"Nana?" panggil Juna.
"Iya?"
"Sekarang apa yang coba kau rencanakan, heh?"
Nana mengernyit. Ia sama sekali tak mengerti arah pembicaraan kekasihnya, Juna, itu.
"Maksudnya?""Apa mencuri kini jadi hobi favoritmu, eum?" ucap Juna, sambil terus menulis hukumannya.
Nana terdiam. Amarahnya membuncah. Ia bisa terima jika itu tuduhan dari orang lain, tapi jika tuduhan itu dari kekasihnya sendiri, ini sungguh sangat menyakitkan. Ia berkali-kali menghela napas untuk mengontrol emosi.
"Apa mencuri hatiku saja belum cukup bagimu?"
"Heeehhh?" Nana memekik, geram. Ia melempar penanya dan berhasil mendarat ke kening Juna. "Tidak lucu!" sungut Nana.
"Aakh!! Betapa kejamnya kau pada pria tampan sepertiku, hm?"
Nana mengerucutkan bibirnya, mengabaikan keluhan dan ocehan Juna.
"Ahahaha tersenyumlah!" Juna menarik kedua sudut bibir Nana, membentuk sebuah senyuman. "Nah, begini kan bagus! Kau harus tersenyum jika ingin terlihat cantik, Nana!"
Nana sedikit menarik sudut bibirnya tanpa dipaksa oleh Juna. Setidaknya masih ada Juna yang selalu akan percaya terhadapnya, jadi ia akan merasa sedikit tenang.
"Percayalah! Keadilan pasti akan menang," ucap Juna sambil menepuk pelan kepala Nana.
"Terimakasih, Jun."
***
Sore ini, seperti biasa, Nana menjadi pelayan di sebuah rumah makan. Mencatat pesanan, mengantar makanan ke pelanggan dan mencuci piring menjadi pekerjaannya setiap sore hingga menjelang malam.
Nana melakukan tanpa mengeluh. Sejak ayahnya tak bekerja, kini ia menjadi tulang punggung keluarga.
Jam menunjukkan pukul 7 malam, sudah saatnya ia pulang. Sebelumnya, ia sudah membersihkan seluruh rumah makan. Ada senyuman samar tercetak di bibir Nana mengingat hari ini adalah akhir bulan. Saatnya menerima gaji.
Nana mengetuk pintu ruangan bosnya. Ia sudah memanajemen untuk apa saja uang ia habisnya. Selain untuk membeli keperluan sehari-hari, ia juga menyisihkan untuk membayar biaya sekolah.
"Masuklah!" Suara berat dari dalam ruangan.
Nana perlahan masuk dan membungkuk.
"Saya sudah membersihkan semua restoran, dan saya pamit untuk pulang, Bos."Lelaki yang berada di hadapan Nana mengangguk. Ia mengambil amplop coklat yang sudah ia siapkan di atas meja.
"Ini gajimu bulan ini. Sudah aku potong untuk ganti rugi benda-benda yang kau pecahkan."Nana menerimanya, ia mengecek nilai uang yang baru ia terima. Hanya beberapa lembar uang seratus ribuan. Kenkyo terkejut, nominal ini tak sesuai dengan kerja kerasnya selama ini.
"Maaf, Bos. Bukankah kesepakatan kita dulu Anda membayar saya lima ribu rupiab perjam? Berarti selama saya bekerja empat jam perhari jadi dua puluh ribu. Saya bekerja di bulan ini selama dua puluh enam hari. Seharusnya gaji saya lima ratus dua puluh ribu. Kenapa Anda hanya memberi saya tiga ratus ribu, Bos?" protesnya.
"Kalau kau tak terima, kau boleh keluar dari sini! Lagipula, sudah untung aku masih mau mempekerjakan pelajar sepertimu!"
"Maaf, Anda tidak bisa berbuat seperti ini pada saya! Saya bisa menuntut Anda!" ancam Nana.
"Tuntut saja kalau berani! Tapi, asal kau tahu, ayahmu yang duluan akan kutuntut karena membuat keributan di tempat ini minggu lalu!"
Nana membeku. Ia tak dapat lagi membantah. Ia tak mungkin sanggup jika melihat ayahnya dipenjara.
Minggu lalu ...
Prak!!
Pyar!!Terjadi kegaduhan di Rumah Makan Yusro. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan mengamuk. Ia menghancurkan beberapa perabot di rumah makan itu.Nana dan beberapa pelayan lain keluar dari dapur untuk melihat keributan. Betapa terkejutnya Nana saat tahu pembuat onar itu adalah ayahnya sendiri, Yudhi.
