PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 4
"Huaaaaa!!"Aku menjerit, refleks mengangkat kaki, hendak berlari menuju jalan raya. Tapi ya Tuhan, kakiku tak bisa digerakkan. Ada apa ini? Aku menoleh ke bawah, hendak melihat kakiku. Eh, kakiku bergerak dong. Cuma nggak bisa diajak melangkah aja. Tapi ini apa? Kenapa punggungku terasa berat sekali? Seperti ada yang menggandul di sana?"Pak Satpam tolooong! Mama tolonggg! Ya Allah tolong ya Allah! Emi belum kawin…"Plak!Bahuku dipukul, dan sebuah suara familiar terdengar di telinga."Nengok sini!"Aku memutar kepala. Sosok yang tadi membuatku histeris itu membuka jaket hoodie hitam yang menutupi kepala, dan juga membuka masker hitamnya. Di bawah sinar lampu remang-remang, wajah ganteng bukan kepalang Pak Arfan, si bos jutek terpampang nyata, melotot ke arahku."Emang kamu pikir saya setan?"Aku menggeleng."Bukan, Pak. Saya pikir Bapak pembunuh berantai."Dia menggelengkan kepala, lalu tanpa kata-kata melangkah menuju motorku, mencoba menghidupkannya. Meski sudah diengkol, ternyata tetap nggak bisa. Jelas aja. Nyaris sepuluh jam motorku hidup."Dasar pelupa. Tapi kalau belum kawin aja inget kamu."Aku meringis, memperhatikan bosku yang tampan itu melangkah ke mobilnya. Astaga aku sampai tak melihat kalau Innova reborn abu-abu itu parkir tak jauh dariku. Saking paniknya aku teringat motor itu. Dan kini, dia melenggang dengan santai, tanpa mengajakku ikut serta. Ih dasar jutek, nggak nawarin aku untuk ikut. Dia kayaknya tipe yang masa bodo, nggak takut apa cewek cantik begini diculik kalau naik angkutan umum malam-malam?Kesal, aku mencabut kunci motor dan melangkah pergi. Nyaris berlari menuju pos satpam."Pak Ahmad, titip motor ya. Mogok?"Lelaki setengah baya itu mencabut rokok dari bibirnya."Yah kok nggak bilang dari tadi Neng kalau butuh bantuan?""Huu… telat. Lagian nggak bisa diapa-apain lagi. Besok aku beliin aki baru. Tolong pasangin ya Pak.""Siap, Neng."Aku melangkah menuju halte bis yang tak jauh dari kantor, sambil memencet ponsel memesan ojol. Kayaknya lebih aman naik ojol dari pada naik bis atau angkot. Huhu, sial banget sih aku. Seketika aku teringat pada Bang Arga. Kalau cewek cewek lain mengalami hal kayak aku, mereka selalu punya dua pilihan : telepon pacar atau telepon Abang, minta jemput. Aku? Pacaran aja belum pernah, kecuali sekedar naksir-naksiran. Punya Abang satupun tak bisa diandalkan. Ya Allah nasib…Tiinnn…!Aku melompat kaget ketika mendengar suara klakson mobil yang terlalu dekat di belakangku. Rupanya di bos jutek. Dia membuka kaca mobilnya."Naik!"Ha? Aku menggeleng. Gengsi, sekaligus grogi."Saya naik ojek aja, Pak."Dia mendecak kesal. "Mau nunggu ojek dimana? Liat tuh halte isinya cowok semua. Pengen ketemu pembunuh berantai?"Aku mengamati halte yang masih ramai. Dan memang benar, isinya cowok-cowok semua. Ngeri juga rasanya."Saya itung sampai tiga, kalau nggak mau saya tinggal, satu…"Aku melompat, menarik handle pintu belakang. Pak Arfan melotot lagi. Astaga ini bos…"Ngapain di belakang? Emang saya sopir kamu?"Dia membuka pintu sisi kiri. Aku menelan ludah sesaat. Tak punya pilihan, aku melompat naik, takut di tinggal. Aroma musk yang segar menyambut ku, bersama alunan lagu romantis.Beutiful girl…Wherever you are……Aih, seleranya jadul banget. Hahaha"Ngapain mesem-mesem? Udah bikin repot orang malah ketawa. Cepat kasih tahu alamatmu."Dih, ini orang nggak