PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 1
"Hah? Pinjem bajuku lagi?"Aku melotot, menatap baju di tangan Abang yang hendak dimasukkannya ke dalam tas. Baju kesayanganku, oleh-oleh Papa dari Thailand. Sebuah dress oversize bergambar gajah, khas negeri gajah putih itu. Baju itu baru kupakai dua kali dan kini terancam berpindah tangan."Iya. Winda pengen baju ini. Kemarin dia lihat kamu pakai dan suka. Aku bawa dulu ya.""Nggak boleh!" Aku merampas baju itu sekuat tenaga. "Enak aja. Kenapa pinjam sih? Kenapa nggak beli sendiri?""Ini kan nggak dijual disini, Em. Dan nggak ada pula yang sama.""Kenapa emangnya harus sama?""Eh…" Abang tampak bingung. "Winda bilang…""Winda terus, Winda terus! Abang tahu nggak? Pacar Abang itu freak. Semua harus sama kayak aku, potongan rambut, make up, sepatu, tas, baju semua harus sama sama aku. Dia tu aneh. Mikir dong, Bang!""Emily!"Aku terkejut mendengar Abang membentakku."Jangan ngomong yang nggak nggak tentang Winda. Dia itu gadis baik-baik."Nada suaranya menurun melihatku terkejut dan suruh ke belakang. Aku melengos, memegang bajuku erat-erat."Baik apanya kalau tukang ngembat barang orang. Semua barangku yang dia pinjam nggak pernah pulang.""Ya emangnya kamu mau pakai baju bekas dia.""Oh, berarti yang ini pun kalau aku pinjemin nggak bakalan balik kan? Pokoknya nggak!""Kamu udah puas pakainya Em.""Puas apanya? Baju ini ku sayang-sayang. Abang tahu kan ini oleh-oleh Papa yang terakhir?"Suaraku langsung bergetar. Apa yang baru saja ku katakan memang benar. Sepulang dari Thailand, sebulan kemudian Papa terkena serangan jantung dan pergi untuk selamanya. Benda terakhir pemberiannya, yang beliau pilihkan sendiri untukku, kujaga baik-baik, selamanya akan kusimpan sebagai kenangan. Dan kini, Abang seenaknya hendak memberikannya pada pacarnya yang ajaib itu.Abang terdiam melihatku mau menangis. Kudorong punggungnya agar keluar dari kamar, lalu kubanting pintu hingga tertutup. Usai menguncinya, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Lelah dan kesal. Tak kupedulikan suara Abang yang masih berteriak membujukku.Astaga. Abangku yang bucin. Entah sampai kapan Winda akan menjadi duri dalam hidupku. Aku sampai ngeri membayangkan dia jadi iparku kelak."Kenapa, Ga?"Suara lembut Mama terdengar. Aku memasang telinga. Mama biasanya akan ikut membujukku agar mengabulkan permintaan anak kesayangannya itu."Winda pengen bajunya Emily Ma, tapi nggak dikasih." Abang mengadu.Mama terdiam sejenak. "Kamu belikan saja yang baru, Nak.""Masa Arga mesti ke Thailand dulu, Ma.""Oh, memangnya baju yang mana?""Dress putih dari Thailand itu."Mama terdiam, lalu kudengar lagi suaranya."Ya kalau yang itu jangan, Ga. Kamu kan tahu itu kenangan terakhir dari Papa. Emi…""Ah, Mama sama saja dengan Emily. Bukannya bantu aku bujuk anak itu."Aku menutup telinga, tak mau tahu ending percakapan mereka. Biasanya Mama akan luluh dan ikut membujukku, lalu aku harus merelakan barangku yang diinginkan Winda. Tapi kali ini tidak. Aku tak akan mengalah lagi.