Yudhi berjalan gontai ke arah putrinya, ia masih berada dalam pengaruh alkohol sepertinya.
"Nana! Kenapa kau pergi tanpa meninggalkan uang untuk ayan, Sayang? Aku butuh uang untuk beli minum," ucap Tuan Yudhi.Nana terdiam. Ia bingung menghadapi sikap ayahnya saat ini. Seluruh mata tertuju pada mereka.
Tanpa menunggu persetujuan putrinya, Tuan Yudhi menarik paksa tas ransel yang masih bertengger di punggung Nana. Tuan Yudhi mengeluarkan seluruh isi tas putrinya. Ia menemukan beberapa uang lima puluh ribuan terselip di antara buku. Senyumnya mengembang.
"Ahahaha terima kasih, Putriku."Nana menahan lengan ayahnya.
"Jangan uang itu, Ayah! Itu untuk membayar uang SPP bulan ini," pinta Nana, memelas.Tuan Yudhi mengibaskan tangan Nana begitu saja.
"Peduli setan dengan sekolahmu! Lebih baik sekarang kau bekerja saja tak perlu sekolah lagi!" ucap Tuan Yudhi sembari melangkah keluar rumah makan itu.Nana terduduk lemas di lantai. Ia tak dapat mengenal ayahnya lagi saat ini. Ayahnya benar-benar berubah. Air matanya mengalir begitu saja meski ia coba menahannya.
"Kenapa Anda kini berubah, Ayah?" gumamnya.***
Nana berada di depan kelasnya. Ia berulang kali menghembuskan napas kasar, takut-takut kejadian kemarin terulang lagi. Apa yang harus ia lakukan untuk mengungkap kebenaran?
"Selamat pagi, Nana?" Seorang pemuda tiba-tiba datang dan merangkul pundak Nana.
Nana menoleh.
"Jun? Apa yang kau lakukan di kelasku, eum?"Juna tak menjawab. Ia tersenyum manis sambil menarik Nana masuk kelas bersama.
"Mohon perhatiannya!" seru Juna.Seisi kelas langsung memfokuskan pandangan pada dirinya dan Nana.
"Selama ini kami menyembunyikan hubungan kami, tapi asal kalian tahu, kami sudah menjalin hubungan sejak setahun yang lalu. Jadi, siapa pun yang berani mengganggu Nana, dia akan berurusan langsung denganku. Kalian ingat itu!" Juna menunjuk ke arah Panji, "Dan kau, Bedebah! Aku masih menunggu permintaan maafmu pada Nana."
Panji menunduk malu. Ia berdiri dan membungkuk tepat di hadapan Nana.
"Nana, maafkan aku! Kau boleh balik meludahiku atau bahkan memukulku. Yang menaruh ponsel Rizka ke tasmu adalah aku," ucap Panji, menyesal.
Seisi kelas menyoraki atas kebodohan Panji. Mereka memberi tatapan benci pada Panji. Satu per satu teman Nana meminta maaf padanya.
Nana hanya mengangguk. Pikirannya masih terfokus pada bagaimana cara Juna mengatasi ini semua? Sekelebat ia memandang Juna.
"Aku memang keren, jadi kau tak perlu selalu menunjukkan rasa kagummu itu," ucap Juna dengan angkuhnya.
Nana langsung menghadiahi jitakan mesra pada kekasihnya itu.
Sebelum keluar kelas, Juna menepuk bahu Panji. Sudut kanan bibirnya terangkat, membentuk senyuman yang sulit diartikan.
"Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik, Kawan."
***
Di sebuah kediaman bernuansa tradisional, duduk seorang wanita cantik di atas tatami. Meski umurnya hampir menginjak 50 tahun, tapi pesona kecantikannya masih terpancar jelas. Kini ia membersihkan katana menggunakan kain warna putih, katana milik mendiang suaminya yang asli orang Jepang.
Seseorang menggeser pintu, sejenak wanita cantik itu berhenti dari kegiatannya. Senyumnya mengembang. Ia menepuk tatami di sisi kanannya.
"Duduklah di sini, Keisuke!"Lelaki yang baru saja masuk ruangan itu mengangguk. Ia mengambil posisi di sisi kanan wanita cantik tadi.
"Ada apa ibu memanggilku?" tanyanya.
"Setelah lebih dari sebulan kau tak pulang, apa hanya itu yang ingin kau ucapkan, heum? Kau kasar sekali, Nak!"