bisa lembut dikit apa ya? Nggak punya selera humor. Freak."Grand Mutiara Estate Pak. Blok H nomor sembilan belas."Dia tak menjawab, menambah kecepatan dan mobil menderu halus membelah udara malam. Lama kelamaan, lagu itu terasa enak di telingaku. Sepanjang jalan, Pak Arfan sama sekali tak bicara. Tapi herannya, setengah jam perjalanan terasa sangat singkat, mungkin karena mobil yang nyaman, dan terutama karena duduk di sebelah lelaki tampan sedunia ini adalah kesempatan langka. Aku sampai tak berani melirik, takut disemprot. Berulang kali aku harus menekap dada, takut kalau-kalau detak jantung ku terdengar olehnya."Berhenti sini aja, Pak. Nggak mau mampir kan?"Astaga. Ini mulut!Pak Arfan nyengir melihatku, tapi tak bicara apa-apa. Aku membuka pintu, lalu melompat turun. Baru menginjakkan kaki di halaman, wajah Winda muncul. Tanpa dosa, dia melambaikan tangan padaku dengan riang."Emily!"Aku menoleh, melihat Pak Arfan berjalan dengan cepat menghampiri."Ponselmu ketinggalan."Dia mengulurkan ponselku."Terimakasih Pak."Pak Arfan mengangguk. Sekilas, tampak dia tersenyum, membuat debaran jantungku yang tadi sudah mereda kembali berdetak kencang. Kutunggu hingga dia masuk mobil dan mobil itu meluncur meninggalkan rumah. Membayangkan aku tadi hanya berdua dengan lelaki idaman di kantor, membuatku tersenyum sendiri.Oh may. Andai saja…"Cowok kamu ya, Em? Ganteng banget."Aku menoleh, senyumku lenyap mendadak melihat wajah Winda sangat dekat di punggungku."Katanya minta putus sama Bang Arga, kok nggak jadi?"Winda tertawa kecil. Ekspresinya tersipu-sipu."Kata Bang Arga, dia mau beliin aku baju yang asli kalau ke Thailand. Jadi yang KW dulu nggak apa-apa."Dia berputar, memamerkan baju barunya. Dress putih yang sepintas mirip punyaku. Aku mendesah. Sudah kuduga, tak akan semudah itu menyingkirkan cewek freak ini dari rumahku."Udah malam, pulang sono. Nggak baik cewek main di rumah cowok sampai malam."Aku berkata begitu sambil melangkah masuk. Di ruang tengah, Mama sedang ngobrol dengan Bang Arga."Ma, Emily pulang dianter cowok loh. Ganteng banget."Aku mendelik. Dasar lancang."Kamu udah punya pacar Em?" Yang bertanya malah Bang Arga. Tapi aku tahu Mama jelas menunggu jawabanku."Pacar apaan? Dia bos aku. Motorku mogok. Akinya tekor."Mama mendesah. "Pasti lupa nyabut kunci lagi."Aku meringis. Kejadian ini memang bukan yang pertama. Aku melangkah menuju kamar, hendak mandi dan makan malam. Perutku lapar sekali. Namun langkahku terhenti ketika bisikan Winda terdengar."Emi, kenalin aku sama Bos kamu dong."Aku menoleh. Winda tersenyum kecil dengan raut wajah tanpa dosa. Heh, dasar. Baru juga mau punya gebetan, dia udah mau nyamber aja. Ya, ngegebet bos sendiri sah sah saja kan?"Tapi jangan bilang-bilang Bang Arga ya."Di ruang tengah, Mama dan Bang Arga mengobrol entah apa. Abangku yang bucin itu tampak bahagia. Dia tak tahu, pacarnya baru saja menanyakan cowok lain.Sebuah ide tiba-tiba saja melintas di kepalaku."Abaaaannggg! Denger nih pacar kamu!"***PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 5"Abang! Liat nih kelakuan pacarmu, masa dia minta dikenalin sama Bosku tadi."Kupikir Abang akan marah, nyatanya dia malah tertawa. Dan di mataku kini, bukan hanya Winda yang sakit jiwa, tapi Abangku juga."Ya nggak pa-pa. Emang kenapa? Winda kan sebentar lagi wisuda, dia mungkin mau cari lowongan kerja. Iya kan?"What?Aku dan Mama saling lirik mendengar kata-kata Abang yang penuh pembelaan. Sementara si biang masalah senyum-senyum, sok imut banget."Iya Bang, aku pengen kerja tempat Emily. Kayaknya enak banget deh, bosnya baik. Karyawan biasa aja dianter pulang. Padahal Emi kan nggak cantik-cantik banget ya."Dih!"Nggak cantik tapi tiap saat lo niru gue. Dasar edan!""Emi…" Mama menegurku, melotot mendengarku mengeluarkan kata-kata kasar. Aku kembali menatap Winda."Jangan coba-coba ngelamar kerja tempat gue. Disana nggak terima cewek freak. Lagian, emang yakin bakalan wisuda? Skripsi aja setahun nggak kelar-kelar."Winda setingkat denganku, satu kampus,
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 6"Nih, shamponya. Diminta dikit aja, pelit banget."Bang Arga meletakkan botol shampoku di meja makan ketika kami tengah sarapan keesokan harinya. Aku membuka tutup botol shampo, mendapati isinya yang tinggal setengah. Kutatap Abang tajam."Ini yang terakhir. Berani dia menyentuh barang-barangku, ku laporin dia ke polisi. Termasuk siapa saja yang mendukung pencuri itu beraksi."Dapat kulihat dari sudut mata, Mama mengelus dada. Jujur saja, aku sangat kecewa pada Mama. Mama sama sekali tak menghargaiku, membiarkan orang lain yang belum jadi siapa-siapa untuk masuk dan mengacak-acak kamar pribadiku. Untuk pindah dari sini seperti ancamanku tempo hari, aku tak sanggup. Papa menitipkan Mama padaku di hari-hari terakhir kepergiannya."Emi, Papa titip Mama ya. Papa takut sikap Mama yang terlalu memanjakan Abangmu itu nantinya malah jadi bumerang. Kalau Papa nggak ada, Papa lebih percaya kamu menjaga Mama daripada Abangmu."Ucapan Papa memang terbukti.Aku bangkit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 7Winda rupanya mendengar teriakanku. Dia langsung hendak naik ke tangga kalau Astri tidak segera menghalangi."Emi! Emily! Yuhuuu… Emily!""Hei… orang luar dilarang masuk sembarangan!" Astri berdiri di anak tangga paling bawah sambil merentangkan tangan. Tanpa sadar aku langsung mendorong Pak Arfan keras-keras hingga kami menabrak dinding dengan posisi yang tak dapat kuceritakan. Amazing."Ngapain kamu dorong-dorong saya?"Pak Arfan ganti mendorongku agar tak menempel di dadanya. Aku yang diserang kaget, dan takjub, rasanya tak mampu bergerak. Kaku. Seisi ruangan tiba-tiba terlihat kosong, tak ada meja dan kursi, apalagi orang lain. Hanya kami berdua."Riana, turun! Bilang sama Astri kita nggak ada lowongan. Kamu Emily, ikut ke ruangan saya."Mati gue!Dari wajahnya, aku bisa menebak apa yang akan kualami di dalam nanti. Lelaki itu mendahuluiku masuk ke ruangannya, sementara aku menoleh pada Riana yang hanya menggedikkan bahu."Semangat Emily!"Dia langsung b
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 8"Emily?"Suara yang sangat kukenal itu membuatku refleks mengangkat kepala. Sudah terlambat untuk menyembunyikan mataku yang berair. Aku menunduk lagi, Diam-diam menyusut air mata dari pipiku. Di hadapanmu, Pak Arfan tidak berkata apa-apa. Dia menungguku selesai mengeringkan air mata."Bapak kok belum pulang?""Kenapa memangnya? Kantor ini punya saya. Harusnya saya yang nanya, kenapa kamu belum pulang?"Dalam keadaan biasa, mungkin aku akan membiarkan diriku hilang kendali, membantah kata-katanya yang - meskipun bernada perhatian - tetap saja angkuh. Tapi kali ini, aku hanya menunduk, masih terbawa sedih karena merasa tersisih."Ayo ikut saya."Tanpa aba-aba, Pak Arfan menarik tanganku hingga aku berdiri."Eh, mau kemana, Pak?""Ikut aja, daripada saya pecat."Dih. Dasar bos nggak ada akhlak. Aku langsung menyambar tas di atas meja dan berjalan tersaruk-saruk mengikutinya. Pak Arfan tak melepaskan tanganku, bahkan hingga kami melewati parkiran. Pak Slamet, S
