilang, kamu dipecat. Tidak ada tawar menawar. Pak Hasan, bawakan kopi ke ruangan saya."Dirga lekas berlalu setelah memberi perintah kepada salah satu office boy. Meninggalkan karyawan yang terduduk lemas setelah dipecat oleh sang bos. Dirga yang sudah sampai segera duduk dan menyalakan laptop. Memeriksa laporan mengenai tender barunya."Permisi, Pak. Ini kopinya," ucap pak Hasan. "Taruh saja disitu."Pak Hasan segera menaruh secangkir kopi di atas meja lalu cepat-cepat pergi dari ruangan. Takut nasibnya akan sama seperti karyawan tadi. Raut wajah Dirga sangat tidak bersahabat hari ini. Hal itu juga disadari oleh Bagas yang baru saja masuk ke dalam ruangan Dirga. "Kenapa, Bro
Tubuhnya menggeliat pelan seraya mata yang terbuka perlahan. Rasa pusing spontan membuatnya segera mengurut pelipis. Pandangan masih sedikit kabur, tetapi Mayang yakin jika ia masih berada di dalam kamar. "S*alan!"Kata umpatan yang pertama kali terlontar dari mulut Mayang saat netranya mendapati sosok sang suami tengah terlelap di sampingnya. Tidur dengan kepala terantuk pada lipatan tangan. Bukan tersentuh melihat sang suami yang setia menunggunya, tatapan bencilah yang Mayang layangkan pada pria itu. "Gara-gara dia aku jadi tidak bisa bertemu Mas Krisna."Samar-samar suara Mayang terdengar, Dirga segera bangun dari tidurnya. Ia begitu senang melihat sang istri yang sudah sadarkan diri. Dengan cepat Dirga meraih satu tangan Mayang lalu mengelusnya dengan lembut. Namun, Mayang malah menepisnya dengan kasar. Tak suka jika tangan indahnya disentuh oleh pria yang masih berstatus suaminya itu. "Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang. Aku sangat khawatir." Dirga tersenyum meski sempat mend
Semangat yang sempat menggebu kini berubah menjadi sebuah kebingungan. Dirga masih memandangi lingerie merah yang dia beli tempo hari. Baju tipis menggoda yang terhampar di atas ranjang ia tatap lekat-lekat. Dia sudah pulang dan hari ini ia berada di apartemen. "Bagaimana aku memberikannya? Dia pasti menyebutku pria mesum."Menggaruk kepala yang tak gatal, Dirga masih belum mengalihkan pandangannya. Hari ini Dirga berniat memberikan semua hadiah yang dia beli pada Aluna termasuk pakaian itu. Namun, tiba-tiba saja dia menjadi ragu, bingung apakah baju itu harus dia berikan atau tidak. "Tapi aku penasaran. Apa yang kamu pikirkan, Dirga!"Bingung, akhirnya Dirga memutuskan untuk pulang kerumah tanpa membereskan pakaian yang tergeletak di atas kasur. Dia hampir saja lupa tentang Mayang yang ia sekap di kamar saking sibuk memikirkan perkara baju tipis itu. Ini sudah hari ketiga sejak Mayang ia sekap dengan paksa. Siang ini jalanan tidak terlalu macet mungkin karena akhir pekan. Tidak me