Keisuke tersenyum. Ia sangat tahu maksud ibunya ini. Ia mendekat ke arah ibu dan memeluknya.
Bersambung ....
"Ada apa ibu memanggilku?" tanya Keisuke."Setelah lebih dari sebulan kau tak pulang, apa hanya itu yang ingin kau ucapkan, heum? Kau kasar sekali, Nak!"Keisuke tersenyum. Ia sangat tahu maksud ibunya ini. Ia mendekat ke arah ibu dan memeluknya.Menelusupkan kepala di antara ceruk leher ibunya. Ia sangat merindukan wanita ini. Pekerjaan sebagai detektif sudah menyita banyak waktunya selama ini."Jadi, apa sekarang sudah siap untuk menikah?" tanya sang ibu pada Keisuke.Takahasih Keisuke, pemuda keturunan Jepang-Indonesia itu merengut sebal setiap kali ibunya membicarakan tentang pernikahan."Aku akan menikah jika sudah waktunya, Ibu.""Kapan waktunya itu, Kei? Apa harus menunggu usiamu berkepala empat? Lihatlah para teman sebayamu! Mereka bahkan sudah memiliki anak berusia remaja. Pokoknya, ibu akan segera mengatur kencan butamu.""Baiklah, terserah pada ibu saja." Keisuke pasrah akan perintah ibunya. Lagipula, meski ia melak
Bibi Mina mendekat ke arah Nana yang masih tercenung di sudut ruangan. Ia menepuk pundak gadis itu. Ia benar-benar tak tega melihat gadis itu terpuruk. Mungkinkah kebahagiaan sama sekali tak ada dalam garis takdirnya?Sadar tak mendapat respons apa pun, Bibi Mina duduk di hadapan gadis berambut sepunggung itu. Tatapan mata Nana kosong. Hanya ada kehampaan di sorot mata kuyunya. Ia tak meneteskan air mata lagi. Entah lelah, entah air matanya sudah mengering.Bibi Mina tak tahan lagi, ia mengguncang pelan bahu Nana."Menangislah, Nana! Menangislah sekeras-kerasnya!"Nana melihat sejenak tetangga yang sudah seperti kerabat itu. Bibirnya gemetar, detik berikutnya ia menangis sesenggukan. Bibi Mina membawa Nana ke dalam dekapannya."Kenapa ayaj tega meninggalkanku, Bibi? Apa dia sudah tak menyayangiku lagi, huhuhu?" Nana menangis tergugu di dalam rengkuhan Bibi Mina."Dia menyayangimu, Sayang. Sungguh menyayangimu lebih dari apapun di dunia." Wanit
Juna membanting-banting ponsel, ia membentur-benturkan benda bersegi panjang itu ke atas bantal."Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bisa seceroboh ini?" keluhnya sambil menenggelamkan kepala di antara bantal."Sampai kapan aku akan terbebas dari terror perempuan gila itu? Hasshh! Aku berharap dia mati mengenaskan," gumam Juna di sela-sela pergolakan batinnya.***Seorang gadis berseragam SMA berjalan seorang diri melewati jalan setapak. Ia menerima sebuah panggilan."Ah ... manis sekali~. Aku suka jika kau menurut seperti ini, Juna Sayang.""....""Kenapa? Kau coba mengancamku? Cih! Kau tahu 'kan apa yang bisa kuperbuat lebih dari yang kau kira.""....""Kau cukup menuruti saja perintahku, dan semuanya akan baik-baik saja."Ia terlalu fokus pada ponselnya, hingga ia tak menyadari ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari tadi. Di sana. Di sudut gelap depan gerbang bangunan tua.Sosok itu semakin mendekat, dan
Nana duduk di sudut ranjang. Kedua mata indahnya terus menatap ke lantai. Jemarinya saling bertautan. Gugup. Ia sama sekali tak menyangka 'hari ini' akan datang begitu cepat. Hari yang paling sakral dalam kehidupannya. Hari pernikahannya. Ia dapat berpura-pura tenang saat di pesta pernikahan tadi. Namun, ia benar-benar merasa gugup ketika malam tiba. Setelah pesta pernikahan, umumnya sepasang suami istri harus melakukan hubungan intim. Memang kini ia sudah mencapai usia 18 tahun, dan itu usia yang sudah layak. Namun, ia tak pernah berpikir akan melakukan hubungan ini dengan orang yang baru ia temui 2 minggu lalu. Benar-benar konyol. Apa masih ada waktu untuk kabur malam ini? Namun, jika ia kabur dari sini, sudah pasti para rentenir itu akan mengganggunya. Belum lagi setelah ini ia harus masuk kuliah. Uang dari bekerja paruh waktu, tentu saja tak dapat memenuhi segala kebutuhannya. Cklek! Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok bertubuh kekar dengan tetesan air masih membasahi