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 9Setelah menutup kembali pagar dan memasukkan motor ke dalam garasi, aku duduk di teras. Mobil Abang sudah ada di dalam, artinya orangnya ada. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Winda. Mungkin dia tidak datang malam ini, atau mungkin juga sudah pulang. Rumah masih terlihat terang benderang. Mungkin Mama menungguku, mungkin juga tidak.Setelah momen baper dengan Pak Arfan tadi, aku harus kembali menghadapi kenyataan, bahwa aku harus pulang ke rumah, yang semakin lama semakin tak terasa seperti 'rumah'. Aku tak punya kunci serep, juga segan membangunkan Mama. Lima bulan lalu, sebelum kehadiran Winda dalam hidup Abang, aku tak pernah pulang selarut ini. Bagiku, rumah adalah tempat ternyaman, dimana aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan, bicara apapun tanpa takut ada orang tersinggung. Tapi kini, membayangkan harus pulang dari kantor saja membuatku enggan.Apa sebaiknya aku kawin aja ya? Biar bisa pergi dari sini tanpa merasa bersalah. Kan istri wajib ikut suam
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 10"Arga!"Aku menahan tangan Mama, menatapnya."Mama disini saja. Bang Arga nggak akan bunuh diri. Selama ini, dia menjadikan kelemahan Mama itu sebagai senjata. Sifat Bang Arga seperti pengecut."Aku mengusap punggung Mama, dan meninggalkannya sendirian. Kata-kata Bang Arga barusan membuat darahku menggelegak. Aku marah sekali, bahkan rasanya lebih daripada saat Winda menjarah barang-barangku. Dia satu-satunya lelaki di rumah ini, bagaimana dia bisa berkata begitu? Bukannya menjaga kami, dia justru selalu membuat Mama resah.Aku mendorong pintu kamar Bang Arga dengan kasar. Dia ternyata sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam ransel. Matanya melotot melihatku."Nggak sopan banget kamu, Em. Masuk kamar nggak permisi.""Aku belajar dari Abang. Bedanya, aku nggak suka mencuri.""Emily! Abang peringatkan sama kamu ya…""Aku yang mau memperingatkan Abang. Abang sadar nggak lima bulan ini hidup Abang berpusat pada Winda. Abang sudah bukan seperti Abang yang dulu,
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 11A"Emiii… tolongin aku dongg!"Suara Winda yang mendayu-dayu meminta bantuan membuat Pak Arfan langsung berdiri, hendak membantu, namun segera kutahan. Itu sih maunya Winda."Eh, Pak. Biarin aja. Itu pacarnya Abangku. Ntar Abangku cemburu."Lelaki itu langsung menghentikan langkahnya."Pacar Abang kamu yang itu?""Iya, yang itu. Abangku cuma satu."…"Emiii…!"Aku menghela nafas panjang, melangkah mendekati Winda, yang susah payah berdiri. Entah bagaimana caranya, sulur-sulur mawar yang penuh duri itu bisa membelit tubuhnya. Mana dia pakai kaos dan celana pendek pula. Astaga. Meski aku belum berjilbab, aku tak pernah pakai celana sependek itu."Emi, ini gimana rantingnya kok begini?"Aku pura-pura menyingkirkan ranting itu dari tubuhnya. Pura-pura."Iya, itu azab bagi orang yang suka ngembat barang orang.""Ya ampun, Em. Kamu dendam banget. Kan udah dua hari ini aku nggak minta apa-apa dari kamu.""Itu juga karena kamarku dikunci, iya kan?""Duh, nanti dulu
