*** Victor membantu Mary melepaskan gaun pengantinnya dengan hati-hati. Tangannya bergerak perlahan, memastikan gaun putih yang indah itu tidak tersangkut pada tubuh ramping istrinya. Mary berdiri dengan punggung menghadapnya, napasnya terdengar pelan, seiring dengan gaun yang akhirnya melorot ke l
Victor mengangguk setuju, sambil memperbaiki posisi putranya yang mulai terlihat mengantuk, tetapi masih belum benar-benar terlelap. Mary melangkah menuju ranjang dan mulai merapikannya. Kelopak bunga mawar yang sebelumnya tersebar di tengah-tengah tempat tidur dikumpulkannya ke sisi pinggir, menci
Victor tak bisa menahan senyum. Ia menyandarkan diri sejenak di sisi tempat tidur, memperhatikan mereka dengan tatapan penuh cinta. Pemandangan ini—istri dan anaknya yang tertidur bersama—membuat hatinya terasa penuh. Mary terlihat begitu cantik meski tanpa riasan apa pun. Rambutnya yang setengah b
Wajahnya mengeras, rahangnya mengetat tajam. Amarah Victor menggelegak, bukan hanya karena isi pesan itu, tetapi juga keberanian Nathan yang berani menyentuh ranah paling sakral dalam hidupnya—keluarganya. Gerakan tiba-tiba Victor ternyata mengganggu tidur Mary. Wanita itu menggeliat pelan sebelum
*** Victor terbaring di atas ranjang, tubuhnya kaku, wajah menghadap ke langit-langit kamar yang temaram. Mata tertutup rapat, namun pikirannya jauh dari tenang. Setiap kata yang tertulis di pesan Nathan terus terngiang-ngiang di kepalanya, membakar kesabarannya seperti api yang tak kunjung padam.
Mary tersentak kecil, tubuhnya sedikit kaku saat merasakan kehadiran suaminya. Ia terkejut; ia pikir Victor sudah tertidur, mengingat betapa diamnya pria itu sejak mereka berbaring. Namun, kehadirannya begitu nyata sekarang—napasnya yang hangat menyentuh kulit belakang leher Mary, membangkitkan per
"Aku tidak akan pergi kemana-mana," katanya sambil mempererat tatapan mereka. "Selamanya aku akan berada di sini bersamamu. Tidak ada ruang untuk pria lain dalam hidupku. Hanya ada kamu, Victor. Kamu dan Zack. Tidak ada yang lebih berarti bagi aku daripada kalian berdua. Percayalah padaku, sayang."
*** London, UK... Di dalam kamar yang kacau balau, pakaian berserakan di lantai—sebuah dress merah yang tergeletak kusut, bra yang terlempar ke sudut ruangan, celana dalam, boxer, hingga jas pria yang terbuka kancingnya. Aroma pagi yang intens masih tercium samar, tetapi suasana di dalam kamar itu
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing