Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Mary. Lantas, ia pun bangkit dari duduknya dan pergi menemui bosnya untuk meminta izin pulang. Mary memanfaatkan kondisinya yang kurang fit sebagai alasan saat meminta izin kepada Bosnya. Setelah mendapat izin, ia segera bersiap-siap dan keluar untuk menemui Nathan. Benar saja, pria itu menunggunya di depan. Mary segera masuk ke dalam mobil. “Bukankah kita sudah sepakat untuk bertemu besok? Karena aku libur,” ucap Mary menatap wajah dingin Nathan. "Kamu mau kita ke mana sekarang? Ke apartemenmu atau apartemenku?" Bukannya menanggapi ucapan Mary sebelumnya, Nathan justru bertanya hal lain. Mary terdiam sejenak, menatap lekat pada Nathan. Dia bingung ada apa dengan pria itu dan apa yang terjadi sehingga membuatnya terlihat begitu dingin. Raut wajahnya dan suara Nathan jauh dari kata hangat, sangat berbeda dari biasanya. Mary menyadari perubahan itu pada kekasihnya. "Ke apartemenku saja," jawab Mary, lalu menarik pandangannya dari N
Sakit, tentu saja. Hatinya hancur, jangan tanyakan lagi. Begitu pedih semua kalimat yang dilontarkan oleh Nathan kepada Mary. Pria yang sangat dicintainya ternyata adalah orang yang menoreh luka paling dalam di hatinya. Hinaan Nathan terhadap dirinya melekat kuat dalam ingatan. Bahkan segar sampai sekarang. Apakah Mary sakit hati? Jawabannya tentu saja ya! Mungkinkah Mary akan menyimpan dendam terhadap Nathan? Oh, itu mustahil terjadi. Mary sangat mencintai pria itu. Meskipun hatinya dibuat hancur, sampai kapan pun Mary tak akan bisa membencinya. Lantas bagaimana dengan Jihan? Seperti apa sekarang sosok itu di mata Mary, setelah Nathan membandingkan dirinya dengan wanita itu sedemikian rupa? Bagi Mary, Jihan tetaplah satu-satunya sahabat baiknya. Tidak peduli dunia mau berkata apa tentang Jihan, Mary akan tetap menyayangi wanita itu. Hanya saja, apa yang telah menimpa dirinya akan membuat Mary terlihat berbeda ke depannya. Mungkin dia akan lebih merasa insecure saat berhadapan d
Sesaat berkutat sejenak dengan perangkat canggihnya, ia membuka aplikasi berlogo telepon berwarna hijau. Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari kontak Jihan. Sahabatnya itu mengirim pesan. Mary segera membuka pesan itu untuk dibaca. Kira-kira, Jihan mengirim pesan apa? [Hai! Tumben jam segini pegang hp! Club lagi sepi ya, Mar?] Ah, ternyata Jihan bertanya tentang itu. Ya, wajar saja, karena Mary bekerja di sebuah club, dan saat ini adalah waktu dia bekerja. Dalam beberapa saat, Mary terpaku, lalu Ibu jarinya mulai bergerak di atas layar untuk membalas pesan dari Jihan. [Malam ini tidak begitu padat, Han.] Lantas, Mary mengirim pesan tersebut. Pandangannya tetap terpaku pada layar, melihat Jihan sedang mengetik. [Oh, pantas saja. Tapi baguslah biar kamu bisa istirahat sebentar. Jangan lupa makan, Mary. Aku tidak mau kamu sakit.] Jihan memang sebaik itu. Sangat perhatian padanya. Wajar jika Nathan sangat mengaguminya. Mary tersenyum miris. [Iya, tadi aku sudah makan. Kamu juga, ja
“Hai, Olso,” seru seorang wanita baru saja turun dari mobil mewah miliknya dan menyapa Olso. Bibir tebalnya membentuk senyum ramah, meskipun pria yang disapanya terlihat menghela napas. Dari raut wajahnya, jelas bahwa pria itu tidak menyukai kehadirannya. Olso terpaksa mengulas senyum, meskipun wajahnya terasa kaku. 'Apa yang mau dilakukan gundik ini?' batinnya. Kylie, wanita berusia 28 tahun, adalah putri dari salah satu Mafia berpengaruh di kota ini. Ayahnya memiliki hubungan kerja yang erat dengan Victor, dan pengaruhnya sangat besar dalam kesuksesan Victor mengembangkan bisnis Dominic di kota ini. “Victor ada di dalam?” tanya Kylie. Padahal ia bisa melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, yang artinya Victor berada di sana. “Ya, dia ada di dalam, Kylie. Silakan masuk. Maaf, aku tidak bisa menemanimu karena ada urusan penting. Aku harus pergi,” jawab Olso.Ia terpaksa bersikap ramah kepada Kylie karena tahu siapa Ayah wanita itu. Olso tidak ingin membuatnya tersin