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 11B"Jadi itu yang namanya Winda?"Pak Arfan bertanya lagi, tanpa melepaskan tangannya dari stir mobil. Kami keluar dari komplek perumahanku djan bergabung dengan jalan raya yang padat menjelang malam minggu. Aih, aku sampai lupa kalau ini malam minggu, malam yang asyik buat pacaran. Pacar baru, baru kenalan…Udah jangan nyanyi."Iya, duh… berapa kali lagi sih nanyanya? Lagian Bapak kenapa sih tiba-tiba muncul di rumah?"Aku kesal. Karena bagaimana pun, penampilan Winda tadi sangat menggoda kaum lelaki. Celana pendek setengah paha terbuat dari jeans yang ujungnya berumbai, serta kaus lengan pendek warna hitam yang membuatnya tampak seksi. Belum lagi rambut panjangnya itu, lurus sepinggang, hitam dan halus bagai sutra. Winda memang cantik sekali. Aku sesungguhnya tidak heran Abangku tergila-gila padanya. Tapi itu kan kalau lihat fisik saja. Sifatnya? Nauzubillah minta dzalik. Atau memang di otak lelaki hanya fisik cewek aja yang dia pertimbangkan? Dan Pak Arfan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA (ENDING)musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 15PoV WINDAEnam bulan kemudian"Kak, kenapa sih Mama nggak sayang sama aku? Seperti Mama sayang sama Kakak?""Kata siapa? Mama sayang kok sama kamu.""Tapi Mama dikit-dikit marah. Kalau sama Kakak nggak."Kak Laura tersenyum, mengusap rambutku dengan lembut."Mama cuma lagi nggak enak badan. Kamu tenang aja ya, kan ada Kakak." Ujar Kak Laura sambil tersenyum manis. Dia mengulurkan perahu dari kertas yang baru saja dibuatnya.Aku ikut tersenyum, meraih perahu kertas itu dan berlari ke dalam kolam ikan di belakang rumah. Berdua kami melarungkan perahu itu disana, membuat ombak kecil dengan kedua tangan hingga perahu itu sesekali terombang-ambing. Ah, masa kecil yang indah. Kenapa orang harus menjadi dewasa jika masa kecil sudah membuat bahagia? Padahal dengan menjadi dewasa, ada banyak masalah yang mulai menghampiri."Sayang…"Aku menoleh, segala kenangan tentang masa kecil itu segera lenyap dari benakku. Mas Adit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa TertinggalBab 14PoV ADITYAKeadaan rumah baik baik saja kecuali satu hal, kunci pintu depan yang dibuka paksa menggunakan sebuah alat. Itu artinya, Winda pergi kesana tidak dengan sukarela. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Winda bisa ada disana bersama si pembunuh? Dan suara Siapakah yang menjerit demikian pilu? Suara itu, seperti seseorang yang tengah merasakan sakit yang luar biasa.Aku memandang wajah istriku dengan gundah, sekaligus kesal karena aku tak tahu apa-apa, persis orang buta. Wajah itu masih pucat pasi saat kuletakkan di atas pembaringan. Tapi setidaknya dia tak menolak semua sentuhanku padanya. Sepanjang subuh hingga pagi itu, Winda tak juga mau melepaskan diri dari pelukanku. Belum pernah aku merasa se bingung ini. Aku tak tahu apa yang telah menimpanya, dan juga apa yang terjadi. Dan suara tembakan itu? Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku percaya Mas Arfan akan melakukan yang terbaik, seperti dia selalu mempercayaiku