***Aku mengunci pintu kamar dengan tergesa-gesa. Pagi masih sangat muda. Seharusnya aku bisa bersantai karena jam masuk kantor tempatku bekerja adalah jam delapan pagi. Tapi sungguh, aku malas bertemu Bang Arga dan mendengar rengekannya lagi."Ma, aku berangkat duluan ya." Kuraih tangan Mama yang masih mengaduk nasi goreng. Aku menelan ludah melihat nasi goreng kambing kesukaanku itu. Aromanya sungguh menggoda. Tapi aku harus segera pergi sebelum Bang Arga keluar kamar dan menghancurkan moodku."Loh, kamu nggak sarapan? Ini masih jam enam.""Ada meeting, Ma." Aku mencium tangan Mama, meminta maaf dalam hati karena berbohong. Setelah itu, aku berlari tergesa-gesa, mengeluarkan motor matic-ku dari garasi dan memakai sepatu."Em, bawa ini."Mama muncul dan melainkan kotak bekal di meja. Aroma nasi goreng yang harum menguar dari sana. Aku memandang Mama haru. Mama rupanya masih ingat bagaimana candunya aku pada makanan itu."Makasih Ma."Mama tersenyum. Tapi kata-katanya kemudian membuatku tertegun."Baju itu, yang mau dipinjam Winda, kasihlah, Nak. Kasian Abangmu."Aku urung memutar kontak motor, memandang Mama dengan mata mengembun."Nggak. Cukup selama ini aku mengalah. Mama tahu apa arti baju itu bagiku.""Itu cuma baju, Nak."Aku memandang Mama kecewa."Cuma? Aku nggak nyangka Mama ngomong kayak gini. Papa pasti akan sedih sekali."Aku tak menunggu reaksi Mama. Dengan perasaan sedih, aku naik ke motor dan segera pergi. Aku bahkan melupakan kotak bekal ku, tertinggal di atas meja teras. Kutahan air mataku agar tak jatuh sepanjang perjalanan.Winda Shabira, gadis yang telah setahun menjadi kekasih Bang Arga, kerap memancing emosiku. Sejak pertama sekali dia datang dan diperkenalkan pada kami - aku dan Mama - dia sudah membuatku kesal dengan bertanya segala macam. Potongan rambut, make up sampai pembalut apa yang kupakai. Dan aku tercengang ketika minggu berikutnya dia dibawa lagi ke rumah oleh Bang Arga, dandanannya persis sekali aku. Aku masih berpikir positif, mungkin selama ini dia belum menemukan model rambut yang cocok. Tapi ketika dia datang lagi keesokan harinya, aku makin kaget.Sepintas, dia sangat mirip aku. Dan semakin lama semakin tampak jelas kalau dia mencoba meniruku. Aku pakai rok ini, besoknya dia aplod foto pakai rok yang sama. Aku pakai tas baru, tak lama, Abang sibuk beli juga untuknya. Fix, Winda sakit jiwa, dan parahnya, Bang Arga bucin sama dia.Mood-ku memburuk seharian. Beberapa kali juga aku membuat kesalahan. Untung saja, Pak Arfan, si bos jutek tak datang hari ini. Bisa-bisa kena SP aku, plus omelannya yang menyakitkan telinga. Raina yang duduk di sebelah mejaku berulang kali memelototi, memberi peringatan supaya aku fokus."Apa lagi?" Bisiknya. "Winda lagi?"Aku memutar bola mata. Raina cekikikan meski diam-diam. Dia sahabatku, tempat curhatku."Plis-lah Na, aku lebih suka kamu jadi Kakak iparku."Raina makin ngakak. Masalahnya dia sendiri sudah punya pacar.Aku pulang dengan lesu, terlebih ketika kulihat sepatu Winda ada di depan pintu. Dia ada di dalam, dan entah apa lagi ulahnya kali ini."Emiii… makasih sayang. Bajunya pas banget sama aku."Winda menubrukku, memeluk hingga aku berasa risih. Aku tertegun melihat penampilannya. Dress putihku! Padahal aku sudah menaruhnya di lemari, dan lemariku sudah pula dikunci. Jadi…Aku berlari ke kamar, dan terpana mendapati lemari bajuku sudah dibongkar pintunya."Abaaaaangggg!"***PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 2"Abaaaaanngg!"Aku berlari menuju ruang tengah, tempat semua orang berkumpul. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Bisa-bisanya Bang Arga berbuat kriminal demi memenuhi kemauan cewek freak-nya itu. Dan Mama? Oh, tega sekali Mama membiarkan kejahatan terjadi di rumah ini.Di ruang tengah, demi mendengar teriakanku, rupanya Winda langsung mencari perlindungan. Dia bersembunyi di belakang badan Abang, sementara Mama tampak mengelus dada mendengar suaraku."Buka bajuku! Buka!"Suaraku naik lima oktaf. Aku menghampiri Abang, yang terang-terangan melindungi pacarnya itu. Sementara dari balik bahu Bang Arga, Winda meringis melihatku."Kesini kamu Mbak! Kembalikan bajuku!""Hei hei jangan gitu dong Em. Kasihan Winda nggak salah apa-apa.""Nggak salah apa-apa? Dia sudah mencuri bajuku!""Bukan Winda yang ngambil dari lemari, itu Abang.""Kalau begitu kalian berdua harus masuk penjara, kecuali bajuku kembali!"Aku benar-benar kalap. Sambil bicara aku memutari tubuh Bang A
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 3"Sudahlah, Ga. Masih banyak gadis lain. Nanti Mama kenalin sama anaknya Tante Ria, cantik deh. Kamu pasti suka.""Nggak Ma. Aku cuma mau Winda. Aku sudah terlanjur cinta sama dia."Huekk… rasanya aku mau mu-ntah. Namun ku teruskan menguping pembicaraan Mama dan Bang Arga. Lebih tepatnya, bujukan Mama pada Bang Arga."Kalau gitu, biarkan aja dulu jeda beberapa bulan atau berapa tahun ya Ga. Nggak usah ketemu dulu. Siapa tahu kalian akan lebih baik setelah ini."Berapa tahun? Hahaha… Aku rasa Mama memang nggak suka juga sama si Winda, hanya Mama nggak berani membantah anak kesayangannya itu secara langsung. Ah, seandainya aja masih ada Papa."Arga nggak sanggup Ma. Lagian Emily kenapa jadi pelit gitu sih?""Pelit apanya, Nak. Sudah berapa banyak coba barang dia yang kamu ambil untuk Winda. Baju, tas, sepatu. Adikmu juga punya batas kesabaran. Dan kali ini, emm, Winda memang agak keterlaluan."Suara Mama jelas ragu. Mama sangat takut membuat anak kesayangannya
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 4"Huaaaaa!!"Aku menjerit, refleks mengangkat kaki, hendak berlari menuju jalan raya. Tapi ya Tuhan, kakiku tak bisa digerakkan. Ada apa ini? Aku menoleh ke bawah, hendak melihat kakiku. Eh, kakiku bergerak dong. Cuma nggak bisa diajak melangkah aja. Tapi ini apa? Kenapa punggungku terasa berat sekali? Seperti ada yang menggandul di sana?"Pak Satpam tolooong! Mama tolonggg! Ya Allah tolong ya Allah! Emi belum kawin…"Plak!Bahuku dipukul, dan sebuah suara familiar terdengar di telinga."Nengok sini!"Aku memutar kepala. Sosok yang tadi membuatku histeris itu membuka jaket hoodie hitam yang menutupi kepala, dan juga membuka masker hitamnya. Di bawah sinar lampu remang-remang, wajah ganteng bukan kepalang Pak Arfan, si bos jutek terpampang nyata, melotot ke arahku."Emang kamu pikir saya setan?"Aku menggeleng."Bukan, Pak. Saya pikir Bapak pembunuh berantai."Dia menggelengkan kepala, lalu tanpa kata-kata melangkah menuju motorku, mencoba menghidupkannya. Me
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 5"Abang! Liat nih kelakuan pacarmu, masa dia minta dikenalin sama Bosku tadi."Kupikir Abang akan marah, nyatanya dia malah tertawa. Dan di mataku kini, bukan hanya Winda yang sakit jiwa, tapi Abangku juga."Ya nggak pa-pa. Emang kenapa? Winda kan sebentar lagi wisuda, dia mungkin mau cari lowongan kerja. Iya kan?"What?Aku dan Mama saling lirik mendengar kata-kata Abang yang penuh pembelaan. Sementara si biang masalah senyum-senyum, sok imut banget."Iya Bang, aku pengen kerja tempat Emily. Kayaknya enak banget deh, bosnya baik. Karyawan biasa aja dianter pulang. Padahal Emi kan nggak cantik-cantik banget ya."Dih!"Nggak cantik tapi tiap saat lo niru gue. Dasar edan!""Emi…" Mama menegurku, melotot mendengarku mengeluarkan kata-kata kasar. Aku kembali menatap Winda."Jangan coba-coba ngelamar kerja tempat gue. Disana nggak terima cewek freak. Lagian, emang yakin bakalan wisuda? Skripsi aja setahun nggak kelar-kelar."Winda setingkat denganku, satu kampus,