"Tadi aku sudah izin pada Olso, Victor," jawab Kylie dengan suara bergetar. "Dia Olso, bukan aku! Yang berhak memberi mengizinkan masuk ke dalam rumah ini adalah aku, Victor Marson, bukan Olso!" "Kamu kenapa jadi marah-marah?" Kylie tiba-tiba bertanya, merasa heran dengan perubahan sikap pria itu. Kemarin-kemarin, Victor tidak pernah begini padanya. "Apa kamu ada masalah sehingga kamu marah-marah seperti ini padaku?" Victor terdiam menatap datar pada Kylie. 'Sepertinya wanita ini akan merepotkanku ke depannya,' bisik Victor dalam hati setelah menerawang jauh akan seperti apa sosok Kylie nanti dalam kehidupannya. "Keluarlah, aku tidak ingin diganggu," usir Victor. "Kamu mengusirku? Kamu serius, Victor?" tanya Kylie, masih tidak percaya. "Yeah! Aku mengusirmu. Apakah kau tuli?" sarkas Victor dengan nada tajam. Kylie menatap lekat wajah tampan itu, merasa sangat kecewa dengan perlakuan Victor kali ini. Dia sakit hati. Lantas, apakah dia harus mengadukan semua ini kepada Papanya da
"Apakah Tuan Nathan masih tidur, makanya ponselnya tidak aktif?" Daisy bergumam pelan sambil menatap layar ponsel yang menyala terang di depannya. Barusan ia menghubungi Nathan, namun pria itu tidak menjawab panggilan teleponnya. Tepatnya, ponsel Nathan tidak aktif, dan itulah yang membuat Daisy bingung sekarang. Ada beberapa berkas penting yang harus diserahkan Daisy kepada Dominic pagi ini, dan berkas tersebut membutuhkan tanda tangan Bosnya itu. "Apakah aku tunggu saja di kantor? Tapi kalau dia terlambat datang, bagaimana? Atau aku langsung ke apartemennya saja? Siapa tahu dugaanku benar kalau dia masih tidur," gumam Daisy, sebelum bangkit dari duduknya. Ia mengambil berkas yang disiapkan sejak semalam serta handbag-nya. Daisy pun memutuskan untuk pergi ke apartemen Nathan. Pria itu tidak bisa dihubungi, sedangkan Daisy sangat membutuhkan tanda tangannya. Walau sebenarnya, jujur saja, Daisy agak trauma menginjakkan kakinya lagi di sana gara-gara peristiwa waktu lalu. Setelah be
Setelah selesai mandi Mary buru-buru bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Ia ingin memastikan dugaan bahwa dirinya sedang hamil. Meskipun banyak tanda-tanda yang mengarah ke sana, seperti mual, pusing yang tidak biasa, muka pucat, dan keterlambatan datang bulan, Mary tetap merasa ragu. Kemarin, ia bertanya pada temannya yang bekerja di club mengenai ciri-ciri wanita hamil. Temannya yang sudah menikah dan memiliki anak itu memberikan jawaban yang sama persis dengan gejala yang Mary rasakan, sehingga kekhawatirannya semakin bertambah. Dalam hati, Mary berharap semoga ia tidak benar-benar hamil, meskipun rasa ragu itu terus menghantuinya. Karena ingin memastikan dengan akurat, Mary memutuskan untuk langsung ke Dokter, meskipun ia bisa menggunakan test pack. Setelah bersiap-siap, Mary pergi ke rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, ia mendaftarkan diri dan mengambil nomor antrian. Tidak lama kemudian, namanya dipanggil, dan Mary bergegas masuk ke dal
Mary tiba di apartemen. Ia membayar taksi, lalu segera turun dan melangkah menuju lobi. Ketika ia berbelok menuju lift, kepalanya pusing lagi dan tiba-tiba mual, padahal Mary belum makan sama sekali. Sarapan pagi ia lewatkan, sengaja karena tidak berselera terhalang oleh rasa mual yang terus menerus menyiksanya. Mary masuk ke dalam lift dan menekan tombol. Pintu lift tertutup rapat, dan lift bergerak naik. Tak lama kemudian, lift tiba di lantai tempat unit apartemennya berada. Saat Mary melangkah keluar dari lift, kedua matanya sontak membelalak melihat sosok yang berdiri di depan pintu apartemennya. Nathan? Apa yang pria itu lakukan di sana? Mary menggelengkan kepala sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia buru-buru bersembunyi, berbelok ke lorong agar Nathan tidak dapat melihatnya. ‘Astaga, dia hampir saja melihatku. Dia mau apa lagi sih datang ke sini?’ batin Mary, menyandarkan punggung pada tembok dengan napas terengah-engah sambil menekan dadanya yang berdebar kencang
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing