Ya benar lah. Emily kan jodohnya gue."Tiba-tiba saja, Raya muncul entah dari mana, langsung nyeletuk dan duduk di samping Riana. Dia tersenyum lebar padaku. Aku melotot. "Sok tahu. Gue udah dilamar bos.""Selama janur kuning belum melengkung. You free girls."Plak… aku menepuk bahunya dengan ponsel. Raya meringis."Sembarangan."***Satu hari lagi berlalu, satu hari yang terasa sangat lama. Aku tak bersemangat berangkat ke kantor. Menatap lapangan parkir yang terasa berbeda tanpa ada mobilnya. Memandang pintu ruangannya yang terus tertutup. Jika ada berkas yang seharusnya dia tanda tangani, Riana mengirimkannya lewat email. Dan di kantor, aku memandangi tanda tangan Pak Arfan dengan norak.Dia tak lagi menelepon. Sepertinya pekerjaannya disana sangat penting sehingga dia sibuk sekali. Sekedar menyapaku saja tidak. Sementara aku, tak lagi berminat bertanya. Jelas sudah, bahwa dia memang tak punya hati padaku. Cukup bahwa aku pernah dekat, pernah menjadi calon istri bohongannya. Soal
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 22Pyar!Lampu menyala, terang benderang. Sejenak mataku terfokus padanya, pada dia yang beberapa hari ini menghilang dan nyaris membuatku kehilangan arah. Padanya yang membuatku lupa caranya tersenyum.Pak Arfan memandangku, perlahan melangkah mendekat. Jika kemarin dia datang, mungkin aku akan menghambur ke dalam pelukannya, atau sekedar menatapnya demi menuntaskan rindu. Tapi kini, semua lelaki tampak sama. Sama mengerikannya."Berhenti disitu! Berhenti! Jangan dekati aku!"Hening. Lelaki itu menghentikan langkah dengan raut wajah gelisah yang selama ini tak pernah kulihat. Sementara itu, di salah satu sisi ruangan yang kini tampak kacau balau, Aditya berdiri sambil menginjakkan kakinya pada sosok seorang lelaki. Lelaki itu sepertinya pingsan. Darah berceceran di lantai, membuatku pusing dan mual. Aku mundur, bersandar di tembok dekat pintu keluar, mendekap erat jaket tebal yang menutupi dadaku yang terbuka. Jaket itu milik Pak Arfan, aku hafal aroma parfum
Gadis cantik! Akhirnya kau sendirian juga. Hahaha…""Pergi kau! Pergi!"Lelaki di hadapanku seakan tak peduli pada ekspresi takutku. Dia juga tak merasa iba melihatku menangis. Langkah kakinya pelan, seperti singa yang tengah mendekati mangsa. Sementara aku, dengan kakiku yang terkilir akibat terjatuh tadi, tak mampu berbuat apa-apa. Kami berasa di pinggir sebuah hutan lebar. Tak seorangpun lalu lalang. Air mataku kian deras. Apa yang harus kulakukan untuk mempertahankan kehormatanku?"Mari kita bersenang-senang cantik. Sekarang kau menolak, setelah ini kau akan ketagihan dan mengejarku kemana saja minta dilayani. Hahaha…"Langkahnya semakin dekat. Tangannya yang hitam legam terulur ke dadaku. Aku menjerit setinggi langit."Pergi! Pergiiiii! Jangan dekati aku!"…"Emi?! Emi?!!""Emi… Ya Allah, Nak. Emi nggak apa-apa sayang?"Suara lembut Mama menelusup, membuat wajah menyeramkan dan pemandangan pinggir hutan hilang seketika. Aku telah berada di kamarku, dengan selimut tebal membungkus
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 23PoV ARFANAku mundur beberapa langkah, kelu di lidah dan sesak di dada. Seperti inikah rasanya sesal? Ternyata lebih menyakitkan dari pada dikhianati. Suara tangis itu belum pernah kudengar. Emily, bagaimanapun sedihnya dia, selalu berusaha tertawa. Dia gadis periang, dia matahariku, dia semangat hidupku. Dan jika dia redup seperti itu, bagaimana aku?Perlahan, aku membalikkan tubuh dan kembali ke mobil. Tunggu aku sayang, aku akan membuat orang yang menyakitimu mendapat balasan. Dan tunggu aku, tak peduli kau menolakku seribu kali, aku akan terus mencoba menyembuhkan luka hatimu itu.***Aku menatap layar komputer dengan geram, melihat bagaimana Laura dan Winda datang ke kantor dan mengacak-acak ruanganku. Bagaimana dia menyakiti gadis yang kusayangi. Aku melihat Emily tersenyum, meski aku tahu dia kesal, marah dan sedih.Di sampingku, Pak Ahmad yang baru saja siuman duduk dengan wajah pucat. "Tadi ada kurir antar kopi, Pak. Katanya dari Mbak Emily. Makan