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 6"Nih, shamponya. Diminta dikit aja, pelit banget."Bang Arga meletakkan botol shampoku di meja makan ketika kami tengah sarapan keesokan harinya. Aku membuka tutup botol shampo, mendapati isinya yang tinggal setengah. Kutatap Abang tajam."Ini yang terakhir. Berani dia menyentuh barang-barangku, ku laporin dia ke polisi. Termasuk siapa saja yang mendukung pencuri itu beraksi."Dapat kulihat dari sudut mata, Mama mengelus dada. Jujur saja, aku sangat kecewa pada Mama. Mama sama sekali tak menghargaiku, membiarkan orang lain yang belum jadi siapa-siapa untuk masuk dan mengacak-acak kamar pribadiku. Untuk pindah dari sini seperti ancamanku tempo hari, aku tak sanggup. Papa menitipkan Mama padaku di hari-hari terakhir kepergiannya."Emi, Papa titip Mama ya. Papa takut sikap Mama yang terlalu memanjakan Abangmu itu nantinya malah jadi bumerang. Kalau Papa nggak ada, Papa lebih percaya kamu menjaga Mama daripada Abangmu."Ucapan Papa memang terbukti.Aku bangkit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 7Winda rupanya mendengar teriakanku. Dia langsung hendak naik ke tangga kalau Astri tidak segera menghalangi."Emi! Emily! Yuhuuu… Emily!""Hei… orang luar dilarang masuk sembarangan!" Astri berdiri di anak tangga paling bawah sambil merentangkan tangan. Tanpa sadar aku langsung mendorong Pak Arfan keras-keras hingga kami menabrak dinding dengan posisi yang tak dapat kuceritakan. Amazing."Ngapain kamu dorong-dorong saya?"Pak Arfan ganti mendorongku agar tak menempel di dadanya. Aku yang diserang kaget, dan takjub, rasanya tak mampu bergerak. Kaku. Seisi ruangan tiba-tiba terlihat kosong, tak ada meja dan kursi, apalagi orang lain. Hanya kami berdua."Riana, turun! Bilang sama Astri kita nggak ada lowongan. Kamu Emily, ikut ke ruangan saya."Mati gue!Dari wajahnya, aku bisa menebak apa yang akan kualami di dalam nanti. Lelaki itu mendahuluiku masuk ke ruangannya, sementara aku menoleh pada Riana yang hanya menggedikkan bahu."Semangat Emily!"Dia langsung b
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 8"Emily?"Suara yang sangat kukenal itu membuatku refleks mengangkat kepala. Sudah terlambat untuk menyembunyikan mataku yang berair. Aku menunduk lagi, Diam-diam menyusut air mata dari pipiku. Di hadapanmu, Pak Arfan tidak berkata apa-apa. Dia menungguku selesai mengeringkan air mata."Bapak kok belum pulang?""Kenapa memangnya? Kantor ini punya saya. Harusnya saya yang nanya, kenapa kamu belum pulang?"Dalam keadaan biasa, mungkin aku akan membiarkan diriku hilang kendali, membantah kata-katanya yang - meskipun bernada perhatian - tetap saja angkuh. Tapi kali ini, aku hanya menunduk, masih terbawa sedih karena merasa tersisih."Ayo ikut saya."Tanpa aba-aba, Pak Arfan menarik tanganku hingga aku berdiri."Eh, mau kemana, Pak?""Ikut aja, daripada saya pecat."Dih. Dasar bos nggak ada akhlak. Aku langsung menyambar tas di atas meja dan berjalan tersaruk-saruk mengikutinya. Pak Arfan tak melepaskan tanganku, bahkan hingga kami melewati parkiran. Pak Slamet, S