Mikha Kirana, biasa disapa Nana, dibawa keluar oleh Bibi Mina dari kamar. Masih jelas terdengar keributan dari dalam kamar. Suara benda-benda berjatuhan dan suara kaca pecah.Mata Nana berkaca-kaca saat ia berada tepat di depan pintu kamar ayahnya. Ia perlahan menyentuh pintu. Air mata mengalir saat mendengar kata-kata yang terucap oleh ayahnya."BRENGSEK KALIAN! KENAPA KALIAN MENGURUNGKU SEPERTI INI, HAH? AKU TIDAK GILA! BERIKAN MINUMANKU SEKARANG JUGA!"Menyesakkan, mendengar kata-kata itu terucap dari satu-satunya tempat ia bergantung. Nana menyadari ini semua kesalahannya. Andai saja ia sudah dewasa. Andai saja selama ini ia tak menjadi beban bagi ayahnya. Andai saja ayahnya tak memiliki putri yang tak dapat diandalkan seperti dirinya."Nana, kau tak apa-apa? Kau bisa berangkat sekolah sekarang. Biarkan ayahmu menenangkan diri dulu!" ucap Bibi Mina lembut. Ia sembari mengelus surai hitam gadis yang berada di hadapannya itu.Nana mengangguk. Ia tak b
Nana duduk di sudut ranjang. Kedua mata indahnya terus menatap ke lantai. Jemarinya saling bertautan. Gugup. Ia sama sekali tak menyangka 'hari ini' akan datang begitu cepat. Hari yang paling sakral dalam kehidupannya. Hari pernikahannya. Ia dapat berpura-pura tenang saat di pesta pernikahan tadi. Namun, ia benar-benar merasa gugup ketika malam tiba. Setelah pesta pernikahan, umumnya sepasang suami istri harus melakukan hubungan intim. Memang kini ia sudah mencapai usia 18 tahun, dan itu usia yang sudah layak. Namun, ia tak pernah berpikir akan melakukan hubungan ini dengan orang yang baru ia temui 2 minggu lalu. Benar-benar konyol. Apa masih ada waktu untuk kabur malam ini? Namun, jika ia kabur dari sini, sudah pasti para rentenir itu akan mengganggunya. Belum lagi setelah ini ia harus masuk kuliah. Uang dari bekerja paruh waktu, tentu saja tak dapat memenuhi segala kebutuhannya. Cklek! Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok bertubuh kekar dengan tetesan air masih membasahi
Juna membanting-banting ponsel, ia membentur-benturkan benda bersegi panjang itu ke atas bantal."Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bisa seceroboh ini?" keluhnya sambil menenggelamkan kepala di antara bantal."Sampai kapan aku akan terbebas dari terror perempuan gila itu? Hasshh! Aku berharap dia mati mengenaskan," gumam Juna di sela-sela pergolakan batinnya.***Seorang gadis berseragam SMA berjalan seorang diri melewati jalan setapak. Ia menerima sebuah panggilan."Ah ... manis sekali~. Aku suka jika kau menurut seperti ini, Juna Sayang.""....""Kenapa? Kau coba mengancamku? Cih! Kau tahu 'kan apa yang bisa kuperbuat lebih dari yang kau kira.""....""Kau cukup menuruti saja perintahku, dan semuanya akan baik-baik saja."Ia terlalu fokus pada ponselnya, hingga ia tak menyadari ada sesosok makhluk yang mengawasinya dari tadi. Di sana. Di sudut gelap depan gerbang bangunan tua.Sosok itu semakin mendekat, dan