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2.SISA RASA TERTINGGAL.Bab 13Lika masih menjerit histeris, aku bisa memperkirakan bertapa kuat tenaga lelaki itu, apalagi dengan sepatu model boot yang keras dan berat menekan paha Lika. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku tak sanggup, seandainya harus melihat seseorang disiksa si depan mataku. Lika memang bersalah, tapi bukan seperti ini hukuman yang kuinginkan untuknya. Dan lagi, adakah manusia yang punya hak melakukannya."Ya Allah… jangan! Tolong jangan! Lepaskan dia!"Mendengar suaraku, Lika berhenti menjerit. Dia memandangku sambil berurai air mata sementara si malaikat maut sama sekali tak menoleh. Dengan sebelah tangannya, dia mengulurkan pisau kecil membuka ikatan di kakiku, memutar kursiku dan kembali membuka ikatan di tanganku. Semua itu dia lakukan tanpa melepaskan kakinya dari paha Lika."Pergi Winda. Dan jangan sekali kali lapor polisi. Biarkan aku jadi hakim untuk mereka dan biarkan aku sendiri yang menanggung dosanya."Aku berdiri
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa tertinggalBab 12Dadaku langsung berdebar hebat membaca pesan itu. Aku refleks berdiri, memandang berkeliling. Aku sangat yakin lelaki itu tadinya ada disini. Sang malaikat maut yang telah menyiksa Kak Laura. Kak Laura sekarang tenang karena dia memutuskan pergi. Barulah kusadari arti kalimat Kak Laura selama ini : Dia ada disini! Ya. Setiap kali aku menjenguknya, ada kalanya Kak Laura tiba-tiba seperti melihat sesuatu dan dia ketakutan. Jadi, apakah selama lebih setahun ini, sebenarnya orang itu ada disini?"Ada apa?"Mas Adit memegang lenganku, menyuruhku berhenti. Dia merasakan gerakanku yang gelisah sedari tadi. Aku memberikan ponsel itu padanya. Dia mengamatinya sejenak, mengeluarkan ponselnya sendiri dan entah melakukan apa, mungkin melacak atau mencari tahu identitas si pengirim, entahlah. Ponsel pintarnya sepertinya bisa melakukan apa saja.Mas Adit melangkah sambil merangkul bahuku."Itu artinya, Kak Laura aman disini. Meski un
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBab 11Sepasang matanya yang dihiasi bulu mata tebal, juga pewarna dengan aksen smoke, memandangku tajam. Kami bertatapan sekian menit lamanya sementara si lelaki ikut mengamatiku. Entah apa yang kulakukan, nekat atau ceroboh, terserah. Aku telah membantunya malam itu, jadi pantaskah dia membalasnya dengan cara menggoda suamiku?"Suamimu tidak pernah menyimpan rahasia dariku. Dan aku jamin, dia tak akan pernah menyakiti hatiku. Jadi berhentilah berbuat bodoh. Silahkan mencari lelaki lain yang mau kau rayu. Tapi bukan suamiku."Lika diam saja mendengar aku memakinya. Aku berbalik dan berjalan dengan cepat menuju taksi online yang masih menunggu. Tiba di rumah, dengan nafas terengah-engah, aku merebahkan diri, teringat pada janin dalam perutku. Aku memejamkan mata. Apakah yang kulakukan tadi salah?Masih kuingat wajahnya yang tanpa ekspresi tadi. Entahlah, aku bukan Emily yang pandai membaca raut wajah orang lain. Aku hanya tahu b
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 10Aku belum pernah merasa marah dan cemburu sehebat ini. Bahkan dengan Bang Arga dulu, aku tak pernah merasa. Hubunganku dengannya terlalu mulus, tanpa sedikitpun gelombang. Bang Arga yang sangat mencintaiku, sama sekali tak pernah membuatku cemburu. Akibatnya, akulah yang sering membuat ulah hanya karena ingin menepis rasa bosan. Salah satunya, dekat dengan Mas Adit yang dulu jelas jelas hanya menggoda.Aku mengusap wajah. Kemarin, aku bahkan masih meragukan cintaku padanya. Tapi hari ini, membaca chat WA dari nomor tak dikenal, yang bahkan sama sekali belum dibaca oleh Mas Adit membuat dadaku berdebar hebat. Aku terbakar oleh amarah dan api cemburu.Tring!Pesan itu masuk lagi. Kali ini sebuah foto. Foto yang sangat vulgar. Dan aku semakin meradang mengetahui siapa yang mengirimkan foto itu.Lika!Dia berpose sensual, memakai baju dengan dua tali di pundak, tipis berenda-renda sehingga aku tahu dia tak memakai apa apa l