"Calon istriku adalah Emily. Dan asal Papa dan Mama tahu, dia nyaris celaka di kantorku malam ini.""Apa? Apa yang terjadi Arfan?"Papa memberiku isyarat untuk mengikutinya duduk di sofa ruang tengah. Sejenak, aku menatap Mama tajam. "Seseorang menerobos masuk ke kantor, Pa. Emily yang baru selesai lembur nyaris saja diperkosa kalau aku tak segera datang.""Ya Tuhan. Kasihan sekali anak itu. Apa dia tak apa-apa?""Dia shock. Emily gadis baik-baik, Pa. Dia sama sekali tak pernah mengenal lelaki sebelum aku.""Gadis baik-baik mana yang suka pulang larut malam?"Mama tiba-tiba saja memotong pembicaraan. Beliau duduk sambil menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. "Emily di kantor karena menyelesaikan pekerjaan. Dia karyawan yang bertanggung jawab. Lagi pula, belum terlalu larut. Tapi seseorang di balik semua ini sepertinya memang telah mengincarnya."Bicara begitu, aku tak melepaskan tatapan dari wajah Mama. "Apa kau menuduh Mama?""Sejak awal Mama tak suka padanya.""Meski begit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 24PoV EMILY"Apa?!"Suara Bang Arga yang berseru dari ruang depan membuat ponsel yang kupegang terjatuh. Sambil mendekap dada, aku memungut ponsel di atas lantai. Sejak malam itu, sedikit saja suara keras membuatku terkejut dan jantungku berdetak kencang. Aku berjalan ke depan, mengendap dan bersembunyi di balik hordeng pembatas ruang tengah. Mama sedang keluar membeli sesuatu, sementara Bang Arga masih izin kerja. Dia masih belum mau meninggalkanku."Tidak mungkin…"Suara Bang Arga lirih dan nyaris tak terdengar. Aku menajamkan telinga."Tidak mungkin Winda." Suaranya lirih.Winda? Aku mengerutkan kening. Rasa penasaran membuatku melangkah mendekat. Bang Arga berdiri membelakangi pintu, dan seseorang ada di hadapannya."Benar Mas. Lelaki itu sudah mengakui bahwa Winda yang menyuruhnya menyerang Nona Emily."Aku menekap mulut dengan keterkejutan luar biasa. Winda? Mana mungkin? Winda yang tengil, yang tak pernah tersinggung meski aku terus menyindirnya sebaga
"Emily sekalian konsultasi sama psikiater ya, Nak. Mama kangen suara tawa Emi."Di mobil, Mama membiarkan Bang Arga menyetir sendiri di depan karena Mama tak mau meninggalkanku. Di Sepanjang jalan Mama tak henti menggenggam tanganku. Setelah satu jam perjalanan, kami akhirnya tiba di rumah sakit jiwa Kurungan nyawa. Setelah memperkenalkan diri dan mengatakan tujuan kami datang kesini, petugas membawa kami menyusuri sebuah lorong panjang yang di kanan kiri nya ada pintu berderet-deret. Samar kudengar suara tangis, kadang tawa, bahkan nyanyian tak jelas dari sana. Aku bergidik.Di depan pintu sebuah kamar, petugas itu berhenti dan mengeluarkan serenceng kunci yang nampak berat. Dadaku berdebar kencang ketika pintu itu perlahan mengayun ke dalam, dan sosok seseorang yang amat kukenal menoleh. Matanya terbelalak menatap kami. Dan detik berikutnya, dia langsung lari menghambur ke dalam pelukan Bang Arga."Bang Arga! Huhuhu…"Dia menangis tersedu-sedu. Bang Arga bergeming, memeluk saja tid
ABANGKU SAKIT JIWA 25Sungguh, jika kutahu cinta sesakit ini, maka aku akan memililih tak pernah mencintai.Sesaat, pandangan mata kami bertemu. Aku segera menutup kaca jendela mobil sambil menggigit bibir. "Bang, ayo jalan."Bang Arga menatap sekilas dari kaca spion, lalu tanpa berkata-kata, dia langsung menekan gas dan mobil melaju. Dari kaca spion, dapat kulihat Pak Arfan menatap mobilku hingga dirinya tak terlihat lagi."Emily, bukankah Bos-mu itu tidak salah apa-apa? Kenapa kau seperti membencinya?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Mama."Secara tidak langsung, dia tak salah Ma. Tapi karena dia, mereka membenciku.""Mereka siapa? Mama nggak ngerti.""Pak Arfan sudah dijodohkan dengan seorang gadis. Dan gadis itu adalah Kakaknya Winda. Dia seorang selebgram dan bintang iklan. Dan, Ibunya Pak Arfan juga tak suka padaku karena kita tidak sekelas dengan mereka katanya.""Astaga. Memangnya mereka pikir ini zaman kolonial apa? Memangnya anak Mama orang miskin dan kelaparan? Kas