Bibi Mina mendekat ke arah Nana yang masih tercenung di sudut ruangan. Ia menepuk pundak gadis itu. Ia benar-benar tak tega melihat gadis itu terpuruk. Mungkinkah kebahagiaan sama sekali tak ada dalam garis takdirnya?Sadar tak mendapat respons apa pun, Bibi Mina duduk di hadapan gadis berambut sepunggung itu. Tatapan mata Nana kosong. Hanya ada kehampaan di sorot mata kuyunya. Ia tak meneteskan air mata lagi. Entah lelah, entah air matanya sudah mengering.Bibi Mina tak tahan lagi, ia mengguncang pelan bahu Nana."Menangislah, Nana! Menangislah sekeras-kerasnya!"Nana melihat sejenak tetangga yang sudah seperti kerabat itu. Bibirnya gemetar, detik berikutnya ia menangis sesenggukan. Bibi Mina membawa Nana ke dalam dekapannya."Kenapa ayaj tega meninggalkanku, Bibi? Apa dia sudah tak menyayangiku lagi, huhuhu?" Nana menangis tergugu di dalam rengkuhan Bibi Mina."Dia menyayangimu, Sayang. Sungguh menyayangimu lebih dari apapun di dunia." Wanit
"Ada apa ibu memanggilku?" tanya Keisuke."Setelah lebih dari sebulan kau tak pulang, apa hanya itu yang ingin kau ucapkan, heum? Kau kasar sekali, Nak!"Keisuke tersenyum. Ia sangat tahu maksud ibunya ini. Ia mendekat ke arah ibu dan memeluknya.Menelusupkan kepala di antara ceruk leher ibunya. Ia sangat merindukan wanita ini. Pekerjaan sebagai detektif sudah menyita banyak waktunya selama ini."Jadi, apa sekarang sudah siap untuk menikah?" tanya sang ibu pada Keisuke.Takahasih Keisuke, pemuda keturunan Jepang-Indonesia itu merengut sebal setiap kali ibunya membicarakan tentang pernikahan."Aku akan menikah jika sudah waktunya, Ibu.""Kapan waktunya itu, Kei? Apa harus menunggu usiamu berkepala empat? Lihatlah para teman sebayamu! Mereka bahkan sudah memiliki anak berusia remaja. Pokoknya, ibu akan segera mengatur kencan butamu.""Baiklah, terserah pada ibu saja." Keisuke pasrah akan perintah ibunya. Lagipula, meski ia melak
"Nana?" panggil Juna."Iya?""Sekarang apa yang coba kau rencanakan, heh?"Nana mengernyit. Ia sama sekali tak mengerti arah pembicaraan kekasihnya, Juna, itu."Maksudnya?""Apa mencuri kini jadi hobi favoritmu, eum?" ucap Juna, sambil terus menulis hukumannya.Nana terdiam. Amarahnya membuncah. Ia bisa terima jika itu tuduhan dari orang lain, tapi jika tuduhan itu dari kekasihnya sendiri, ini sungguh sangat menyakitkan. Ia berkali-kali menghela napas untuk mengontrol emosi."Apa mencuri hatiku saja belum cukup bagimu?""Heeehhh?" Nana memekik, geram. Ia melempar penanya dan berhasil mendarat ke kening Juna. "Tidak lucu!" sungut Nana."Aakh!! Betapa kejamnya kau pada pria tampan sepertiku, hm?"Nana mengerucutkan bibirnya, mengabaikan keluhan dan ocehan Juna."Ahahaha tersenyumlah!" Juna menarik kedua sudut bibir Nana, membentuk sebuah senyuman. "Nah, begini kan bagus! Kau harus tersenyum jika ingin terlihat cantik, Nana
Mikha Kirana, biasa disapa Nana, dibawa keluar oleh Bibi Mina dari kamar. Masih jelas terdengar keributan dari dalam kamar. Suara benda-benda berjatuhan dan suara kaca pecah.Mata Nana berkaca-kaca saat ia berada tepat di depan pintu kamar ayahnya. Ia perlahan menyentuh pintu. Air mata mengalir saat mendengar kata-kata yang terucap oleh ayahnya."BRENGSEK KALIAN! KENAPA KALIAN MENGURUNGKU SEPERTI INI, HAH? AKU TIDAK GILA! BERIKAN MINUMANKU SEKARANG JUGA!"Menyesakkan, mendengar kata-kata itu terucap dari satu-satunya tempat ia bergantung. Nana menyadari ini semua kesalahannya. Andai saja ia sudah dewasa. Andai saja selama ini ia tak menjadi beban bagi ayahnya. Andai saja ayahnya tak memiliki putri yang tak dapat diandalkan seperti dirinya."Nana, kau tak apa-apa? Kau bisa berangkat sekolah sekarang. Biarkan ayahmu menenangkan diri dulu!" ucap Bibi Mina lembut. Ia sembari mengelus surai hitam gadis yang berada di hadapannya itu.Nana mengangguk. Ia tak b