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 9Setelah menutup kembali pagar dan memasukkan motor ke dalam garasi, aku duduk di teras. Mobil Abang sudah ada di dalam, artinya orangnya ada. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Winda. Mungkin dia tidak datang malam ini, atau mungkin juga sudah pulang. Rumah masih terlihat terang benderang. Mungkin Mama menungguku, mungkin juga tidak.Setelah momen baper dengan Pak Arfan tadi, aku harus kembali menghadapi kenyataan, bahwa aku harus pulang ke rumah, yang semakin lama semakin tak terasa seperti 'rumah'. Aku tak punya kunci serep, juga segan membangunkan Mama. Lima bulan lalu, sebelum kehadiran Winda dalam hidup Abang, aku tak pernah pulang selarut ini. Bagiku, rumah adalah tempat ternyaman, dimana aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan, bicara apapun tanpa takut ada orang tersinggung. Tapi kini, membayangkan harus pulang dari kantor saja membuatku enggan.Apa sebaiknya aku kawin aja ya? Biar bisa pergi dari sini tanpa merasa bersalah. Kan istri wajib ikut suam
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA (ENDING)musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 15PoV WINDAEnam bulan kemudian"Kak, kenapa sih Mama nggak sayang sama aku? Seperti Mama sayang sama Kakak?""Kata siapa? Mama sayang kok sama kamu.""Tapi Mama dikit-dikit marah. Kalau sama Kakak nggak."Kak Laura tersenyum, mengusap rambutku dengan lembut."Mama cuma lagi nggak enak badan. Kamu tenang aja ya, kan ada Kakak." Ujar Kak Laura sambil tersenyum manis. Dia mengulurkan perahu dari kertas yang baru saja dibuatnya.Aku ikut tersenyum, meraih perahu kertas itu dan berlari ke dalam kolam ikan di belakang rumah. Berdua kami melarungkan perahu itu disana, membuat ombak kecil dengan kedua tangan hingga perahu itu sesekali terombang-ambing. Ah, masa kecil yang indah. Kenapa orang harus menjadi dewasa jika masa kecil sudah membuat bahagia? Padahal dengan menjadi dewasa, ada banyak masalah yang mulai menghampiri."Sayang…"Aku menoleh, segala kenangan tentang masa kecil itu segera lenyap dari benakku. Mas Adit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa TertinggalBab 14PoV ADITYAKeadaan rumah baik baik saja kecuali satu hal, kunci pintu depan yang dibuka paksa menggunakan sebuah alat. Itu artinya, Winda pergi kesana tidak dengan sukarela. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Winda bisa ada disana bersama si pembunuh? Dan suara Siapakah yang menjerit demikian pilu? Suara itu, seperti seseorang yang tengah merasakan sakit yang luar biasa.Aku memandang wajah istriku dengan gundah, sekaligus kesal karena aku tak tahu apa-apa, persis orang buta. Wajah itu masih pucat pasi saat kuletakkan di atas pembaringan. Tapi setidaknya dia tak menolak semua sentuhanku padanya. Sepanjang subuh hingga pagi itu, Winda tak juga mau melepaskan diri dari pelukanku. Belum pernah aku merasa se bingung ini. Aku tak tahu apa yang telah menimpanya, dan juga apa yang terjadi. Dan suara tembakan itu? Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku percaya Mas Arfan akan melakukan yang terbaik, seperti dia selalu mempercayaiku
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2.SISA RASA TERTINGGAL.Bab 13Lika masih menjerit histeris, aku bisa memperkirakan bertapa kuat tenaga lelaki itu, apalagi dengan sepatu model boot yang keras dan berat menekan paha Lika. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku tak sanggup, seandainya harus melihat seseorang disiksa si depan mataku. Lika memang bersalah, tapi bukan seperti ini hukuman yang kuinginkan untuknya. Dan lagi, adakah manusia yang punya hak melakukannya."Ya Allah… jangan! Tolong jangan! Lepaskan dia!"Mendengar suaraku, Lika berhenti menjerit. Dia memandangku sambil berurai air mata sementara si malaikat maut sama sekali tak menoleh. Dengan sebelah tangannya, dia mengulurkan pisau kecil membuka ikatan di kakiku, memutar kursiku dan kembali membuka ikatan di tanganku. Semua itu dia lakukan tanpa melepaskan kakinya dari paha Lika."Pergi Winda. Dan jangan sekali kali lapor polisi. Biarkan aku jadi hakim untuk mereka dan biarkan aku sendiri yang menanggung dosanya."Aku berdiri
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa tertinggalBab 12Dadaku langsung berdebar hebat membaca pesan itu. Aku refleks berdiri, memandang berkeliling. Aku sangat yakin lelaki itu tadinya ada disini. Sang malaikat maut yang telah menyiksa Kak Laura. Kak Laura sekarang tenang karena dia memutuskan pergi. Barulah kusadari arti kalimat Kak Laura selama ini : Dia ada disini! Ya. Setiap kali aku menjenguknya, ada kalanya Kak Laura tiba-tiba seperti melihat sesuatu dan dia ketakutan. Jadi, apakah selama lebih setahun ini, sebenarnya orang itu ada disini?"Ada apa?"Mas Adit memegang lenganku, menyuruhku berhenti. Dia merasakan gerakanku yang gelisah sedari tadi. Aku memberikan ponsel itu padanya. Dia mengamatinya sejenak, mengeluarkan ponselnya sendiri dan entah melakukan apa, mungkin melacak atau mencari tahu identitas si pengirim, entahlah. Ponsel pintarnya sepertinya bisa melakukan apa saja.Mas Adit melangkah sambil merangkul bahuku."Itu artinya, Kak Laura aman disini. Meski un
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBab 11Sepasang matanya yang dihiasi bulu mata tebal, juga pewarna dengan aksen smoke, memandangku tajam. Kami bertatapan sekian menit lamanya sementara si lelaki ikut mengamatiku. Entah apa yang kulakukan, nekat atau ceroboh, terserah. Aku telah membantunya malam itu, jadi pantaskah dia membalasnya dengan cara menggoda suamiku?"Suamimu tidak pernah menyimpan rahasia dariku. Dan aku jamin, dia tak akan pernah menyakiti hatiku. Jadi berhentilah berbuat bodoh. Silahkan mencari lelaki lain yang mau kau rayu. Tapi bukan suamiku."Lika diam saja mendengar aku memakinya. Aku berbalik dan berjalan dengan cepat menuju taksi online yang masih menunggu. Tiba di rumah, dengan nafas terengah-engah, aku merebahkan diri, teringat pada janin dalam perutku. Aku memejamkan mata. Apakah yang kulakukan tadi salah?Masih kuingat wajahnya yang tanpa ekspresi tadi. Entahlah, aku bukan Emily yang pandai membaca raut wajah orang lain. Aku hanya tahu b
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 10Aku belum pernah merasa marah dan cemburu sehebat ini. Bahkan dengan Bang Arga dulu, aku tak pernah merasa. Hubunganku dengannya terlalu mulus, tanpa sedikitpun gelombang. Bang Arga yang sangat mencintaiku, sama sekali tak pernah membuatku cemburu. Akibatnya, akulah yang sering membuat ulah hanya karena ingin menepis rasa bosan. Salah satunya, dekat dengan Mas Adit yang dulu jelas jelas hanya menggoda.Aku mengusap wajah. Kemarin, aku bahkan masih meragukan cintaku padanya. Tapi hari ini, membaca chat WA dari nomor tak dikenal, yang bahkan sama sekali belum dibaca oleh Mas Adit membuat dadaku berdebar hebat. Aku terbakar oleh amarah dan api cemburu.Tring!Pesan itu masuk lagi. Kali ini sebuah foto. Foto yang sangat vulgar. Dan aku semakin meradang mengetahui siapa yang mengirimkan foto itu.Lika!Dia berpose sensual, memakai baju dengan dua tali di pundak, tipis berenda-renda sehingga aku tahu dia tak memakai apa apa l