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAmusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBab 9Mas Adit, jika malam ini terjadi sesuatu padaku, aku minta maaf. Entah bagaimana caranya, aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Dan sama sekali tak lagi ada keraguan tentang itu.Krieett…Pintu terbuka, sesosok tubuh melangkah masuk, aku memejamkan sambil menjerit dan mengayunkan sapu lidi di tanganku."Aaaaaaaa…!"Bag bug bag bug…"Winda! Berhenti sayang. Ini aku!"Tanganku gemetar, rasanya telingaku kebas, tak mampu mengenali suara yang samar-samar kukenali itu. Kenapa dia memanggilku? Kenapa dia tahu namaku? Dan kenapa dia bahkan tak menghindari semua pukulanku?Tangan itu lalu sigap menangkap sapu lidi yang sudah beberapa kali menghantam tubuhnya, lalu melemparnya ke sembarang arah. Dengan paksa, dia memelukku, menarikku ke arah saklar lampu dan menghidupkan lampu. Seketika terang benderang, dan aku terpana memandang wajah yang telah membuatku menangis semalaman."Mas Adit?""Winda? Kamu kenapa Sayang? Ya Allah… ma
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 Sisa Rasa TertinggalBab 8PoV WINDA"Mas Arfan, Mas Aditya sebenarnya kemana? Sejak sore tadi WA ku ceklis satu."Mas Arfan tersenyum dengan wajah tenang. Kami baru saja selesai makan malam di rumah Emily. Makan malam yang nyaris tak dapat kutelan karena gelisah mengingat suamiku tak ada disini. Terlebih, aku harus satu meja dengan Bang Arga dan Riana. Meski Mama dan juga Emily ada didekatku, aku masih juga tak bisa membuang rasa canggung itu. Aku masih sering teringat bagaimana dulu Bang Arga begitu menyayangiku. Belum lagi mata Riana yang terus memperhatikan walau sembunyi-sembunyi. Tapi setidaknya aku sedikit lega, Riana tak seketus itu lagi. Entah apa yang Emily katakan padanya."Aditya melakukan sebuah pekerjaan rahasia Winda. Maaf, aku tak bisa memberi tahukan-nya padamu."Aku terdiam. Tugas rahasia. Aku tahu bahwa Mas Adit adalah orang kepercayaan Mas Arfan. Mereka telah bersama bahkan jauh sebelum aku dan Emily mengenalnya. Dan tentu saja a
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBAB 7PoV EMILYKami duduk di bangku taman belakang rumah sakit. Dimana beberapa buah bangku kayu dipasang permanen di atas semen-semen yang di cat warna warni. Pohon-pohon akasia yang rindang dan meneduhkan taman belakang ini adalah salah satu tempat favorit para perawat untuk mengawasi pasien. Pada jam-jam tertentu, mereka akan dibawa ke sini, berinteraksi dengan sesama pasien, meski lebih sering berakhir dengan kekacauan. Aku bergidik membayangkannya. Ah, betapa menyedihkannya hidup ketika sebagian kewarasan telah terenggut darimu."Kamu kesini sendirian?"Winda mengusap matanya yang basah, lalu mengangguk. Setelah banyak peristiwa menyedihkan terjadi dalam hidupnya, Winda yang dulu periang, perlahan berubah menjadi Winda yang pendiam dan dewasa. Jujur saja, aku merindukan dia yang dulu, yang sering membuatku jengkel, tapi juga kadang membuatku tertawa. Hidup memang serumit itu."Aku nggak bisa tidur dengan tenang, Em. Kamu p