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAmusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBab 9Mas Adit, jika malam ini terjadi sesuatu padaku, aku minta maaf. Entah bagaimana caranya, aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Dan sama sekali tak lagi ada keraguan tentang itu.Krieett…Pintu terbuka, sesosok tubuh melangkah masuk, aku memejamkan sambil menjerit dan mengayunkan sapu lidi di tanganku."Aaaaaaaa…!"Bag bug bag bug…"Winda! Berhenti sayang. Ini aku!"Tanganku gemetar, rasanya telingaku kebas, tak mampu mengenali suara yang samar-samar kukenali itu. Kenapa dia memanggilku? Kenapa dia tahu namaku? Dan kenapa dia bahkan tak menghindari semua pukulanku?Tangan itu lalu sigap menangkap sapu lidi yang sudah beberapa kali menghantam tubuhnya, lalu melemparnya ke sembarang arah. Dengan paksa, dia memelukku, menarikku ke arah saklar lampu dan menghidupkan lampu. Seketika terang benderang, dan aku terpana memandang wajah yang telah membuatku menangis semalaman."Mas Adit?""Winda? Kamu kenapa Sayang? Ya Allah… ma
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 Sisa Rasa TertinggalBab 8PoV WINDA"Mas Arfan, Mas Aditya sebenarnya kemana? Sejak sore tadi WA ku ceklis satu."Mas Arfan tersenyum dengan wajah tenang. Kami baru saja selesai makan malam di rumah Emily. Makan malam yang nyaris tak dapat kutelan karena gelisah mengingat suamiku tak ada disini. Terlebih, aku harus satu meja dengan Bang Arga dan Riana. Meski Mama dan juga Emily ada didekatku, aku masih juga tak bisa membuang rasa canggung itu. Aku masih sering teringat bagaimana dulu Bang Arga begitu menyayangiku. Belum lagi mata Riana yang terus memperhatikan walau sembunyi-sembunyi. Tapi setidaknya aku sedikit lega, Riana tak seketus itu lagi. Entah apa yang Emily katakan padanya."Aditya melakukan sebuah pekerjaan rahasia Winda. Maaf, aku tak bisa memberi tahukan-nya padamu."Aku terdiam. Tugas rahasia. Aku tahu bahwa Mas Adit adalah orang kepercayaan Mas Arfan. Mereka telah bersama bahkan jauh sebelum aku dan Emily mengenalnya. Dan tentu saja a
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBAB 7PoV EMILYKami duduk di bangku taman belakang rumah sakit. Dimana beberapa buah bangku kayu dipasang permanen di atas semen-semen yang di cat warna warni. Pohon-pohon akasia yang rindang dan meneduhkan taman belakang ini adalah salah satu tempat favorit para perawat untuk mengawasi pasien. Pada jam-jam tertentu, mereka akan dibawa ke sini, berinteraksi dengan sesama pasien, meski lebih sering berakhir dengan kekacauan. Aku bergidik membayangkannya. Ah, betapa menyedihkannya hidup ketika sebagian kewarasan telah terenggut darimu."Kamu kesini sendirian?"Winda mengusap matanya yang basah, lalu mengangguk. Setelah banyak peristiwa menyedihkan terjadi dalam hidupnya, Winda yang dulu periang, perlahan berubah menjadi Winda yang pendiam dan dewasa. Jujur saja, aku merindukan dia yang dulu, yang sering membuatku jengkel, tapi juga kadang membuatku tertawa. Hidup memang serumit itu."Aku nggak bisa tidur dengan tenang, Em. Kamu p